Anda lebih membutuhkan musuh daripada teman. Ungkapan ini terasa benar hari-hari ini setelah melihat serenteng keriuhan menyita perhatian yang mengikuti kepulangan Rizieq Shihab.
Rizieq pergi ke Arab Saudi tiga tahun silam. Sepanjang jangka kepergiannya, banyak hal terjadi di lanskap politik Tanah Air. Pemilu 2019 salah satunya, tentu saja, tapi yang terpenting adalah bagaimana elite-elite berkonsolidasi selepasnya. Oposisi terbesar yang adalah Gerindra kini bergabung dengan koalisi kekuasaan, dan punggawanya, yang sedari awal digadang-gadang sebagai penanding Jokowi, menjadi Menteri Pertahanan.
Jangan lupa pula dengan sejumlah otoritas agama yang menjadi pengampu gerakan 212, gerakan religius yang sempat menggusarkan Jokowi dan barisannya. Ma'ruf Amin, yang merupakan pembesarnya, kini adalah Wakil Presiden.
Efek dari konsolidasi ini sesungguhnya lebih dari sekadar pergantian pejabat atau pihak-pihak yang terlibat dalam koalisi penguasa. Dan mungkin Anda sudah menyadari efeknya dalam kehidupan sehari-hari Anda: dikotomi politik tak berguna cebong dan kampret tak terdengar lagi. Mereka mendadak saja lenyap tak berbekas.
Percayalah, ada hari-hari di mana kita berharap julukan-julukan ini hilang lantaran mereka seakan menandai Indonesia yang terpecah belah. Ada kubu kampret yang rajin menuding pemerintah bersekongkol mempersekusi kelompok mayoritas di Indonesia. Ada cebong yang setiap saat mendakwa tandingannya mengancam kemajemukan, minoritas, dan NKRI. Indonesia nampak berada di ujung tanduk karena terpolarisasinya rakyat ke dua kubu ini.
Peleburan
Dan ketika para elite politik akhirnya melebur dalam satu koalisi politik yang padu, kejutan, polarisasi ini hilang. Dua julukan ini ternyata bukan tanda-tanda Indonesia terpolarisasi—ia tepatnya merupakan tanda-tanda elite politik yang terpolarisasi.
Ketika dikotomi yang ternyata tak penting ini surut, satu fakta segera mencuat ke permukaan. Elite politik sejatinya berjarak dengan warga kebanyakan dan tak pernah peduli dengan demokrasi. Pada tahun 2019, sejumlah UU kontroversial—yang salah satunya adalah UU KPK—disahkan. Pada tahun berikutnya, di tengah-tengah pandemi, UU Cipta Kerja disahkan. Pengesahannya terjadi tak kurang dari setahun, lewat prosedur yang secara mendasar cacat, dan tak mempertimbangkan dampaknya yang mungkin membahayakan pekerja, lingkungan, dan banyak lainnya
Fakta-fakta ini segera mengemuka lantaran tidak ada lagi dikotomi semu yang menyita perhatian publik. Pemandangan oligarki menunggangi kebijakan dan legislasi untuk memuluskan kepentingan mereka menjadi telanjang.
Setelah unjuk rasa 212, unjuk rasa yang tak kalah skalanya terus terjadi. Media sosial terus riuh dengan amarah terhadap rezim. Tapi, suara paling yang paling nyaring menggema tidak lagi yang dari kelompok religius dan terkait persekusi fiktif terhadap elite maupun agamanya, melainkan terhadap kebijakan pemerintah yang memang merugikan. Dikotomi baru muncul yakni dikotomi di antara penguasa dan warga. Dan mau tahu apa? Dikotomi ini lebih tidak menguntungkan pemerintah ketimbang dikotomi sebelumnya.
Indonesia yang berbeda
Ketika Rizieq kembali ke Indonesia, ia kembali ke Indonesia yang berbeda. Pertanyaan yang sempat dimunculkan seorang kawan adalah bagaimana ia tetap akan relevan di tengah persatuan elite politik tak tergoyahkan? Rizieq dikenal sebagai penggoncang lewat orasi, daya mobilisasinya, pun reputasinya sendiri, namun ia juga pada awalnya terkerek berkat ajang 212. Pada ajang itu, kelompok oposisi politik memang juga bersekongkol untuk menggoyang pemerintahan dan ada kemungkinan Rizieq digaet lantaran kapasitasnya tersebut.
Lucunya, sejauh ini Rizieq nampaknya dapat menghidupkan kembali dikotomi cebong-kampret yang sudah usang. Di hari-hari awal kedatangannya saja, pemandangan yang langsung mengemuka ialah massa FPI yang membeludak menjumpai pemimpinnya serta bagaimana mereka tak menaati protokol kesehatan karenanya. Dan pemandangan-pemandangan ini kontan menarik perhatian sekaligus meresahkan.
Dan ketika pemerintah bereaksi terhadapnya, reaksi mereka kontan menggayung perhatian. Mereka bereaksi seakan kehadiran Rizieq membawa masalah yang sangat serius: TNI diturunkan untuk menanggalkan baliho Rizieq Shihab dan memamerkan panser di Petamburan. Yang menarik, tak sedikit publik yang puas dengan reaksi ini. Mereka merasa mendapati TNI yang sigap dalam membatasi kesewenang-wenangan Rizieq Shihab.
Dengan bagaimana baik kubu Rizieq maupun yang melawannya kini mendapatkan perhatian publik yang luas, bukan tidak mungkin dikotomi cebong-kampret bakal mendapatkan serial keduanya. Politisi yang menangkap tanda-tanda ombak baru ini mulai memanfaatkannya. Tak lama setelah Rizieq mulai “ditindas,” Anies mengunggah gambarnya membaca buku "How Democracies Die". Meskipun tak eksplisit, pesan foto ini hanya satu. Ia menempatkan diri sebagai oposisi terhadap perlakuan rezim terhadap FPI dan Rizieq. Dan sebagai seseorang yang namanya mulai bersinar sebagai kandidat presiden, langkah ini bukan tidak mungkin akan mengatrol popularitasnya.
Sayangnya, kita, warga kebanyakan, sesungguhnya tak membutuhkannya.
Sekarang, kita sudah tahu bagaimana watak dari rezim pemerintahan yang tak peduli dengan demokrasi dan warga kebanyakan. Kembalinya Rizieq dapat menempatkan kembali rezim Jokowi sebagai penjaga kemajemukan dan NKRI, yang sempat sirna karena hilangnya kelompok oposisi, dan kita tahu hal-hal ini merupakan citra belaka.
Dan belajar dari bagaimana wacana cebong-kampret jilid pertama berakhir, kita tahu, apa yang menyangga dikotomi semacam. Tak lebih dari elite-elite yang bertikai, saling menunggangi, saling mengerjai. Ia berakhir ketika tujuan politik pragmatis kelompok-kelompok di dalamnya tercapai.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.