Masitoh, 30 Tahun Menjaga Resep Asli Dodol Betawi
22 Desember 2022Jelang akhir tahun, sebagian anggota masyarakat biasanya telah memiliki berencana untuk berlibur atau sekadar mengunjungi teman dan saudara. Nah dalam budaya Betawi, bertandang ke handai tolan seolah belum lengkap jika belum membawa buah tangan, salah satunya dodol betawi.
Meski penjual dodol betawi kini makin marak, tidak banyak yang masih mempertahankan proses pembuatan dodol dengan cara tradisional. Di kawasan Batu Ampar, Condet, Jakarta Timur, salah satu pembuat dodol terkenal adalah Hajah (Hj.) Masitoh atau akrab disapa Mamas masih memakai cara ini.
Hj. Masitoh sudah tidak terlalu ingat tahun berapa dia mulai jualan penganan manis gurih khas Betawi ini. Katanya, kemungkinan antara tahun 1970 atau 1980-an. Meski begitu satu yang pasti, dia masih ingat perjuangannya berkeliling dari rumah ke rumah untuk menawarkan dodol jualannya.
Hanya saja, kala itu bisnisnya belum berjalan lancar. Meski sudah berkeliling banyak rumah, dodolnya hanya terjual satu gulung, bahkan terkadang pernah tidak laku. "Susah cari langganan, aduh bener-bener deh. Kita kasih coba (dodolnya), ternyata mau beli. Nggak apa-apa dapat dikit yang penting lancar usahanya. Orang kenal dodol kita."
Pinjam perabot mertua
"Mertua 'kan memang jualan dodol betawi, belajarlah dari dia. Susah awalnya mah, berapa kali gagal bikin, tapi ya akhirnya berhasil."
"Dulu mah gak punya apa-apa. Gak punya mesin, gak punya kuali. Akhirnya pinjam sama mertua, dia ada banyak karena memang usaha dodol. Kita pinjam satu, buat bikin dodol, terus dijualin," kata perempuan yang juga akrab disapa Mak Haji ini kepada DW Indonesia.
Mamas menyebut setidaknya lima tahun dia harus berkeliling menjajakan dodol di sekitar rumahnya di Kawasan Condet, Jakarta Timur. Di daerah inilah, kala itu Mamas harus berjuang sendirian menghidupi enam anaknya, setelah sang suami meninggal dunia. Berkat kegigihannya, usahanya mulai menampakkan hasil.
"Mulai lumayan tuh, kadang ada pesanan satu atau dua dodol. Lama-lama ngaduk 1 kuali itu habis. Satu kuali itu bisa jadi 20 keranjang kecil dodol," kata perempuan 72 tahun ini.
Dengan rasa bangga yang tergambar di wajah, Mamas menyebut, bulan puasa dan Lebaran menjadi pembuktian usahanya mulai menanjak. Dodol memang punya tempat tersendiri di hati orang Betawi. Puasa dan Lebaran dinilai tidak bakal lengkap tanpa dodol yang tersaji, ibarat kata: 'gak ada dodol gak Lebaran.'
"Gak punya baju gak apa-apa yang penting punya dodol. Nenek saya itu Betawi totok (Betawi asli) bilang sama saya, jangan beliin baju, yang penting ada dodol. Akhirnya aduk dah tu dodol 2 kuali. Satu kuali dibagi-bagi ke saudaranya, anaknya, dan 1 kuali buat dia," katanya dengan logat Betawi yang kental.
Puncak pesanan biasanya datang ketika Bulan Ramadan. Mamas mengaku saat orang-orang sudah mulai tahu rasa dan kualitas dodolnya, pesanan untuk dodol betawi pernah mencapai 50 kuali. "Terus tahun besoknya naik jadi 100 kuali, tahun depannya lagi 150 kuali. Waktu itu masih belum bikin harian."
Naik haji karena dodol
Bertahun-tahun 'mengaduk' dodol membuat nama merek dagangnya yakni Dodol Betawi Hj. Mamas makin dikenal orang, tidak hanya seputaran Condet. Mamas mengaku tidak banyak berpromosi, hanya dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi.
"Dari yang awalnya gak bikin harian, akhirnya bikin dah tiap hari karena orang banyak yang nyari. Seminggu laku 2, lalu 3, lalu 4, naik-naik terus jumlahnya. Alhamdulillah deh. Punya keuntungan dari situ bisa beli kuali lagi, gitu terus. Sekarang sudah punya 20 kuali, mesin tepung, mesin parut, punya tempat (usaha), rumah, bisa berangkat haji, umroh kaya orang-orang gitu."
Seiring bertambahnya usia dan berkembangnya usaha serta jaringan pelanggan, Mamas pun tak lagi berkeliling. Sehari-harinya, dia dibantu anak-anak dan menantunya mengelola 'warung dodol.' Selain dodol, kini dia juga membuat berbagai penganan khas Betawi seperti geplak, wajik, asinan buah dan sayur, kue akar kelapa, kembang goyang, dan lainnya buatan anak-anaknya. Namun, dodol tetap jadi primadona di sini.
Beberapa kali, saat DW Indonesia berada di sana, satu per satu pelanggan datang hanya untuk menanyakan dodolnya. Beberapa lainnya memesan dan mengambil pesanan mereka.
"Iya, ini mau dibawa buat besan besok Mak Haji," kata salah satu pelanggan datang dan menyapa Mamas dengan akrab sembari mencari kertas kecil bertuliskan namanya di tiap kemasan dodol.
Lebih baik untung sedikit daripada kehilangan pelanggan
Pandemi Covid-19 tak ayal juga berpengaruh pada usaha dodolnya. Ditemani cicit perempuannya, Mamas melanjutkan cerita usahanya yang sempat menurun kala pandemi Covid-19 menyerang.
"Dulu sebelum Covid mah sering ada pesenan ada 100 gulung, 50 gulung. Pas Covid agak kendor tapi Alhamdulillah masih tetap ada. Pas Covid susah,"ucapnya.
Berbagai upaya pun dilakukan demi kelangsungan usaha. Di masa pandemi, dibantu anak menantunya, dia mulai meluaskan usahanya lewat jualan online di media sosial sampai marketplace.
"Sebelum Covid mah keteter, karyawan sebelum Covid ada banyak, bisa sampai 30 orang kalau puasa. Kalau untuk harian, 2-3 orang saja cukup. Untungnya sekarang udah mulai naik lagi, banyak yang buat pesta (pernikahan), buat besan, seserahan. Ini ada kali 20 mika pesenan tiap hari."
Meski harga-harga bahan baku kini semakin naik, wanita yang pernah mendapat penghargaan UMKM pada 2015 lalu ini mengaku tak menaikkan harga jual saat masa pandemi. Buat dia, untung sedikit jauh lebih baik dibanding kehilangan pelanggan yang sudah bertahun-tahun bersamanya.
Saat ini harga jual dodolnya berkisar antara Rp90.000 per gulung sampai Rp230.000 untuk ukuran mika besar. Namun Mamas juga menyediakan berbagai ukuran tergantung permintaan pelanggan. Selain itu dia mengklaim tidak menurunkan kualitas dodol betawi buatannya, termasuk mencari bahan baku atau pemasok yang lebih murah.
"Resep udah, saya gak ubah-ubah. Dari sononya udah begitu, gak boleh diganti-ganti, nanti rasanya gak enak. Bisa kemanisan, bisa kurang gurih." (ae)