Kekerasan terhadap Perempuan: Mimpi Buruk dalam Kehidupan
26 November 2021"Dipukuli dan dicekik oleh pasangannya;" "Dianiaya berat oleh suami;" "Mantan pasangan menusuk dokter perempuan 18 kali." Ini hanya beberapa dari pemberitaan belum lama ini yang menunjukkan meningkatnya masalah kekerasan pasangan di Jerman.
Fenomena ini membuat kehidupan sehari-hari menjadi mimpi buruk bagi banyak perempuan. Dan jumlah kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Orang-orang dari semua jenis kelamin dapat menjadi korban, tetapi perempuan lah yang paling terdampak, sekitar empat dari lima kasus. Menurut angka terbaru dari kantor polisi kriminal federal Jerman (BKA), 119.164 perempuan dan 28.867 pria menjadi korban kekerasan pada tahun 2020. Angka ini meningkat sekitar 5% dari tahun sebelumnya.
Kekerasan pasangan adalah jenis kekerasan dalam rumah tangga dan dapat mencakup penyerangan seksual, penguntitan, dan perampasan kebebasan, serta pembunuhan dan pembantaian.
Bukan tragedi, melainkan tindakan kekerasan
Di Jerman, rata-rata ada satu percobaan pembunuhan yang dilaporkan terhadap seorang perempuan setiap hari.
Menurut data statistik baru, setiap dua setengah hari seorang perempuan mati di tangan pasangannya atau mantan pasangannya. Pada tahun 2020, 139 perempuan terbunuh.
"Kita tidak bisa lagi membiarkan ini terjadi. Kita harus mengambil tindakan keras," kata penjabat Menteri Keluarga Jerman Christine Lambrecht pada presentasi laporan BKA tentang kekerasan pasangan pada Selasa (23/11) di Berlin.
Lambrecht kritis terhadap fakta bahwa kejahatan sering diremehkan.
"Ketika saya mendengar bahwa itu adalah tragedi keluarga ketika seorang pasangan, atau mantan pasangan, membunuh istri dan anak-anaknya, itu benar-benar membuat rambut saya berdiri," katanya. "Itu bukan tragedi keluarga lagi. Bagi saya, tragedi keluarga adalah ketika seorang ibu dari tiga anak meninggal karena kanker. Namun, ketika seorang pasangan atau mantan pasangan membunuh seorang istri dan anak-anak atau menggunakan kekerasan terhadap mereka, maka itulah tidak lain adalah tindakan kekerasan. Dan itu harus diberi label seperti itu."
Untuk tindakan di mana perempuan dibunuh karena jenis kelaminnya, istilah "pembunuhan perempuan" semakin banyak digunakan di Jerman. Femisida, bagaimanapun, tidak dihitung sebagai kategori terpisah dari tindak pidana.
BKA telah mengevaluasi "pembunuhan sehubungan dengan kemitraan" setiap tahun, sejak 2015. Angka tertinggi hingga saat ini terjadi pada tahun 2016, dengan 155 kasus kematian. Namun, BKA tidak melacak motivasi di balik kejahatan ini.
Banyak kasus yang tidak dilaporkan selama pandemi COVID-19
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak dilaporkan hampir tidak mungkin untuk diperkirakan. Banyak dari mereka takut melapor ke polisi karena khawatir tidak dipercaya. Ada penelitian yang menunjukkan lebih dari 90% kasus tidak dilaporkan di semua pelanggaran.
"Tentu saja, angka ini lebih rendah dalam kasus pembunuhan, tetapi secara signifikan lebih tinggi, misalnya, dalam kasus cedera tubuh dan perampasan kebebasan dan dalam kasus pelanggaran psikologis," jelas Presiden BKA Holger Münch.
Selama lockdown akibat pandemi virus corona, Münch mengatakan tidak ada peningkatan signifikan dalam pelanggaran yang dilaporkan ke polisi. Namun, dia menilai masih banyak kasus yang tidak dilaporkan. Saluran bantuan "Kekerasan terhadap Perempuan" melaporkan peningkatan yang cukup tinggi dalam kasus konseling selama pandemi.
"Situasinya serius," ujar Lina Stotz dari organisasi hak-hak perempuan Terre des Femmes Jerman kepada DW. Dia mengatakan fakta sering dilupakan "bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah bagian intens dari kehidupan banyak perempuan. Itu ada di semua kalangan sosial terlepas dari pendapatan, profesi atau daerah asal."
