Kekuasaan yang dimaksud di sini secara khusus merujuk pada "kekuasaan politik” (political power). Jadi rebutan kekuasaan dalam konteks ini termasuk berebut menjadi pimpinan atau kepala pemerintahan seperti presiden, gubernur, bupati, walikota, lurah, dlsb.
Padahal sebetulnya banyak orang yang berebut kekuasaan itu tidak memiliki kualifikasi dan kapasitas (juga kredibilitas) sebagai pemimpin politik, baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal. Pula, yang berebut kekuasaan politik itu tidak jarang orang-orang yang sebetulnya sudah mapan secara ekonomi-finansial.
Yang memprihatinkan lagi adalah tak jarang, dalam "drama” perebutan kekuasaan itu, mereka saling sikut, saling jegal, saling menelikung, saling menebar fitnah, saling memprovokasi, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Cara-cara kotor dan menjijikkan pun–seperti ujaran kebencian, rasisme, manipulasi agama, "memperkosa” teks suci, kampanye hitam, propaganda jahat, menyalahgunakan tempat ibadah, dlsb–mereka lakukan dengan riang gembira dan penuh kesadaran lahir-batin.
Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 hanyalah sekelumit contoh sekaligus "saksi bisu” sejarah kelam bangsa Indonesia betapa banyak manusia begitu "gelap mata” dan "buta hati” demi yang namanya kekuasaan dan jabatan. Label "budaya timur” yang serba indah, baik, sopan, dan ramah seolah sirna dalam sekejap setelah melihat perilaku sebagian warga dan anak bangsa yang begitu kejam, beringas, dan jahat demi membela jago-jago mereka.
Tentu saja fenomena memilukan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara lain, bahkan negara yang mengklaim sebagai kampium demokrasi seperti Amerika Serikat atau yang mengklaim sebagai "negara Islami” seperti Iran, Sudan, atau Afganistan, juga mempraktikkan hal serupa: politik kejahatan dan kejahatan politik.
Pula, di dalam arena perebutan kekuasaan politik itu, mereka tidak memedulikan kalau rival politiknya itu adalah teman, tetangga, atau bahkan saudara sendiri. Mereka juga tidak menghiraukan meskipun lawan politiknya itu seagama, separpol, seormas, sesuku, seetnis, sedaerah, sekampung, dan seterusnya. Yang penting bagi mereka, kekuasaan bisa direngkuh. Jabatan bisa diraih. Masa bodoh dengan yang lain.
Bagaimana menjelaskan fenomena rebutan kekuasaan politik ini? Dimana hati nurani dan akal sehat mereka?
Faktor rebutan kekuasaan
Tentu saja ada faktor-faktor mendasar yang mendorong atau menyebabkan kenapa ada banyak orang berebut kekuasaan, meskipun secara pribadi mereka sudah hidup layak dan mampu alias serba kecukupan dari aspek finansial dan ekonomi.
Misalnya, faktor kerakusan atau keserakahan. Bagi orang rakus atau serakah, dunia beserta isinya tidak akan pernah cukup untuk "mengenyangkan” perut mini dan buncit mereka. Bagi orang model ini, kekuasaan politik dipandang sebagai "jalan tol” atau "tangga” untuk mengeruk dan mengumpulkan lebih banyak lagi pundi-pundi kekayaan.
Karena itu, ketika berhasil berkuasa, orang model ini akan melakukan berbagai macam cara, termasuk korupsi atau membuat aturan/regulasi hukum dan kebijakan yang tidak bijak, yang menguntungkan dirinya dari aspek ekonomi dan bisnis.
Bagi orang model ini, maka kampanye yang mereka dengungkan untuk atau demi kepentingan dan kemakmuran rakyat, bangsa, dan negara beserta janji-janji manisnya hanyalah "pesesan kosong” alias omong kosong belaka.
