Sayup tangis bayi perlahan memecah keheningan sore di Desa Zanegi di barat Merauke. Di sebuah rumah kayu tanpa perabotan, bayi Louis terisak di pelukan ibunya, Natalia Mahuze. Sudah sejak kemarin suhu tubuhnya tinggi dan enggan menurun. “Tu..tu..tu,” senandung sang ibu mencoba menghibur.
Natalia dan sang suami, Amandus Gebze, merasa ragu ingin membawa putri kecilnya ke bidan desa. “Pak Mantri sudah bilang, aduh jangan datang terlalu sore,” katanya mengulangi ucapan perawat desa, ketika jam dinding menunjukkan pukul enam.
Keduanya lalu memberanikan diri mencari pengobatan di Puskesmas Pembantu atau Pustu, yang dibangun berhimpitan dengan kediaman bidan. Penghuninya adalah sepasang suami dan istri perawat asal Jawa dan Makassar. Mereka lahir dan dibesarkan di Kurik, sebuah desa transmigran yang masih terletak di dalam wilayah adat Marind.
Menurut catatan Pustu, Louis mengalami gizi buruk, sementara kakaknya, Efraim, tumbuh lambat karena kekurangan gizi. “Tinggi badannya tidak sesuai dengan berat badan,” kata Nuraini, bidan desa.
Deforestasi demi listrik berkelanjutan
Zanegi sejatinya adalah desa marga Gebze. Belanda dulu memaksa marga-marga Marind lain untuk hidup bersama di sana demi memutus tradisi “mengayau”, yakni membunuh antarmarga jika melanggar batas hutan adat, kata Bonifacius Gebze. Meski akhirnya damai, marga-marga yang dipaksa pindah ke Zanegi kini hidup berjauhan dari hutan adat sendiri.
Kasus malnutrisi di Zanegi tahun ini sudah banyak berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perbaikan dicapai lewat intervensi pemerintah melalui pembagian sembako atau suplemen bernutrisi.
Krisis pangan yang melanda desa Marind itu bereskalasi sejak pemerintah pusat menggencarkan program Lumbung Pangan dan Energi di Merauke pada 2009 lalu. Akibatnya, ribuan hektar hutan alam beralih fungsi dan hewan buruan perlahan menjauh.
“Kan di sini perusahaan sudah masuk dan mengolah hasil alam. Hewan tidak bisa tinggal di satu tempat, karena di sini sudah ribut, mereka harus jauh-jauh," kata Moses Kaize, seorang tetua Marind yang masih berburu di hutan adatnya.
Di Zanegi, PT Selaras Inti Semesta yang dimiliki Medco Energi telah menggarap 5.000 hutan untuk kebun akasia. Perusahaan milik keluarga Panigoro itu mendapat hak pengelolaan hutan alam seluas 178.000 hektar dari pemerintah. Mereka membudidayakan kayu untuk dibakar demi listrik berkelanjutan.
Menurut Budi Basuki, Direktur Utama Medco Papua, pihaknya sudah bertindak hati-hati dan banyak berkonsultasi dengan masyarakat adat Marind, termasuk sebelum menebang kebun akasia milik perusahaan.
“Waktu itu kita sebetulnya sudah mengalokasikan banyak daerah yang dianggap biodiversitasnya tinggi, nilai karbon-nya tinggi, maupun yang memang tidak bisa disentuh karena urusan adat, itu kita sisihkan," kata Budi kepada DW.
Perubahan dramatis di tengah kepunahan tradisi
Penebangan hutan alami berakibat fatal, karena terjadi ketika tradisi pangan lokal tersingkir oleh kebijakan pangan nasional. Akibatnya warga suku Marind mengalami kerentanan pangan, menurut Harry Warsoek, direktur organisasi kemanusiaan, MSC Vertenten, di Merauke.
"Dengan masuknya para investor yang begitu banyak diberi izin oleh pemerintah dan secara masif di hampir seluruh wilayah mereka, hutan-hutan semakin lama semakin habis dan sumber-sumber penghidupan mereka semakin terbatas dan semakin jauh. Ruang hidup pun semakin sempit," kata dia kepada DW.
Menurut data Dinas Kesehatan Merauke, Desa Zanegi memiliki tingkat stunting atau tengkes yang tinggi. Pada 2021, sebanyak 17,2 persen bayi di bawah usia lima tahun tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan. Hingga Agustus 2022, tingkat prevalensinya bahkan mencapai 36,8 persen.
