Kiai Tantowi dan Islam Ramah Lingkungan
27 Februari 2017Kiai Tantowi Jauhari Musaddad dari Garut, Jawa Barat, adalah salah seorang ulama yang tergolong langka di Indonesia. Bukan karena ilmu dan wawasannya karena banyak ulama yang berilmu tinggi dan berwawasan luas di negara-kepulauan ini. Tetapi lantaran pandangan, pemikiran, dan praktik keagamaannya yang cukup unik. Di saat banyak ulama dan tokoh Muslim yang sibuk mengurusi aliran, sekte, mazhab, pandangan, dan pemikiran keagamaan dan keislaman orang lain, kiai eksentrik ini malah sibuk mengurusi alam dan lingkungan hidup yang kian terancam kelestariannya karena kebodohan, kecerobohan, dan keserakahan umat manusia.
Menurut Kiai Tantowi, "Alam kini sedang menggeliat sehingga sering kali menimbulkan bencana, baik gempa, banjir, tanah longsor, angin topan, dlsb. Alam marah karena tingkah laku manusianya yang sudah berada di ambang batas normal. Maksiat, korupsi, penebangan liar, industrialisasi tanpa wawasan lingkungan, dan perbuatan buruk lainnya manusia telah membuat alam ini murka.”
Karena itu, menurutnya, masyarakat harus menjaga lingkungan hidup secara baik dan manusia harus mampu mengubah sikap hidup secara Islami dengan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan perintah Al-Qur'an yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan merawat alam semesta serta menghindari perbuatan yang berpotensi merusak alam dan lingkungan.
Menggagas fatwa lingkungan
Pernah suatu saat "kiai lingkungan hidup” ini mengadakan musyawarah para ulama guna membicarakan masalah krisis lingkungan sekaligus untuk menghasilkan sebuah "fatwa lingkungan”. Sidang para ulama itu memutuskan beberapa keputusan penting, antara lain, tentang kewajiban memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Sebaliknya, haram hukumnya bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau kegiatan perusakan alam dan lingkungan.
Kiai Tantowi—dan para ulama Garut—juga memfatwakan bahwa penanaman pohon untuk penghijauan, pelestarian lingkungan dan pencegahan banjir merupakan salah satu bentuk shadaqah jariyah yang akan mendapatkan limpahan pahala dari Tuhan. Mereka juga menyerukan bahwa pelestarian lingkungan merupakan salah satu wahana mendapat ampunan dari Allah SWT. Akhirnya para ulama Garut mengatakan kepada orang-orang yang berdosa besar dan hendak bertobat tidak perlu mojok di dalam masjid, membaca istighfar ribuan kali, tetapi cukup dengan mengadakan penghijauan!
Fatwa ini tentu saja "sangat ekstrem”. Tetapi pesan penting yang ingin disampaikan Kiai Tantowi dan para ulama Garut adalah; bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan, akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral atau akhlak manusia. Disinilah komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem dan bumi tempat berpijak dan berkehidupan ini. Bukannya menghindar dari tanggung jawab dan malah "cuci tangan” serta menganggapnya sebagai "takdir Tuhan”.
Luput dari perhatian
Masalah lingkungan atau wawasan ekologi ini hampir-hampir luput dari pembahasan para ulama dan sarjana Muslim. Mereka mampu berbicara panjang lebar dan detail mengenai "dunia lain” (alam akhirat beserta isinya: surga, neraka, malaikat, bidadari, dlsb), ibadah ritual (salat, puasa, zikir beserta pernik-perniknya), teologi (sifat Tuhan, zat Tuhan dan seterusnya), moralitas individual, dlsb. Tetapi hampir-hampir tidak menyinggung masalah dunia ekologi dan lingkungan hidup. Padahal lingkungan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, penyakit dan malapetaka terjadi di mana-mana.
