Kenapa UU Sanksi Asing Milik Cina Mengancam Pegiat HAM?
12 Juni 2021Komite tetap Politbiro Cina mengesahkan Undang-undang baru buat melawan sanksi asing dalam sidang dadakan, Kamis (10/6). Legislasi itu ditujukan melindungi penduduk atau perusahaan Cina yang menerima "tindak diskriminatif” oleh negara asing.
Politbiro tidak merinci nama-nama negara yang dimaksud. Tapi Beijing berulangkali mengecam negara-negara barat karena berusaha "membatasi pertumbuhan Cina,” terutama Amerika Serikat.
UU tersebut mengancam mereka yang dianggap bertanggungjawab dalam perumusan dan penegakkan sanksi dengan larangan masuk, deportasi atau pembekuan aset. Di dalamnya otoritas diberikan kewenangan untuk tidak hanya mendakwa pelaku, melainkan juga keluarganya.
Menurut Angela Zhang dari Universitas Hong Kong, legislasi baru ini "memperkuat kekuatan hukum tetap bagi Cina secara signifikan.”
"Cakupan yang luas pada Undang-undang ini ikut mengandcm banyak orang, seperti akademisi, pengamat atau wadah pemikir akan bisa dikenakan sanksi karena mendukung sanksi internasional terhadap Cina,” kata Julian Ku, pakar hukum internasional di Hofstra University, AS.
Pemerintah di Beijing juga berpeluang membidik entitas bisnis yang dianggap bersekongkol melawan Cina. "Mereka bisa kehilangan akses ke pasar Cina, dan penduduk atau lembaga Cina harus memutus hubungan dengan organisasi yang terdampak,” imbuh Zhang kepada AFP.
Hukum mengundang jera
Undang-undang Anti Sanksi menempatkan perusahaan asing dalam posisi pelik jika terjebak di antara kedua pemerintahan. Dalam kasus embargo ekonomi, perusahaan yang melanggar larangan atau pembatasan bisnis akan dikenakan sanksi.
Hukum baru itu diniatkan mencegah perusahaan atau individu menaati sanksi asing terhadap Cina. Dalam sebuah penjelasan yang dipublikasikan di situs Kongres Rakyat Nasional, UU tersebut disahkan terburu-buru karena "adanya kebutuhan mendesak untuk melawan hegemoni dan politik kekuasaan oleh sejumlah negara barat.”
Beijing sejak lama mengeluhkan sanksi atau kenaikan tarif cukai yang dikenakan AS. Terutama pelanggaran HAM berat di Xinjiang, Tibet dan Hong Kong sering menjadi sumber prahara.
Julian Ku mewanti-wanti Undang-undang tersebut "memiliki bagian yang logis, dan bagian bermasalah,” kata dia. Terutama pasal yang mengancam sanksi balasan, "jarang ditemukan pada rejim sanksi di negara lain.”
Pelaku usaha berulangkali terjebak dalam konflik antara kedua negara besar. Kisruh seputar penyedia sambungan internet 5G Huawei yang dituduh spionase, bersambut perundingan publik terhadap perusahaan fesyen, H&M di Cina, karena menyuarakan kekhawatiran terhadap praktik kerja paksa di Xinjiang.
Zhang meyakini otoritas Cina tidak serta merta akan menggunakan kewenangan barunya itu, mengingat kepentingan bisnis dan ekonomi. "Tapi jika pemerintah asing terus menekan dengan sanksi-sanksi agresif, maka saya yakin Cina akan mulai mendemonstrasikan kekuatannya.”
rzn/vlz (afp,rtr)