"Meski beragam bantuan makannan, kerentanan pangan di kalangan masyarakat asli tidak berkurang, karena sudah dibibit sejak puluhan tahun silam", kata Harry Warsoek.
Punahnya pangan lokal
Di Pesisir selatan Papua itu, pola pangan suku asli sudah berubah dari yang dulunya mengkonsumsi sagu, umbi dan sayur-sayuran serta daging hasil buruan menjadi nasi, mie instan, biskuit dan ikan kalengan.
Hal itu tercermin pada sekolah vokasi yang dibangun Medco sebagai Tanggung Jawab Sosial Korporasi (CSR) di Wapeko, tidak jauh dari Zanegi. Fasilitas ini diniatkan untuk ikut membantu mengentaskan isu kerentanan pangan di kalangan masyarakat Marind.
Namun, solusi yang ditawarkan selaras dengan strategi pangan pusat, yakni menghentikan budaya meramu dan menjemput masyarakat adat dari hutan ke perkebunan. “Kita masih agak jauh untuk merubah budaya meramu ini, tapi paling tidak sedikit demi sedikit melalui pendidikan ini lah," kata Dicky Ahdiyat dari Medco Papua.
Kebijakan pemerintah terbukti berhasil menggusur pola pangan lokal, menurut MSC Vertenten. “Kami pernah melakukan survey ke desa-desa dan ternyata, hampir semua keluarga Marind sudah mengkonsumsi beras,” tutur Harry. Sementara makanan asli seperti “ubi, singkong dan lain-lain diperlakukan seperti makanan pelengkap atau sebagai bahan ritual”
Menurut kajian MSC Vertenten, kebergantungan Marind pada beras menyumbang pada kemiskinan struktural. Akibat fluktuasi harga pasar, anggaran rumah tangga yang tersedot untuk membeli bahan makanan tidak jarang melampaui angka 60 persen. “Menurut saya fenomena ini berbahaya bagi masa depan Suku Marind,” pungkasnya.
Josefina Rumaseuw, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Merauke, menilai status lumbung pangan bagi Merauke memiliki alasan strategis. “Ada wilayah yang jadi program utama pemerintah untuk swasembada beras. Tidak melulu harus semua wilayah menanam beras,” kata dia.
Di kantornya yang berdinding kayu lapis itu terpajang papan tulis berukuran besar dengan data-data hasil panen tahunan. Beras, ubi, singkong dan jagung termasuk komoditas yang mengisi deretan, tapi tidak satu pun kolom menunjukkan hasil panen sagu.
Sekedar nasi dan mie instan
Ketika embun masih membumbung tinggi di langit Zanegi, Natalia memerintahkan anak tertuanya untuk menyiapkan sarapan. Hidangan pagi itu adalah mie instan kuah dan sebakul nasi, yang dilengkapi sebotol garam untuk menambah rasa. Ketujuh anggota keluarga mendapat porsi yang kurang lebih sama, termasuk bayi Louis yang masih harus disuapi ibunya.
Beras dan makanan dalam kemasan sudah sejak lama mendominasi kehidupan suku Marind di Papua Selatan. Tidak jarang, hasil buruan dijual untuk dibelikan ikan kaleng, biskuit atau produk olahan lain. “Bahkan masak sayur pun terkadang harus pakai kuah mie instan,” kata Nuraini, bidan di Zanegi.
Padahal, dalam risetnya tentang penjajahan pangan di Papua, pakar antropologi Australia, Dr. Sophie Chao, mencatat betapa Suku Marind sesungguhnya memiliki tradisi pangan yang kompleks dan beragam. Hal ini antara lain ditandai oleh keintiman kultural yang melekat pada hutan, rawa dan gambut di Basin Sungai Bian.
Dalam keyakinannya, Bangsa Marind merasa berkeluarga dengan semua mahluk hidup di hutan. “Mengkonsumsinya menuntut serangkaian ritual sebagai tanda hormat kepada hubungan persaudaraan tersebut – dari metode berburu hingga cara memasak, lagu yang dinyanyikan atau mitos yang dikisahkan,” tulis Dr. Chao dalam laporannya.
