Kaum Bersenjata Merajai Papua
12 April 2016Sulit disangkal, peranan kaum bersenjata terlalu dominan di Papua. Itu bermula setelah tahun 1965. Historiografi Indonesia terlalu memuja peran kaum bersenjata dalam “mengembalikan Papua” ke dalam Indonesia.
Sejak itu, ada kesadaran palsu, demi keutuhan kartografi van Sabang tot Merauke, yang paling tahu dan paham mengurus Papua adalah pihak yang dulu berperan paling besar “mengembalikannya” yaitu kaum bersenjata.
Ruang politik dan demokrasi Indonesia sepertinya masih dijangkiti oleh kesadaran palsu dalam melihat realitas sosial-politik di Papua. Memang dominasi bersenjata di Papua, tidak menggangu kenikmatan dunia demokrasi yang bisa nikmati di Jawa, khususnya Jakarta. Papua memang terlalu berjarak dari orang-orang Jakarta, dalam segala makna.
Ancaman tak hilang
Kini hanya di Papua ada ancaman kelompok perlawanan bersenjata. Akibatnya melekat julukan “daerah rawan” bagi Papua. Dengan julukan itu ada kesan bahwa ancaman hadir setiap detik dan di setiap jengkal tanah Papua.
Mempercayakan mengurus Papua hanya kepada kaum bersenjata, adalah sikap yang kurang bertanggungjawab secara kemanusian. Masih ingatkan, bagaimana dulu seorang petinggi serdadu menyatakan pelaku pembunuhan seorang tokoh Papua adalah “pahlawan”, meski pun pengadilan memutus bahwa aksi itu tindak kriminal. Bahkan ada serdadu di Papua yang menjual peluru kepada orang yang dicap “musuh” oleh negara.
Namun apa lacur, toh sudah lebih 50 tahun di Papua keyakinan dan keadaan seperti itu berlangsung. Ancaman tidak hilang. Bahkan terus berkembang dan matang. Sekalipun penjara selalu menghadang para propagandis perlawanan.
Tajamnya ujung bayonet dan salakan senjata, sepertinya belum bisa meraih kepercayaan di Papua. Oleh karenanya, juga belum bisa mengurai persoalan sosial politik yang ada.
Bahkan sekarang ini, masih ada belasan pos-pos tentara dengan bedil siap di tangan, di sepanjang jalan raya dari Koya ke Skow, Muara Tami. Pada hal itu daerah masih distrik dalam Kota Jayapura, yang ibu kota Provinsi Papua.
Di Mulia, Puncak Jaya suasana laksana perang setiap hari. Di daerah ini kerap terjadi aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata. Pasukan tentara, selalu dengan kewaspadaan tinggi, berjalan beriringan dengan senjata siap meletus, mobil-mobil bak terbuka dipasangi senjata, dinaiki tentara dengan topi baja, melintasi pasar dan tengah kota. Tapi aktivitas masyarakat berjalan seperti biasa.
Melihat tanda-tanda dan pos-pos itu, dan suasana di Mulia, terasa jarum jam berputar mundur ke 20 tahun lalu. Reformasi seperti tidak pernah terjadi di Papua. Situasi begitu pernah dicatat Imparsial, LSM advokasi HAM di Jakarta, sebagai Sekuritisasi Papua yang terlalu.
Memang tidak bisa pula diingkari, bahwa di Papua dari dulu sampai kini masih ada kelompok perlawanan bersenjata. Kelompok-kelompok perlawanan itu dengan senjata terbatas, tapi mematikan. Sudah banyak korban berjatuhan baik dari orang sipil, aparat mau pun dari kelompok perlawanan itu sendiri.
Hentikanlah senjata
Kiranya perlu inovasi baru dan langkah intervensi diambil untuk menghentikan senjata menyalak dari semua pihak, dan mencegah korban jiwa jatuh. Itu porsinya Presiden. Singkatnya, Presiden perlu memimpin pembukaan ruang demokrasi lebih luas, dan mengkoreksi dominasi senjata di Papua. Jika begitu, baru pendekatan kesejahteraan namanya.
Kaum pengajur demokrasi harus menyuarakan bahwa demokrasi dan HAM adalah hak konstitusional rakyat di Papua. Demokrasi yang bermutu dan penghormatan terhadap HAM harus nyata hadir di Papua.
Tanpa koreksi dan inovasi kebijakan oleh Presiden, sulit membayangkan keadaan politik Papua akan membaik dalam waktu singkat. Dalam situasi senjata kerap menyalak, korban jiwa terus jatuh, pembangunan di Papua, apa pun bentuknya, tidak akan memberi nilai tambah secara politik.
Penulis:
Amiruddin al Rahab adalah analis Politik dan Hak Asasi Manusia, saat ini Direktur Komunikasi Institut Riset Sosial dan Ekonomi.
@amir_alrahab
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.