Kesadaran Tentang Tsunami Makin Tinggi
24 Desember 2014Sejak bencana tsunami 26 Desember 2004, beberapa negara di Asia Tenggara sudah mengembangkan sistem peringatan dini dan belajar dari pengalaman selama penanganan musibah itu. Berikut wawancara DW dengan Profesor Dr, Jacob Rhyner, ahli lingkungan dan mitigasi bencana yang sekarang mengajar di universitas PBB.
DW: Profesor Rhyner, kalau kita menengok ke belakang tahun 2004, mengapa begitu banyak korban tewas dalam bencana tsunami itu?
Jakob Rhyner: Ada dua alasan utama. Salah satunya adalah cakupan besar bencana itu. Hampir tidak ada bencana di dunia ini yang mencakup daerah begitu luas, seperti tsunami itu, yang mencapai beberapa benua. Alasan kedua, waktu itu belum ada kesadaran luas tentang ancaman tsunami. Banyak orang tidak tahu, apa itu tsunami, karena ini memang bencana alam yang relatif jarang terjadi.
Berkaitan dengan bahaya tsunami, apakah sekarang sudah ada perubahan dalam masyarakat?
Sudah banyak yang berubah. Sebutan "tsunami" sekarang sudah jadi kosakata dimana-mana. Tahun 2004, itu masih kata asing yang tidak dikenal luas. Selain itu, berbagai proyek pembangunan kembali sudah dilaksanakan, dan banyak hal dilakukan untuk membangun sistem peringatan dini.
Apa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem peringatan dini?
Sistem seperti itu perlu teknologi yang cukup luas. Pertama-tama, harus ada sistem deteksi untuk menentukan sumber tsunami. Misalnya kalau terjadi gempa, dalam hal ini yang dibutuhkan adalah seismometer. Lalu, sangat penting untuk mengirim data-data yang dikumpulkan dengan cepat ke sebuah pusat pengolahan data. Ini biasanya menggunakan satelit. Baru kemudian para ahli harus menentukan, apakah gempa yang terjadi berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Untuk itu diciptakan model-model prakiraannya. Untuk itu perlu sistem komputer yang punya kapasitas besar. Setelah ditarik kesimpulan, bahwa ada potensi tsunami yang bisa mengakibatkan kerusakan besar, harus ada orang-orang yang mengirim peringatan kepada instansi-instansi terkait. Lalu, pada mata rantai terakhir, petugas lokal harus memperingatkan masyarakat, dan mencapai sebanyak mungkin warga.
Jadi harus ada kerjasama erat dengan masyarakat lokal?
Ya, ini yang disebut dengan konsep "the last mile" atau "rangkaian terakhir". Di sini, yang dibutuhkan bukan teknologi tinggi lagi, melainkan manusia yang memperingatkan manusia lain. Pertama-tama, orang harus tahu, ada sistem peringatan dini, dan kapan ada sinyal peringatan. Jadi kalau sinyal peringatan dikeluarkan, orang harus mengerti, itu sinyal untuk apa. Tapi ada juga komunitas di masyarakat yang menganggap bahwa bencana alam sebesar itu sudah menjadi kehendak takdir. Sebagian orang ini tidak menganggap sinyal peringatan terlalu serius. Jadi, dalam hal ini ada hambatan budaya yang harus dilewati. Nah, kalau masyarakat menerima peringatan tanpa hambatan budaya, mereka tetap harus tahu, apa yang harus mereka lakukan. Ke mana mereka harus lari, di mana mereka bisa berlindung. Jadi, untuk bereaksi dengan baik terhadap sebuah peringatan, masyarakat harus berorganisasi.
Thailand adalah salah satu negara yang cukup parah dihantam tsunami, Tapi sekarang ada tuduhan bahwa pemerintahan lokal di sana berusaha meredam isu tsunami, karena khawatir ini bisa berdampak buruk pada industri pariwisata. Apa ini bisa menghambat mitigasi bencana tsunami?
Ya, kalau potensi ancaman tsunami sengaja dianggap kecil, ini akan berdampak pada sistem pengamanan. Tapi ini tidak hanya terjadi di Thailand. Di Swiss juga, pemerintah lokal ada yang mencoba meredam isu ancaman longsor salju, karena khawatir ada dampak negatif pada pariwisatanya. Namun secara keseluruhan, saya pikir ada perkembangan baik. Orang-orang mulai berbicara tentang sistem pengamanan dan membahas konsep-konsepnya. Jadi mereka tidak menganggap remeh ancaman bencana. Mereka mengatakan, ya, memang ada bahaya, tapi kita bisa menanganinya. Kita punya sistem peringatan dini dan bisa menyebarkan informasi, misalnya dengan selebaran-selebaran kecil. Jadi semua ini berhubungan dengan cara kita menangani bahaya dan ancaman. Itu sebabnya, pembuatan sistem peringatan dini perlu waktu lama.
Menurut Anda, apakah proyek-proyek pembangunan kembali yang dilaksanakan bisa membuat kawasan itu lebih siap menghadapi tsunami?
Terkait dengan pembangunan perumahan dan infrastruktur, sudah banyak yang dilakukan. Tapi saya harus mengatakan, hasilnya masih bervariasi. Ini bukan soal kecepatan pembangunannya. Itu berjalan dengan baik. Setelah suatu bencana besar, biasanya banyak sumbangan berdatangan, dan ada dana besar. Dana ini biasanya harus disalurkan dalam waktu singkat, karena bersifat sumbangan dari masyarakat, dan mekanismenya memang menuntut begitu. Padahal, yang lebih baik adalah, menunggu lebih lama, dan menimbang baik-baik penggunaan dana sumbangan dan bantuan itu. Jika tidak, orang cenderung membangun rumah di tempat yang baru saja terkena bencana. Dan itu tidak selalu baik.
Masih banyak orang yang takut, bencana besar seperti itu akan terjadi lagi. Apa pesan Anda?
Rasa takut adalah sesuatu yang baik, itu pertanda bahwa kesadaran tentang bahanya sudah makin tinggi. Dan kalau orang menyadari ada bahaya, itu berarti sudah ada langkah pertama mereduksi resiko. Kalau ada orang yang sekarang misalnya berlibur ke Thailand, dan di pantai mengamati bahwa air mendadak surut jauh ke tengah laut, mereka cenderung akan lari mencari tempat yang lebih tinggi. Ini adalah pelajaran dari bencana tsunami yang sudah terjadi. Rasa takut kita adalah alat bantu untuk mengurangi resiko. Itu kabar baiknya.
Profesor Dr. Jakob Rhyner adalah fisikawan dan Direktur Institute for Environment and Human Security di UN University (UNU). Wawancara untuk DW dilakukan oleh Irene Quaile