Kantor Polisi Khusus Polwan di Pakistan
21 April 2014Bushra Batool yang berusia 36 tahun mengepalai kantor polisi di Rawalpindi. Ia membenarkan posisi baretnya seraya menjelaskan kepada seorang lelaki untuk melewati jalur yang benar. Lelaki tersebut melaporkan bahwa pembantunya mencuri iPhone miliknya, dan meminta Batool untuk melupakan prosedur legal dan menahan tertuduh untuk menakuti sang pembantu sehingga mengembalikan iPhone yang diduga dicuri.
Dalam sebuah masyarakat di mana segala hal mulai dari sekolah hingga pernikahan dipisahkan sesuai gender, Batool mengatakan polwan diperlukan untuk memastikan kaum perempuan mendapat keadilan.
"Polwan ikut merazia dan duduk bersama perempuan dalam rumah untuk menjamin keamanan dan juga menggeledah mereka," ujarnya.
Kantor polisi khusus polwan mulai didirikan untuk mengatasi kasus yang diajukan oleh atau terhadap perempuan, sebagai bagian dari kerangka kerja pemerintah tahun 1994 di bawah perdana menteri perempuan pertama, Benazir Bhutto.
Keinginan untuk mandiri
Kebanyakan kasus yang masuk ke kantor polisinya berurusan dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga.
"Apabila seorang perempuan datang ke kantor kami dengan klaim kekerasan domestik, pihak mertua umumnya mengatakan kepada sang suami, 'Istri kamu tidak menghargai kehormatanmu.' Walaupun sang istri sudah melewati penyiksaan psikologis dan fisik, bagi banyak keluarga, itu tidak lebih penting daripada reputasi suami," jelas Batool.
Menurut Komisi HAM Pakistan, lebih dari 900 perempuan dan anak perempuan tewas tahun 2012 karena berkencan atau menikah tanpa seizin orangtua.
"Seorang perempuan hanya datang ke kantor polisi kalau sudah tidak ada alternatif lain," tutur Batool sembari menghela nafas. "Ini sebuah tindakan putus asa."
Kisah dari balik jeruji
Satu kasus melibatkan Hina Naheed* yang digiring ke penjara usai razia rumah bordil. Naheed mengatakan dirinya sudah menjadi pekerja seks selama 5 tahun.
"Saya mencoba segala hal untuk memperbaiki situasi hidup. Saya bekerja sebagai pembantu. Saya bahkan menikah lagi, tapi tidak ada yang berubah dan saya berakhir di sini," ungkapnya.
"Ketika saya bekerja sebagai pembantu, majikan lelaki selalu melecahkan saya," kisahnya. "Akhirnya saya berpikir, mungkin lebih baik saya sekalian saja jadi pekerja seks. Awalnya sulit, saya sering menangis dan depresi. Tapi sekarang saya menerima prostitusi sebagai bagian dari nasib."
Naheed harus menafkahi dua orang anak sejak ditinggal suami beberapa tahun lalu. Suaminya ingin memiliki istri kedua - yang sah secara hukum di Pakistan - namun saat itu tidak dapat diterima oleh Naheed. Menolak untuk menerima perempuan lain dalam kehidupan suaminya, ia memilih bercerai.
Di sebuah lokasi aman
"Saya bisa memahami kenapa Naheed berujung di sini karena adanya kebutuhan - sesuatu yang dapat dimengerti oleh seorang polwan," kata Bushra Batool. "Mungkin kalau petugas polisi lelaki yang berbicara dengannya, ia hanya akan merendahkan Naheed."
Pertunangan Batool sendiri bubar tengah jalan karena sang tunangan ingin ia meninggalkan pekerjaannya. Namun dirinya merasa bekerja sebagai polwan membuatnya stabil secara finansial dan meningkatkan harga diri, yang tidak mau ia korbankan untuk lelaki manapun.
"Kantor polisi ini telah mengajarkan saya untuk menghadapi naik turunnya hidup," paparnya. "Saya tidak mau meninggalkannya."
*Nama narasumber sengaja diubah untuk melindungi identitasnya