Kebebasan Beragama: Indonesia Salah Satu Terburuk di Dunia
11 Agustus 2016Survei PEW Research Center dilaksanakan untuk melengkapi Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan dirilis Rabu malam (10/08) di Washington.
Laporan itu menyebutkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dibatasi di 24 persen negara seluruh dunia. Laporan itu menggambarkan situasi di 199 negara sampai tahun 2015. Ada dua hal yang jadi fokus, yaitu penindasan kebebasan beragama oleh pemerintah, dan penindasan oleh kelompok-kelompok sosial, termasuk kelompok militan dan keleompok teror.
Di banyak negara diberlakukan undang-undang penistaan agama atau yang sering disebut sebagai UU Blasphemy (blasphemy law). Di Indonesia hal ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Di banyak tempat di dunia ini ada UU penistaan agama, sebagian dengan konsekuensi kematian, kata David Saperstein, Duta Besar AS untuk kebebasan beragama internasional, ketika memperkenalkan Laporan Tahunan Kebebasan Beragama 2015/2016. Di satu dari empat negara, ada UU Blasphemy, dan setiap satu dari sepuluh negara juga memberlakukan aturan hukum atas kemurtadan.
Contoh negatif yang disebutkan dalam laporan itu adalah Iran, di mana pendukung agama-agama monoritas bisa dihukum mati hanya karena secara terbuka mengakui keyakinannya. Arab Saudi, Indonesia dan Pakistan juga menjadi contoh negatif untuk pengadilan kasus-kasus penghujatan agama.
Yang perlu diperhatikan adalah "efek berbahaya dari undang-undang penghujatan (agama)," kata David Staperstein. Menurut organisasi Pusat Dokumentasi Hak Asasi Manusia Iran, setidaknya ada 250 anggota kelompok agama minoritas dipenjarakan, termasuk Sunni, Bahai, Sufi, Yarsanis, Zoroaster dan mualaf Kristen.
Di Arab Saudi hukuman penghujatan agama diganjar sanksi penjara yang panjang, sering setelah penahanan tanpa pengadilan. Aturan itu juga sering digunakan untuk para pengeritik rejim. Tahun 2014, Blogger kritis Raif Badawi dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dan 1000 kali hukum cambuk atas tuduhan penodaan agama. Penyair asal Palestina Ashraf Fayadh dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan telah murtad. Setelah protes internasional, hukuman itu kemudian diubah menjadi penjara delapan tahun dan 800 cambukan.
Di Indonesia, pemerintah daerah dinilai bertindak selektif dalam menerapkan UU Penistaan Agama. Bulan Juni 2015, pengadilan di Banda Aceh menghukum empat anggota gerakan GAFATAR dengan dakwaan penghujatan agama. Mereka dijauhti hukuman pentara antara tiga sampai empat tahun.
Selain pengikut GAFATAR, masih banyak orang lain yang meringkuk di penjara atas tuduhan penodaan agama, seperti pemuka agama Syiah, atau orang yang mengaku Ateis.
Jerman juga masuk catatan Laporan Tahunan Tentang Kebebasan Beragama. Februari 2016, seorang pria berusia 67 tahun dijatuhi hukuman denda 500 Euro karena dituduh melakukan penistaan agama. Pensiunan guru yang mengaku ateis itu meulis slogan-slogan anti agama di kaca belakang mobilnya, antara lain: "Yesus - 2000 tahun hanya jalan-jalan, tapi masih belum kram!".
Beberapa orang yang melihat itu, termasuk polisi, lalu mengajukan gugatan. Hukum Pidana Jerman juga memang masih memuat aturan pencegahan penodaan agama. Dalam Paragraf 166 UU Pidana Jerman disebutkan, barangsiapa yang "secara terbuka mencela agama atau keyakinan orang lain sedemikian rupa, sehingga timbul keresahan publik" diancam dengan sanksi hukum maksimal tiga tahun penjara dan denda uang.
hp/rn (KNA, www.humanrights.gov)