Kiriman Bantuan Tertunda bagi Korban Gempa Bumi Afganistan
19 Oktober 2023Rangkaian gempa bumi yang melanda wilayah barat Provinsi Herat di Afganistan sejak awal Oktober silam sejauh ini sudah menelan 1.384 korban jiwa, menurut kantor koordinasi bantuan PBB, OCHA. Pemerintahan Taliban sebaliknya mencatat kurang lebih 1.000 warga yang tewas.
"Sembilan anggota keluarga saya meninggal dunia," kata Mahmud, warga Herat, kepada DW. "Ayah saya, dua puteri saya, dua kakak ipar dan anak-anaknya tewas dalam gempa bumi," imbuhnya di depan reruntuhan yang dulu merupakan kediamannya.
Gempa pertama kali mengguncang Herat dengan kekuatan 6,3 pada skala Richter pada 7 Oktober, yang dilanjutkan dengan gempa susulan hingga yang terakhir pada 15 Oktober silam.
PBB melaporkan, lebih dari 43.000 warga terdampak bencana dan hampir 90 persen korban adalah perempuan dan anak-anak. "Gempa terjadi pada jam ketika para laki-laki biasanya bekerja di luar, untuk misalnya mengurus kebun atau ternak, sementara perempuan dan anak-anak berada di dalam rumah," kata Lina Haidari, pegiat perempuan Afganistan di Herat.
Taliban ingin koordinasikan bantuan
Bencana menimpa wilayah yang dikenal miskin di Afganistan. Menurut PBB, dibutuhkan dana senilai USD 93.6 juta untuk membantu korban gempa. Namun sejauh ini belum jelas berapa dana yang sudah terkumpul dan tersalurkan. Selain PBB, sejumlah negara jiran seperti Cina, Turki, Pakistan, Uzbekistan, Jepang dan Uni Emirat Arab sudah mengirimkan bantuan secara langsung.
"Untuk mengelola dan mengkoordinasikan penyaluran bantuan, pemerintah Taliban membentuk komisi khusus, yang bertanggung jawab memastikan semua dana bantuan tersalurkan dengan baik dan tidak dikorupsi," kata Zabiullah Mujahid, juru bicara Taliban dalam wawancara dengan DW.
Mujahid mengklaim pihaknya tidak abai dan telah mengirimkan bantuan hanya beberapa jam setelah gempa pertama. Klaim tersebut dibantah sejumlah pegiat dan aktivis kemanusiaan di Herat. Mereka mengaku, hingga beberapa jam setelah gempa, Taliban tidak juga mengabarkan luas wilayah yang terdampak, sehingga memperlambat upaya penyelamatan.
"Dua sampai tiga jam setelah gempa tidak ada sedikitpun informasi," kata Rashid Azimi, sukarelawan asal Herat. Dia menuduh Taliban menjalankan "manajemen krisis yang buruk."
Kewalahan negara, kemandirian warga
Secara umum, Afganistan tidak lagi memiliki layanan penanggulangan bencana sejak penarikan mundur pasukan NATO, tahun 2021 lalu. Hal ini menyulitkan Taliban yang tidak memiliki banyak pengalaman dalam mengelola negara. Ditambah lagi dengan kerusakan pada infrastruktur dan kemiskinan ekstrem akibat perang.
Taliban mengakui, pihaknya tidak mampu memberikan semua bantuan yang diperlukan lantaran kas negara yang terbatas. "Afganistan adalah negara miskin dan tidak mampu menanggulangi sebuah bencana dengan sumber daya sendiri. Sebab itu kita membutuhkan bantuan dan dukungan dari negara lain," kata juru bicara Taliban, Mujahid.
Ketika bantuan internasional datang terlambat, sejumlah warga Afganistan di dalam dan luar negeri giat mengorganisir bantuan.
Jawid Hazrati, seorang pegiat di Herat, mengaku berhasil mengumpulkan dana sumbangan di timur Provinsi Nangarhar sebesar lebih dari tiga juta Afghani atau sekitar Rp. 600 juta. "Mereka yang menyumbang sendirinya tidak punya banyak uang. Hal ini menunjukkan betapa besarnya solidaritas masyarakat Afganistan," kata dia.
rzn/as