Selain rakus/serakah, ada juga faktor prestise yang mendorong banyak orang ingin berkuasa di panggung kekuasaan dan politik-pemerintahan. Prestise yang dimaksud di sini adalah "gila hormat.” Ada banyak sekali umat manusia, sejak zaman dahulu kala hingga kini, yang mengidap penyakit "gila hormat.” Orang jenis ini akan selalu berusaha mencari jalan, medium, atau panggung agar dihormati banyak orang. Orang model ini tidak mesti suka dengan harta-kekayaan, meskipun ada banyak orang menggunakan kekayaan sebagai jalan untuk meraih penghormatan publik.
Gila hormat
Bagi orang yang "gila hormat,” ada perasaan senang secara psikologis dan bangga sekali jika ada orang yang menghormati dan membungkukkan badan mereka kepadanya serta merasa tersinggung jika ada orang yang tidak menghormatinya. Kekuasaan politik, bagi mereka, merupakan sarana ampuh atau sebagai wasilah (jalan) untuk meraih kehormatan karena asumsinya dengan berkuasa atau menjadi penguasa (pimpinan politik-pemerintahan) banyak orang akan menghormati, meskipun penghormatan yang mereka berikan bisa jadi merupakan penghormatan semu atau palsu.
Banyak orang menghormati para penguasa bukan karena mereka respek pada penguasa tersebut tetapi lebih karena takut, baik takut dimusnahkan (misalnya, lantaran penguasa tiran seperti dulu di zaman rezim Suharto) atau dimutasi jabatannya. Ada juga orang yang memberi penghormatan palsu pada penguasa agar mereka memperoleh jabatan ini-itu atau proyek ini-itu.
Kemudian, faktor yang tidak kalah pentingnya kenapa orang rebutan kekuasaan karena adanya dorongan kuat ingin "mengontrol” perilaku publik. Ada sekelompok manusia yang "gatal” jika melihat (perilaku) orang lain tidak sesuai dengan apa yang mereka idealkan. Kekuasaan bagi mereka merupakan alat yang ampuh dan cespleng untuk mengontrol orang lain (warga negara dan masyarakat) agar sesuai dengan apa yang mereka idealkan. Dengan kekuasaan mereka bisa membuat aneka ragam aturan hukum dan kebijakan untuk membatasi ekspresi individu misalnya kebebasan berpendapat, beragama/berkeyakinan, berasosiasi, berperilaku, dan seterusnya.
Misalnya, kelompok fanatikus dan ideolog agama akan "gatal” jika melihat orang lain mempraktikkan hal-ikhwal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran normatif agama yang mereka pedomani atau saat melihat ada negara/pemerintah yang menggunakan sistem/ideologi negara dan pemerintahan yang tidak sesuai dengan ideologi agama mereka. Maka, bagi orang model ini, jika ia berkuasa akan segera membuat berbagai tetek-bengek aturan hukum, konstitusi, dan dasar negara yang diambil dari tafsir, diskursus, tradisi, dan pemahaman agamanya.
Tidak semua ingin berkuasa
Tentu saja tidak semua orang ingin berkuasa karena dilandasi oleh motivasi buruk: mengeruk kekayaan, mendapatkan penghormatan, dan mengontrol perilaku publik. Ada pula yang baik hati dan berniat tulus ingin bekerja membangun negara, bangsa, dan daerahnya agar maju, makmur, damai, dan beradab.
Terbukti ada cukup banyak para pemimpin politik dan negara di dunia ini yang baik dan bermoral serta berhasil menorehkan "tinta emas” dan sejarah positif di negara mereka yang juga diakui oleh masyarakat global-internasional seperti Nelson Mandela di Afrika Selatan, Franklin D Roosevelt di Amerika, Angela Merkel di Jerman, dan seterusnya. Bagaimana dengan Indonesia? Anda tentu tahu jawabannya.
Sumanto al Qurtuby Direktur Nusantara Institute dan Pengajar Antropologi di KFUPM Business School, King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.