Dunia dewasa ini tidak hanya terjangkit krisis ekonomi, krisis moneter, krisis minyak, krisis moral, krisis politik, krisis iptek, krisis budaya, dlsb tetapi juga krisis lingkungan. Lihatlah pemandangan memerihkan hati yang sering muncul dewasa ini: banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil dlsb hampir datang bertubi-tubi silih berganti. Alam di jagat raya ini seolah mengamuk dan mengancam kehidupan manusia penghuni bumi. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana.
Kenapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa umat Islam jarang tertarik melakukan penghijauan, menjaga kebersihan dan melakukan kegiatan lain yang bernuansa "ramah lingkungan” dan mencegah berbagai madlarat (ekses negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat?
Selalu menyalahkan Tuhan?
Sebaliknya, kenapa umat Islam lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, dzikir nasional, istighatsah dan semacamnya? Meskipun tentu saja tidak ada salahnya mengikuti berbagai aktivitas ini. Kenapa pula, meskipun bencana alam sudah terjadi sejak zaman purba bersamaan dengan kehidupan manusia, umat beragama tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan dan teologinya—sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi atau katakanlah wawasan "eko-teologi”?
Dan kenapa pula setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa menganggap (menuduh?) sebagai takdir Tuhan? Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Tuhan selalu "dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Hampir-hampir tidak pernah, kita, menuduh diri kita sendiri sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi.
Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai "siksa” atau "cobaan” dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdo'a, mohon ampun, istighatsah, menggelar zikir nasional sambil nangis-nangis dan seterusnya. Saya tidak meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini akan tetapi "terapi spiritual” jenis ini di samping merendahkan (bahkan "mengolok-olok”) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang "Maha Buas”, juga dengan cara demikian berarti kita hendak "cuci tangan”—melepaskan tanggung jawab—dari musibah kemanusiaan itu.
Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan! Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya kita—manusia—yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan yang "dikambinghitamkan”. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, penebangan liar, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan "sumber” malapetaka dan bencana tadi.
Bukankah Al-Qur'an sendiri juga telah mengingatkan bahwa "Kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika Al-Qur'an sendiri menganggap manusia sebagai "otak” dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia—jika mengikuti alur cerita kitab-suci Agama Semit—pada dasarnya "terlempar” ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab Adam dan Hawa (Eva) telah memakan dan merusak "pohon kekekalan”.
Perlunya restorasi nalar pemikiran
Beberapa masalah di atas, yang menimpa hampir semua agama tidak hanya Islam saja, sangat terkait dengan "wawasan teologis” umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan. Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik); bahwa pahala-dosa adalah berkaitan moralitas individual (bukan moralitas sosial); bahwa ibadah yang "wajib ain” hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal) dan seterusnya.
Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum Muslim: agama, dengan begitu, sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa "agama dan masyarakat” merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Mindset demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam di Abad Pertengahan, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Al-Qur'an.
Kita tahu watak, semangat dan mentalitas sebuah monarkhi adalah "stabilitas”. Logika "stabilitas” selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan dan seterusnya. Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Al-Qur'an jelas terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Bukankah "motto Islam” adalah rahmatan lil alamin—rahmat bagi sekalian alam? Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang saja tetapi juga alam semesta.
Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi sebuah "tradisi yang hidup” (living tradition, menurut Syed Hosen Nasr) dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan tragisnya para ulama fiqih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari'ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Abu Ishaq al-Syathibi (w. 1388) misalnya dalam kitabnya yang sangat populer, al-Muwafaqat, merumuskan "maqashid al-syari'ah” menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama ( hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl). Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-‘irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam ber-ijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan.
Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fiqih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Syaikh Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari'ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.
Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Tahapan yang mesti ditempuh terlebih dahulu adalah, pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam (scientia sacra) tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis (eco-theology) atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis.
Dalam konteks ini, maka para ulama dan fuqaha harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Al-Qur'an dan Hadis seperti yang dilakukan oleh Kiai Tantowi ini, dan juga oleh almarhum Kiai Sahal Mahfudh yang sangat brilian dalam menggali nilai-nilai dan "pesan universal” Islam serta memahami masalah-masalah dan problem sosial-kemasyarakatan. Wallahu ‘alam bi-shawwab.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis