Kerja di Sektor Informal Jadi Modal Buka Bisnis di Jerman
11 Juli 2020Saat datang ke Jerman, Elizabeth punya impian, yaitu punya bisnis salon kecantikan sendiri. Berbekal ijazah yang dimilikinya, ia mulai mencari tahu seluk-beluk perizinan untuk menjadi wiraswastawan di bidang kecantikan. Selama dua tahun lebih Elizabeth bekerja di bidang pelayanan kebersihan di supermarket dan perusahaan teknologi informasi untuk memenuhi cita-citanya, mengumpulkan modal untuk membuka salon di Kota Wilhelmshaven, di mana ia kini bermukim.
“Seminggu tiga kali saya kerja di perusahaan IT, kerja bersih-bersih selama satu tahun. Yang dua tahunnya itu saya kerja pagi, sampai hari Sabtu di supermarket, sehari dua jam. Saya tidak minta (uang) sama suami, saya tidak minta suami dan tidak kredit, akhirnya saya punya 5.000€ dan saya belilah apa yang perlu saya beli,“ demikian Elizabeth berkisah tentang awal perjalanannya membuka bisnis. "Dari 100 persen di salon saya itu hanya bagian lantai dan dapur yang saya beli baru, sisanya semua saya beli di internet, barang bekas. Jadi jangan malu dengan barang bekas,“ ujar perempuan yang sudah tinggal di Jerman sejak tahun 2011 ini sambil tertawa lepas.
Jasa yang ditawarkan oleh Elizabeth saat membuka bisnisnya tahun 2017 adalah pijat. Kini ia menambahkan layanan lain, berupa perawatan wajah atau facial. Elizabeth menjelaskan, untuk membuka bisnis di Jerman, selain bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman, pebisnis harus tahu bidang yang akan digeluti. “Sebelum mengurus perizinan, saya sudah tanyakan sertifikat saya, apakah diakui negara (Jerman) atau tidak. Dan apakah bidang yang ingin saya lakukan bisa dilakukan di Jerman. Ternyata mereka bilang, it’s okay.”
Tapi Elizabeth juga diingatkan agar bisnis ia jalankan tidak menawarkan layanan di luar sertifikat yang ia miliki. “Contohnya bidang saya kecantikan kulit, maka saya tidak boleh membuka praktik pijat medis, menikur pedikur medis,” paparnya.
Harus taat pajak
Meski pajak di Jerman tergolong salah satu yang tertinggi di dunia, Elizabeth mengingatkan agar para pelaku usaha sebaiknya menaati peraturan pajak yang berlaku. ”Tidak boleh main-main. Laporkan apa adanya. Waktu awal buka salon, hampir dua tahun awal banyak mata-matanya. Mereka pura-pura jadi tamu, padahal ingin tahu apakah saya mengerti dengan prosedur pajak di Jerman, berapa penghasilannya…Misal: ‘Kamu setiap hari pasti kliennya banyak, ya…’ Atau mereka memantau dari depan salon….“ papar Elizabeth yang bersuamikan warga negara Jerman.
Ibu satu anak ini juga memberi tips dalam menegerjakan pajak. Jika masih belum terlalu paham soal pajak berbisnis, pelaku bisnis bisa meminta bantuan pada perusahaan konsultan pajak. “Kita serahkan bukti kuitansi pengeluaran apa saja pada perusahaan ini dan mereka membantu mengisi formulir dan memprosesnya di kantor pajak. Nanti setiap satu bulan sekali atau satu tahun sekali saya dapat jadwalnya memproses pajak, tergantung dari banyaknya pengeluaran, pemasukan, nanti mereka yang mengurus. Nanti saya diberi tahu berapa yang saya harus bayar ke pajak.“
Alternatif lainnya,adalah mengurus pajak sendiri, dengan mengisi formulir dan menyerahkan semua dokumen termasuk kuitansi pengeluaran ke kantor pajak, sebagaimana yang ia lakukan: “Saya tinggal dapat surat berapa yang harus saya bayar, atau bahkan tidak perlu bayar dari penghasilan saya.“
Mulai dari dikritik sampai ‘disatroni‘ pesaing bisnis
“Menghadapi konsumen harus: Tabah. Tiga tahun saya punya usaha, saya belum pernah punya klien yang benar-benar mengagetkan. Waktu saya sedang melakukan facial, klien saya itu tahu kalau saya hanya sebatas mencabut alis untuk membersihkan bulu rambut. Tapi dia coba-coba. Dia minta bagian kuping belakang, sampai minta saya cabut bulu rambut ke bagian payudara,“ papar Elizabeth menceritakan suka dukanya menghadapi pengunjung salonnya.
“Tentu saya tolak! Kalau kita tidak punya cara profesional dalam berbicara kepada klien, kita bisa kaget, karena kita orang Indonesia. Klien adalah raja dan ratu, tapi kita juga harus punya prinsip!” tegasnya.
Salah satu triknya menghadapi klien warga Jerman adalah dengan penguasaan bidang yang ia geluti. “Orang Jerman tergolong kritis. Kalau kita bisa meyakinkan mereka kita tahu bidang layanan yang kita sediakan, itu sudah cukup untuk bisa menjawab kekritisan mereka,” tandas Elizabeth.
Tidak sedikit pengusaha yang bergerak di bidang yang sama di kotanya. Pada awalnya Elizabeth mengaku menghadapi tekanan dari beberapa pesaingnya. Ia menceritakan: “Saya pernah dapat klien, saya pikir klien biasa. Tidak tahunya ternyata klien-klien yang punya usaha di bidang wellness, di bidang terapi. Saya dimarah-marahi di depan pintu. Awalnya nice, tapi tiba-tiba, kamu menghancurkan harga saya ya. (Pijat) full body dan kepala itu saya dulu 29€ satu jam, di Jerman standarnya per menit satu euro. Standar itu bukan dari negara, itu standar mereka sendiri. Kecuali itu standar bikrokrasinya Jerman, saya pun pasti mengikuti,” tandasnya.
Menghadapi tekanan seperti itu Elizabeth berusaha untuk tenang. "Klien itu raja dan ratu…..jadi saya bilang silakan masuk, kita bisa bicara baik-baik di dalam. Berikan saya kesempatan. Saya juga bukan orang punya, saya orang miskin, suami saya juga miskin. Saya membantu suami saya hidup. Saya juga berjuang hidup dan saya juga ingin impian saya itu nyata di negara orang. Berikan saya kesempatan 5 tahun, mungkin 10 tahun, nanti saya akan melakukan kenaikan harga. Jadi kita harus bisa bicara bahasa Jerman dengan baik dan menekan perasaan kita agar tidak terbawa emosi dan nice dan selalu tersenyum,” pungkasnya.
Mulai dari gangguan pelecehan seksual hingga berhasil membantu keluarga
Elizabeth bukan satu-satunya warga Indonesia yang berhasil membangun bisnis sektor sektor kebugaran dan kecantikan kulit di Jerman. Di Kota Bonn, Jerman, Nana Langjahr sejak tahun 2012 merintis usaha serupa.
“Saya dulu cari uang dengan menjadi pelayan di acara-acara karnaval atau lainnya. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan untuk jadi modal awal. Hampir semua barang yang dibutuhkan di spa pijat saya, saya beli yang second hand saja, namun kualitasnya masih bagus,“ papar Nana yang bersuamikan warga Jerman dan telah dikaruniai dua orang putri.
Pada awalnya terasa berat, Nana bercerita: “Awalnya saya buka jasa pijat di rumah, masih sulit mencari-cari pelanggan. Namun setelah dua tahun saya baru bisa menikmati keuntungannya karena para pelanggan telah mengenal saya dan bahkan mereka yang mencari-cari saya. Saya juga banyak melakukan promosi yang saya lihat jarang dilakukan oleh pebisnis lain di sektor yang sama. Lama-lama pelanggan datang sendiri.“
Nana kemudian membuka spa dengan menyewa lokasi tidak jauh dari pusat kota dan bisnisnya berkembang. Kini ia bukan hanya membantu suaminya dalam mencari nafkah, namun juga membantu keluarga dan orang-orang di kampung halamannya di Lombok.“Apalagi ketika wabah COVID-19 sedang merebak, saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa menyokong mereka,“ imbuhnya.
Namun sebagaimana Elizabeth, selain kisah manis, beberapa pengalaman pahit juga sempat ia alami. “Di mana saja, ada saja yang namanya lelaki hidung belang. Tidak di Indonesia, tidak di Jerman. Ada beberapa kali oknum yang pura-pura jadi tamu mencoba melecehkan saya. Modusnya macam-macam, misalnya di telepon sudah tanya apa ada pijat erotis, body to body dan sejenisnya, padahal sudah saya tulis di pamflet di sini tidak menyediakan layanan seperti itu, ini pijat kebugaran, jadi nomor-nomor telepon dari orang-orang yang melecehkan saya itu tentu langsung saya blokir,“ kata Nana. “Pernah juga ketika sedang dipijat mencoba memegang-megang, atau sejenisnya, tentu saya lawan, langsung saya usir,“ tambah Nana.
“Sejauh ini saya bisa menjaga diri ketika mereka mencoba untuk melakukan pelecehan seksual. Kebetulan di seberang spa saya pun ada kantor polisi, dan saya bisa setiap saat menelepon atau memanggil mereka,“ pungkas Nana.