Kelebihan Kapasitas Jadi Isu Utama di Lapas Asia Tenggara
16 September 2021Kebakaran yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang pada Rabu (08/09) pekan lalu yang menyebabkan 48 orang tewas, memicu sorotan pada kondisi penjara-penjara di Asia Tenggara, yang punya masalah serupa. Tiga negara ASEAN tercatat memiliki masalah sangat tingginya kepadatan populasi penjara, masing-masing Filipina, Thailand dan Indonesia.
Dalam kasus kebakaran Lapas Kelas I Tanggerang, menurut data pemerintah penjara ini menampung lebih dari 2.000 narapidana, jauh melebihi kapasitasnya yang dirancang hanya untuk 600 orang. Blok C, lokasi kebakaran terjadi, menampung 122 narapidana pada saat insiden terjadi, yang seharusnya hanya menampung 40 orang.
"Di Indonesia dan sebagian besar di negara-negara Asia Tenggara, padatnya lapas biasa terjadi. Banyaknya jumlah narapidana di dalam penjara juga didorong oleh tingginya kasus kriminalitas", kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia kepada DW.
Tingkat penahanan yang tinggi "tidak disertai dengan peningkatan dan perbaikan fasilitas penahanan yang memadai," tutur Usman lebih lanjut.
Napi hidup dalam kondisi penjara yang memprihatinkan
Masalah kelebihan kapasitas telah mengakibatkan tahanan atau nai di seluruh Indonesia berjuang dalam kondisi yang membahayakan kesejahteraan mereka dan mengancam hidup mereka, dengan banyak yang mengalami "perlakuan yang sama dengan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat,” jelas Usman.
"Mereka mungkin kekurangan nutrisi dan perawatan medis yang memadai. Mereka mungkin tidak memiliki ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Mereka mungkin harus bergantian berbaring untuk tidur karena sel mereka sangat penuh. Kondisi sanitasi mereka mungkin buruk dan berbahaya bagi kesehatan. Akibatnya adalah kematian dan penyakit serius bagi penghuni penjara," terang Usman.
Tak hanya di Indonesia, Thailand juga menghadapi kondisi serupa. Negeri Gajah Putih ini memiliki beberapa penjara dengan kepadatan terburuk di dunia. Tercatat ada sekitar 310.000 narapidana yang dipenjara di 143 lembaga pemasyarakatan di sana. Jumlah tersebut adalah dua kali lipat dari kapasitas resmi, menurut Departemen Pemasyarakatan negara itu.
Thana (nama disamarkan) adalah mantan narapidana di lapas di selatan ibu kota Bangkok. Kepada DW, pria berusia 30 tahun yang menyelesaikan masa hukumannya beberapa bulan lalu itu menceritakan kondisi hidupnya selama di penjara.
"Hanya ada satu toilet jongkok setinggi pinggang untuk satu sel, dengan sekitar 80-100 narapidana tidur di dalamnya," kata Thana. "Kami tidur besandarkan bahu satu sama lain dari ujung ke ujung."
"Masalahnya bahkan lebih akut di Filipina, di mana masalah kelebihan kapasitas penjara di sana dianggap salah satu yang terburuk di dunia", demikian kata Rachel Chhoa-Howard, peneliti Amnesty International Filipina kepada DW.
Menurut Kantor Manjemen Penjara dan Penologi, dari 470 lapas di seluruh negeri, 356 di antaranya dianggap kelebihan kapasitas.
"Penjara Kota Quezon, misalnya, terkenal karena tingkat kepadatannya yang sangat tinggi di mana narapidana terlihat bergiliran tidur di tangga atau di lantai lapangan basket terbuka," ungkap Chhoa-Howard.
"Dalam 12 bulan pertama pandemi virus corona, polisi menangkap lebih dari 100.000 orang karena melanggar aturan karantina," kata Chhoa-Howard, seraya menambahkan pihak berwenang Filipina mengatakan pada April silam, mereka untuk sementara akan berhenti menangkap pelanggar karantina.
Mengapa lapas bisa kelebihan kapasitas?
Thailand, Indonesia, dan Filipina termasuk di antara 10 negara teratas dengan populasi penjara terbesar di dunia, menurut Institute for Crime and Policy Justice Research.
Filipina, Thailand, serta Kamboja juga masuk dalam 10 besar negara dengan lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas, sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-22.
Penegakan hukum narkotika yang agresif di seluruh wilayah menjadi faktor utama.
"Sebanyak 80% tahanan atau napi Thailand dipenjara karena pelanggaran terkait narkoba," kata Phiset Sa-ardyen, Direktur Eksekutif Institut Keadilan Thailand.
"Undang-undang narkoba di Thailand memiliki ambang batas yang rendah untuk apa yang dianggap sebagai praduga niat untuk menjual. Hal ini mengakibatkan peningkatan substansial dalam jumlah tahanan di Thailand, yang menyebabkan kepadatan penjara," tambahnya.
Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte telah mengobarkan perang terhadap narkoba yang telah mengakibatkan lonjakan besar dalam populasi penghuni penjara.
"Selama lima tahun terakhir, kepadatan penjara juga memburuk secara signifikan setelah penangkapan dan pemenjaraan puluhan ribu orang dalam 'perang melawan narkoba'," kata Chhoa-Howard. "Banyak dari mereka yang ditahan di sana karena pelanggaran ringan terkait narkoba tanpa kekerasan."
Mengurangi populasi napi
Sa-ardyen berpendapat saat ini Thailand tengah bergerak untuk mengatasi akar penyebab kepadatan penjara. Pada bulan Agustus, parlemen Thailand mengesahkan undang-undang narkotika baru "yang bertujuan untuk menekankan pencegahan dan pengobatan dan hukuman yang lebih ringan bagi pengguna narkoba skala kecil."
Kelompok hak asasi manusia di negara Gajah Putih itu telah meminta pihak berwenang untuk membebaskan pelanggar tanpa kekerasan untuk mengurangi kepadatan penjara, sementara Sa-ardyen menekankan pentingnya "memastikan bahwa penjara digunakan sebagai upaya hukum terakhir."
Di saat Thailand tampaknya tengah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah kepadatan penjara, Usman Hamid dari AI Indonesia kelihatannya kurang optimis dengan situasi di Indonesia.
Merujuk kasus seorang dosen universitas yang dihukum karena pencemaran nama baik setelah mengkritik proses rekrutmen universitas di grup WhatsApp, Usmad mengatakan: "Kelebihan kapasitas tidak akan pernah terselesaikan jika bahkan ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat yang paling ringan pun dapat mengakibatkan hukuman penjara."
(Ed: rap/as)