"Itu berarti ada keinginan dari satu pasangan, biasanya laki-laki, untuk mengendalikan pasangannya, untuk menguasainya," lanjut Stotz. Banyak pembunuhan terhadap perempuan terjadi langsung setelah putus cinta atau "ketika perempuan ingin menarik diri dari suatu hubungan dan pasangan mereka kemudian menyerang.
Kemajuan berkat Konvensi Istanbul
Pada Februari 2018, Jerman memberlakukan konvensi Dewan Eropa tentang pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga, yang disebut "Konvensi Istanbul", perjanjian yang mengikat secara hukum pertama di dunia untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga. Perjanjian tersebut mengamanatkan kesetaraan gender dalam konstitusi dan bertujuan untuk memperbaiki situasi perempuan dengan pencegahan, pendidikan, layanan dukungan, dan penegakan hukum.
Sejak saat itu, ahli Terre des Femmes Stotz mengatakan beberapa kemajuan telah dibuat. "Setelah ratifikasi, pemerintah federal membuat saluran bantuan nasional untuk para korban yang tersedia sepanjang waktu dalam banyak bahasa." Selain itu, BKA setiap tahun mengumpulkan angka-angka tentang kekerasan pasangan intim.
"Namun sayangnya, banyak aspek dari konvensi tersebut sama sekali tidak memadai atau tidak diterapkan sama sekali," tambah Stotz.
Stotz mengharapkan inisiatif dari koalisi pemerintah di masa depan, dari koalisi Sosial Demokrat kiri-tengah, Partai Hijau, dan Demokrat Bebas. Misalnya, "setidaknya 14.000 tempat penampungan baru perlu dibuat untuk melindungi perempuan."
Selain itu, dia percaya pelatihan lebih lanjut untuk peradilan dan polisi, serta protokol yang mengikat untuk perlindungan perempuan, harus diperkenalkan sesuai dengan Konvensi Istanbul.
"Ini sangat penting agar korban merasa bisa pergi ke polisi dan mendapatkan pengadilan yang adil. Sayangnya, yang masih sering kita alami adalah mereka tidak tertolong secara memadai," kritik Stotz.
Seharusnya juga ada hak hukum untuk membantu dalam kasus kekerasan, menurut konvensi. "Itu berarti perlindungan terhadap kekerasan dapat diklaim di pengadilan," kata Stotz.
Ketidaksetaraan jenis kelamin
Terlepas dari kemajuan besar yang dibuat dalam 20 tahun terakhir, tidak mungkin untuk mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan dengan cara apa pun yang relevan, menurut ilmuwan sosial Monika Schröttle dari Institute for Empiris Sociology (IfeS) di Nuremberg.
"Alasan mengapa kami masih mengalami begitu banyak kekerasan adalah karena tidak banyak yang berubah dalam hubungan gender. Meskipun kami sudah lama memiliki kanselir perempuan, perempuan dan laki-laki masih tidak diperlakukan sama," kata Schröttle kepada DW.
Dia adalah salah satu pendiri European Observatory on Femicide, yang mengumpulkan dan menganalisis data di beberapa negara. Schröttle mengutip Spanyol sebagai satu-satunya negara di Eropa di mana terjadi "sedikit penurunan dalam kasus pembunuhan perempuan."
Situasi hukum di sana juga telah berubah: "Kekerasan terhadap perempuan di sana dinilai dengan latar belakang penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol, serta dilarang oleh pengadilan Spanyol sebagai kekerasan berbasis gender. Ini berdampak pada persepsi di masyarakat," kata Schröttle.
Harapan untuk generasi muda
Jika langkah-langkah politik dan hukum membantu mengkondisikan bagaimana masyarakat mengevaluasi kekerasan, dapatkah generasi mendatang yang lebih muda mempercepat pecahnya struktur patriarki yang sudah ketinggalan zaman?
"Ada sedikit harapan di antara pria dan perempuan muda di lingkungan alternatif," kata Schröttle. Dalam gerakan seperti Fridays for Future, misalnya, "anak laki-laki dan perempuan, bersama dengan sesama aktivis politik, menyatakan bahwa mereka menginginkan hubungan gender yang berbeda."
"Saya pikir ada potensi untuk perubahan," tambahnya. (ha/yf)