1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiMesir

Kenapa Negara Teluk Getol Kuasai Lahan di Pesisir Mesir?

6 Maret 2024

Investasi USD 35 miliar dari Uni Emirat Arab membawa harapan surutnya krisis ekonomi Mesir. Derasnya bantuan untuk Kairo membiaskan dukungan politik. Analis ragu proyek pembangunan resor mewah akan berdampak signifikan.

https://p.dw.com/p/4dDgq
Daerah wisata Sharm el-Sheikh, Mesir
Wisatawan mancanegara di Sharm el-Sheikh, MesirFoto: Maksim Konstantinov/Russian Look/picture alliance

Maklumat itu dirayakan sebagai "titik balik" dalam krisis ekonomi di Mesir. Pasalnya, paket investasi senilai USD 35 miliar dari Uni Emirat Arab, UEA, yang diumumkan pekan lalu oleh Perdana Menteri Mostafa Madbouly, menjanjikan suntikan dana segar bagi perekonomian yang sedang dibekap inflasi dan rasio utang yang tinggi.

Investasi UEA mengalir kepada proyek perumahan mewah di Ras al-Hikma, sebuah semenanjung di dekat Kota Alexandria. Pemerintah di Kairo mengaku telah menerima pembayaran pertama dari dana simpanan Uni Emirat Arab di Bank Sentral Mesir. Sisanya akan dibayarkan dalam waktu dua bulan ke depan.

Kesepakatan itu juga akan memudahkan Mesir untuk memenuhi persyaratan Dana Moneter Internasional, IMF. Kedua pihak sedang akan merampungkan negosiasi utang senilai lebih dari USD 10 miliar untuk menstabilkan perekonomian Mesir.

Persyaratan IMF mencakup devaluasi mata uang pound agar sesuai dengan nilai tukar riil, bukan yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah Mesir diminta menjual sejumlah aset negara kepada investor swasta, bukan semata untuk mendulang kapital, tapi juga demi membatasi pengaruh militer pada perekonomian.

Kabarnya, Arab Saudi juga akan mengucurkan investasi tambahan senilai USD 15 miliar untuk memperluas kompleks wisata Ras Jamila di tepi Laut Merah.

Bisnis Daur Ulang di Negeri Piramida

Mesir butuh lebih dari sekadar 'resor mewah'

Tapi tidak semua menyambut investasi UEA, "Presiden Abdel Fattah al-Sisi sejak bertahun-tahun berutang kanan dan kiri untuk menyelesaikan proyek raksasa demi memuaskan hasrat ekonominya yang tidak rasional," kata Hossam el-Hamalawy, pakar politik Mesir di Jerman.

"Dan al-Sisi selalu bisa mengandalkan bantuan mitra regional atau internasional karena adanya petuah lama bahwa Mesir terlalu penting untuk dibiarkan bangkrut," imbuhnya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pemerintah Mesir "telah menghabiskan suntikan dana dalam tempo yang luar biasa cepat,” timpal Timothy Kaldas, Wakil Direktur Institut Tahrir, sebuah lembaga riset Timur Tengah di Washington. Bagi Mesir, "suntikan duit tunai memang bisa membeli kepercayaan investor untuk sementara waktu. Tapi kunci dari kepercayaan jangka panjang adalah reformasi yang serius."

"Pemulihan ekonomi membutuhkan lebih dari sekadar rejeki nomplok dan resor mewah di tepi pantai," katanya kepada DW.

Selain isu lingkungan, rencana pembangunan resor mewah di Ras al-Hikma mengundang protes warga yang terancam digusur. Meski begitu, Abu Dhabi Developmental Holding Company, ADQ, bersikeras memulai proses konstruksi pada awal tahun 2025. 

Terlalu besar untuk gagal

Kendati himpitan krisis ekonomi, kebangkrutan Mesir bukan dianggap sebagai opsi, lantaran bisa melahirkan masalah keamanan di kawasan 

"Dengan perang di Gaza dan Sudan, stabilitas rezim al-Sisi menjadi kekhawatiran terbesar bagi negara-negara sekutu, bahkan jika artinya mengabaikan langkah reformasi yang sebenarnya dibutuhkan," tulis pakar politik Mesir, Maged Mandour, dalam sebuah editorial di Middle East Eye awal pekan ini.

Apa kaitan investasi UEA dengan perang di Gaza dan perjanjian utang dengan IMF?

Sebuah "kebetulan yang agak mengejutkan," kata Hasan Alhasan, pakar di International Institute for Strategic Studies. Menurutnya, AS sebagai donor terbesar IMF, sudah diketahui sering menggunakan lembaga internasional tersebut untuk menghukum atau memberi hadiah kepada sekutunya.

Baik IMF, maupun Mesir dan UEA membantah investasi senilai $35 miliar itu berkaitan dengan negosiasi utang.

Alhasan menilai, negara-negara Teluk punya tradisi selama puluhan tahun untuk terlibat dalam apa yang disebut sebagai "diplomasi dana talangan."

Diplomasi 'utang' bantu stabilkan Timur Tengah

Fenomena ini dapat didefinisikan "sebagai praktik mencairkan bantuan keuangan atau barang dalam jumlah besar untuk menyelamatkan negara-negara sekutu yang menghadapi krisis keuangan atau ekonomi," tuturnya.

Diplomasi utang "sudah menjadi instrumen utama kebijakan luar negeri negara Teluk sejak awal tahun 1970-an," tulis Alhasan dan Camille Lons, peneliti tamu di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, dalam sebuah penelitian pada tahun 2023.

"Kesepakatan baru ini menunjukkan tren yang lebih luas dalam praktik diplomasi dana talangan di Teluk,” kata Lons kepada DW. "Negara-negara Teluk telah menyuntikkan duit pinjaman ke perekonomian Mesir sejak tahun 1960an. Mesir adalah penerima bantuan terbesar, dengan setidaknya USD 108 miliar.”

Lons dan Alhasan sepakat, praktik diplomasi di Teluk telah berubah sejak belakangan ini.

"Kami mendeteksi hasrat besar negara-negara Teluk untuk memperluas pengaruh melalui diplomasi utang, antara lain demi menguasai aset-aset milik negara yang harus diprivatisasi,” jelas Alhasan.

rzn/hp