Kaum Perempuan Yang Kuat Tapi Terinjak
6 Februari 2012Salwa Bughaighis ikut dalam aksi protes di depan pengadilan pusat di kota Benghazi 17 Februari 2011. Itulah yang disebut “Hari Kemurkaan“, dan menjadi awal revolusi dalam sejarah Libya beberapa dasawarsa terakhir. Tetapi bagi pengacara perempuan itu, perlawanan terhadap rejim Gaddafi dimulai dalam aksi para ibu dari Bouslim.
“Para ibu tahanan yang mendekam di penjara Bouslim mengadakan protes setiap hari Sabtu selama empat tahun di depan gedung pengadilan ini. Mereka menuntut penyelidikan atas nasib putra-putra mereka, yang tewas dalam pembantaian di penjara," tutur Bughaighis seraya menceritakan, "Selama revolusi kaum perempuan juga aktif. Kami menuntut agar peran kami diakui dan tampak dalam undang-undang pembentukan dewan perumus konstitusi. Tetapi dalam undang-undang quota perempuan hanya 10%. Itu merupakan shock bagi kami.“
Prioritas Perjuangan
Pemilihan untuk dewan tersebut dimulai Juni mendatang. Jika perempuan kurang terwakili dalam dewan perumusan konstitusi, perempuan Libya khawatir, hak-hak mereka kembali tidak diperhatikan dengan sepantasnya. Itulah prioritas upaya mereka sekarang.
Salwa Bughaighis termasuk perempuan yang aktif dalam revolusi. Kini ia mengusahakan situasi demokratis bagi kaumnya. Selama beberapa bulan ia pernah duduk dalam Dewan Transisi Nasional (NTC), sebagai wakil “Ikatan 17 Februari“, salah satu kelompok politik yang baru terbentuk. Tetapi ia keluar, sebagai protes atas politik NTC yang mendiskriminasi perempuan.
Diskriminasi terhadap Perempuan
“Mereka tidak menanggapi saya dengan serius, seolah perempuan tidak mengerti apapun tentang politik, tidak mampu mengambil keputusan atau memiliki ide. Tidak ada yang mendengarkan saya. Jadi saya lebih suka kembali ke jalanan, bekerja langsung dengan orang-orang dan membangun organisasi swadaya masyarakat. Mungkin di masa depan saya mencalonkan diri untuk posisi politik.“
Kini pengacara itu bekerja dalam Organisasi Perempuan Libya untuk Perdamaian (Libyan Women's Platform for Peace). Organisasi itu sudah menyerahkan usulan rancangan undang-undang pemilihan Januari lalu. Di dalamnya, kuota perempuan ditetapkan 50%. Wadah ini adalah salah satu organisasi sipil baru di Libya, yang berusaha memberikan suara bagi perempuan. Di masa kekuasaan Gaddafi, keanggotaan dalam wadah atau organisasi yang bukan milik negara dianggap penghianatan atas negara.
Tuntutan Perempuan
Sekarang Bughaighis dan rekan-rekannya melancarkan demonstrasi untuk menekankan tuntutan perempuan. Mereka juga berbicara dengan media, menyerahkan petisi kepada NTC dan pemerintahan sementara, serta mengadakan kontak dengan berbagai organisasi internasional, untuk menekan politisi Libya.
Situasi perempuan Libya tidak mudah setelah kekuasaan Gaddafi selama puluhan tahun. Tetapi perempuan Libya termasuk yang paling berpendidikan di kawasan Arab. Menurut statistik Program Pembangunan PBB, UNDP, lebih dari separuh tamatan sekolah tinggi Libya perempuan. Tetapi hanya sekitar seperempat perempuan Libya bekerja.
Libya ikut dalam Konvensi PBB tentang penghapusan semua diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) dan menandatangani semua protokol tambahan. Tetapi, seperti negara-negara Arab lainnya, Libya menyatakan keraguan atas beberapa pasal dalam konvensi itu, karena katanya, itu melanggar Islam. Jadi undang-undang yang merugikan perempuan, seperti soal hak warisan, akan terus berlaku.
Kekhawatiran akan Kaum Radikal Islam
Setelah jatuhnya Gaddafi, kemajuan yang berhasil diraih perempuan Libya dalam tahun-tahun terakhir terancam. Mereka terutama khawatir akan pengaruh kaum radikal Islam. Partai-partai konservatif dianggap sebagai kekuatan politik paling terorganisir di kawasan itu. Naima Gibril yang bekerja sebagai hakim memiliki kekhawatiran sama. Perempuan berusia 63 tahun itu terpaksa tinggal di pengasingan selama beberapa tahun di masa kekuasaan Gaddafi. Ia bangga akan tingkat pendidikan perempuan Libya. Dengan organisasi perempuan yang didirikannya, Komite Pendukung Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (Committee of Women Support to participate in Decision Making) ia maju ke depan umum.
Gibril menjelaskan, “Kami khawatir, perempuan dilarang berprofesi di bidang tertentu. Misalnya sebagai hakim atau pengacara. Kami mengkhawatirkan hak pribadi kami, misalnya perubahan undang-undang yang membatasi poligami. Sekarang menurut undang-undang itu, seorang pria hanya boleh punya dua istri, jika istri pertama setuju. Kami mendukung reformasi undang-undang, tapi tidak boleh kembali memburuk.”
Namun ternyata terlalu banyak pria Libya yang yakin, bahwa perempuan tidak layak ikut dalam politik. Bukan hanya dalam dewan perumusan konstitusi jumlah perempuan dibatasi. Dalam pemerintahan transisi yang sudah berfungsi, hanya ada dua perempuan, di antara 61 anggotanya.
Mona Naggar/Marjory Linardy
Editor: Hendra Pasuhuk