Kenapa Program Makan Siang Gratis Mengkhawatirkan Anggaran?
12 Maret 2024Program pembagian makan siang dan susu gratis yang digadang-gadang pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Prabowo-Gibran Rakabuming Raka masih mendapat sorotan dari banyak pihak, khususnya soal anggaran. Jika jadi dilaksanakan, program ini diperkirakan akan menelan biaya yang tak sedikit.
Dikutip dari laman resmi Prabowo-Gibran, program ini bertujuan mengatasi masalah tengkes atau stunting dan akan menyasar siswa pra-sekolah, SD, SMP, SMA, dan pesantren. Program tersebut menargetkan lebih dari 80 juta penerima manfaat dengan cakupan 100 persen pada 2029.
Pilot proyek makan siang gratis sudah dilakukan di Jakarta beberapa waktu lalu. Harga makan siang ditargetkan dengan harga Rp15.000 per anak ini diklaim memenuhi gizi anak.
Gratis, tapi siapa yang bayar?
Di tengah tingginya persentase utang, masih sanggupkan negara membiayai program makan gratis ini? Ekonom dan Peneliti CORE Indonesia Eliza Mardian mengungkapkan bahwa program ini memang memunculkan banyak perdebatan.
"Pertama dari sisi anggaran, kita lihat dari ruang fiskal kita itu terbatas. Kita ada batas defisit yang dipasang itu sekitar 2,4-2,8 persen. Pokoknya harus di bawah 3 persen. Jadi secara rupiah, ruang defisit yang ditoleransi itu hanya sekitar Rp520 triliunan," kata Eliza kepada DW Indonesia.
"Makan siang gratis ini awalnya Rp450 triliun, lalu direvisi di tahun pertama penyelengaraan dibutuhkan anggaran sekitar Rp100-120 triliun. Ini kan berarti memang harus ada tambahan dana di luar belanja biasa sekitar Rp100-120 triliun."
Eliza menambahkan bahwa proyek makan siang ini dikhawatirkan akan menambah utang negara karena pengeluaran negara semakin tinggi tapi pendapatan tak jua naik.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Dari sisi pendapatan, Indonesia itu belum optimal, 78 persennya dari pajak. Tapi, saat ini rasio pajak itu terus turun. Di 2013 rasio pajaknya 11,39%, tahun 2023 turun jadi 10,21%, artinya pendapatan kita terus turun. Ditambah lagi katanya bakal ada program pengurangan pajak," katanya.
"Ke depannya, tren perlambatan penerimaan pajak juga diperkirakan akan berlanjut karena ada ketidakpastian geopolitik, resesi global, perdagangan dunia yang melambat, dan harga komoditas melandai. Sementara, belanjanya itu meningkat karena ditambah dengan program makan siang gratis ini. Dari mana pembiayaannya kalau bukan dari utang?"
Risiko peningkatan barang impor
Selain soal pendanaan, Eliza khawatir akan tata kelola program ini di lapangan, termasuk soal logistik. Menurutnya, saat ini tata kelola lapangan di Indonesia masih sangat carut marut.
"Tahun 2023 dibandingkan dengan 2018 itu skornya turun. Artinya kita mengalami kemunduran dalam hal logistik. Jangan sampai nanti malah semakin memberatkan di biaya logistik karena targetnya di daerah 3T. Jangan sampai nanti misalnya untuk beberapa makan siang yang di NTT itu didatangkan makanannya dari Pulau Jawa."
Selain itu, masalah yang mungkin muncul juga adalah meningkatnya impor. Kekhawatiran akan tingginya pasokan impor juga diikuti dengan ketidaksiapan pemerintah untuk mengembangkan dan memperhatikan UMKM serta pengusaha lokal, ujarnya.
Peringatan dari Bank Dunia
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, kestabilan perekonomian Indonesia tentunya menjadi sorotan banyak pihak. Kekhawatiran akan pembengkakan perekonomian negara dan juga risiko peningkatan utang juga ditunjukkan oleh Bank Dunia dan juga lembaga ekonomi asing.
Mengutip Antara, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen menyebut program ini perlu direncanakan dengan matang, khususnya dalam hal anggaran
"Tergantung program seperti apa yang akan dilaksanakan dan bentuknya apa. Semua rencananya harus benar-benar dipersiapkan dan biayanya juga dipersiapkan," kata Satu Kahkonen.
"Kami masih menantikan (rincian Program Makan Siang Gratis). Untuk Indonesia pada dasarnya berpegang pada pagu defisit fiskal yang telah ditetapkan sebesar 3 persen dari PDB, sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Selain itu, lembaga ekonomi asing, Fitch Ratings, juga menyebut bahwa risiko ketidakpastian seputar kebijakan fiskal jangka menengah telah meningkat.
"Kami percaya risiko fiskal jangka menengah telah meningkat, mengingat beberapa janji kampanye Prabowo, termasuk program makan siang dan susu sekolah gratis yang dapat menelan biaya sekitar 2% dari PDB per tahun, menurut timnya. Pernyataan Prabowo bahwa Indonesia dapat mempertahankan rasio utang/PDB pemerintah yang jauh lebih tinggi juga menunjukkan risiko proyeksi fiskal awal."
Rencana ambisius, dana "jompo"
Wacana pembiayaan makan siang gratis ini sempat disebut akan mengambil dana dari APBN, pengurangan subsidi BBM, dan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Hanya saja, media local ramai memberitakan bahwa dana BOS akan digunakan untuk membiayai makan siang ini.
"Ini artinya program makan siang gratis mengganggu mandatory spending atau belanja rutin yang misalnya untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya sekarang jadinya harus dialokasikan untuk membiayai program ini. Tanpa program itu pun, APBN sudah defisit," ujar Eliza Mardian dari CORE Indonesia.
Melihat berbagai kemungkinan comot-comot anggaran untuk menerapkan program makan siang gratis, Eliza menyebut bahwa ini adalah program yang ambisius.
"Ini program ambisius ya, kalau saya bilang. Karena memang dana jompo. Tentunya dengan kondisi pengelolaan saat ini, ya cukup berat. Terutama juga kita kan ada prioritas pembangun IKN dan pembangun infrastruktur lainnya. 'Kan habis pandemi, istilahnya abis terkena bencana, harusnya mainkan skala prioritas belanja yang sekiranya produktif dan bisa mengingkat perekonomian masyarakat,” ucapnya. (ae)