Penjajahan lewat beras
Sejak era kolonial Belanda, Merauke sudah ditetapkan sebagai sentra produksi padi, bukan sagu atau umbi-umbian yang selama ini menghidupi warga Marind. Pada tahun 1947, wilayah Kurik dipilih untuk menjadi proyek percontohan.
Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan mengirimkan petani beras melalui program transmigrasi, yang diperkuat dengan pemberian bantuan alat produksi dan tenaga pendampingan.
“Kita punya saudara-saudara dari Jawa yang datang melalui transmigrasi ke Papua adalah termasuk program pemerintah dalam rangka bisa memberikan inovasi kepada masyarakat yang ada di Merauke. Saya pikir setiap manusia, kalau dibantu dengan pendampingan yang bagus, pasti bisa berubah. Dan itu terjadi.”
Bagi Orang Asli Papua, kebijakan tersebut menciptakan “kebergantungan” kepada pemerintah pusat. Akhirnya "cuma ada satu makanan pokok yang kita kenal, yaitu beras. Dan ini menggeser seluruh pangan lain yang sebenarnya dikenal di Papua,” kata Harry Warsoek.
“Masyarakat dan generasi muda dididik untuk tidak mengenal lagi makanan-makanan lokal yang telah menghidupi mereka secara turun temurun dan sebenarnya bergizi baik,” imbuhnya.
Diskriminasi terhadap OAP
Menurut Bonifacius, tetua adat Marind di Zaengi, kebergantungan terhadap beras tidak dibarengi transfer ilmu yang memadai. “Pemerintah suruh kita makan beras, tapi kita tidak diberi tahu bagaimana cara memproduksinya,” keluh Bonifacius, tetua adat Marind di Zaengi.
Seiring waktu, para petani transmigrasi didahulukan dalam mendapatkan pendampingan atau bantuan alat produksi. Ansel Muska Kaipman, Ketua Asosiasi Petani Asli Papua di Merauke, mengklaim, bantuan serupa jarang diberikan kepada petani asli Papua.
"Kami sampai harus mendatangi kantor pemerintah untuk meminta bantuan,” kata Ansel. Usaha itu membuahkan empat unit traktor, itu pun untuk lahan seluas hampir 300 hektar. Akibatnya, petani Papua tidak bisa menanam tepat waktu.
“Kenapa alat-alat tidak diberikan kepada petani asli Papua? Sementara alat-alat yang turun itu selalu lari ke petani-petani non-Papua. Irigasinya bagus, alatnya semua lengkap. Jadi ketika musim tanam, semua bisa tanam.”
Menurutnya, ketimpangan itu menciptakan kecemburuan sosial yang tinggi. “Petani asli Papua sebenarnya ingin diperlakukan sama. Jangan lihat kami dari sisi politik atau kulit hitam. Tapi kami minta diperlakukan sama," pungkasnya.
Kembali ke pangan lokal
Awan hitam menggelayut rendah ketika Bonifacius mengajak dua anak perempuannya memangkur sagu di hutan. Rintik hujan membasahi dedaunan yang bertengger rendah, di mana lintah penghisap darah menyergap kaki-kaki yang melintas.
Pohon sagu hidup bergerombol dan menyukai kawasan basah dengan tingkat keasaman tinggi. Sebabnya pohon rumbia membumi di tanah gambut dan rawa Merauke
Pangkur sagu sudah menjadi tradisi suku Marind. Biasanya, kepala keluarga akan membawa sanak saudara untuk menginap di hutan selama berpekan-pekan. Bonifacius mengatakan, dia dibesarkan dengan nilai bahwa sagu, berbeda dengan beras, bukan didatangkan manusia, tapi sudah disediakan alam.
“Kalau kita tanam padi, kita harus mau makan beras terus. Kalau kita tidak tahu bagaimana tanam padi, kita harus tanam sagu. Karena kita dibesarkan dan dilahirkan oleh orang tua kita semua pakai sagu," tuturnya. Dia mengkhawatirkan, jika generasi muda Marind sudah mulau memunggungi sagu dan hutan, "maka itu apa yang saya selalu bilang sebagai kehancuran."
Menurut Josefina, pasokan sagu di Merauke masih bergantung pada kegiatan meramu di hutan dan sebabnya dibanderol lebih mahal ketimbang beras, terlebih ketika hutan sagu semakin langka. “Kita saat ini belum bisa membudidayakan sagu dengan baik dan benar, ini menjadi catatan penting,” pungkasnya.
Editor: Agus Setiawan