Kisah Ibu Seorang Teroris ISIS Asal Jerman
1 November 2018Sabtu pagi di tahun 2015 telpon Sabine Lappe berdering pada jam enam kurang seperempat. Dia pun meradang, dia ingat saat itu dia berpikir "Siapa yang menelpon sepagi ini?" Ternyata panggilan itu berasal dari putranya, Christian, yang saat itu berusia 27 tahun.
"Mama, kami ada di Turki," katanya, "Kami sedang menunggu transportasi ke Suriah."
Bersama dengan istrinya yang sangat muda, Yasmina, Christian secara diam-diam meninggalkan Jerman untuk bergabung dengan milisi teroris ISIS. Sabine Lappe memohon padanya untuk segera kembali ke Jerman, tetapi dia seperti berbicara kepada orang yang telah kehilangan pendengaran.
"'Tidak, kami tidak akan kembali. Kami pergi ke tempat dimana kata-kata Allah tidak dapat diubah,' dia mengatakan kepadaku."
Percakapan yang menyakitkan
Sabine berusia awal 50-an dan hidup sendiri di apartemen kecilnya di kota Dortmund di barat Jerman. Tidak ada foto Christian dipajang di ruang tamu, tapi masih ada selembar kaftan milik anaknya tergantung dekat pintu apartemen. "Kaftan itu akan tetap ada di sana," ujar Sabine dengan nada yakin.
Apartemen itu ibarat suaka baginya. Perempuan ini sekarang segan keluar rumah. Dia adalah ibu seorang teroris. Namun dia juga seorang ibu yang kehilangan putranya, meski tidak ada orang lain yang menangisi kepergian Christian selain dirinya. "Aku mencintainya," kata Sabine. "Namun pada akhirnya, tidak ada lagi yang tersisa dari Christian yang kukenal dulu."
Sabine berbicara sangat cepat. Dia tampak gelisah dan mengakui kalau dia gugup berbicara dengan media. Dalam banyak hal, kisah Christian juga merupakan bagian kisah hidupnya sendiri. Selama berjam-jam dia menjelaskan apa yang dia alami terkait dengan radikalisasi putranya.
Masa kecil yang menentukan
Sewaktu kecil, Christian adalah anak yang cerdas, senang belajar dan bermain, kata sang ibu, yang memebsarkan anaknya seorang diri. Tapi ini bukan berarti Christian lantas tumbuh menjadi anak yang bebas masalah. Sabine membesarkannya sendirian. Ketika Christian kemudian terlibat penyalahgunaan narkoba, Sabine tetap mendukungnya.
Beranjak remaja, Christian sering jatuh sakit. Lama sekali tidak ada yang bisa memastikan apa yang bermasalah dengannya. "Dia terus kehilangan berat badan," kata Sabine. "Dia makan, tetapi berat badannya tetap berkurang. Para dokter berpikir, dia bisa jadi mengidap anoreksia, mungkin karena alasan psikologis."
Suatu malam ketika berusia 20 tahun, Christian mengalami sakit perut yang amat parah sampai-sampai Sabine harus memanggil ambulans. Malam itu juga, Christian dioperasi. Dokter mengatakan dia mengalami radang usus kronis yang disebut penyakit Crohn.
'Kembali ke jalan Tuhan'
Sabine ingat, setelah tersadar dari bius usai dioperasi, anaknya berjanji kepada diri sendiri bahwa dia ingin bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikannya kesempatan untuk terus hidup. Hingga saat itu, Christian belum memiliki kontak dengan Islam, apalagi kelompok ultrakonservatif Salafi. Dia dibesarkan dalam keluarga Katolik meski tidak begitu religius.
Pada awalnya, semua tampak seolah berangsur membaik. Kesehatan Christian membaik setelah beberapa operasi lanjutan. Dia ingin segera lulus dari sekolah menengah dan kemudian belajar psikologi di universitas. Sekembalinya ke sekolah, dia bertemu pria-pria muda dengan latar belakang Maroko dan Turki. Mereka sangat religius dan antusiasme mereka menarik perhatian Christian.
Kemudian tahun 2012 "dia tiba-tiba pulang dan memberi tahu kalau dia sedang berpikir untuk pindah agama," kenang ibunya. Pada saat yang sama, Sabine juga sedang mengalami krisis. Pasangan hidupnya tiba-tiba meninggal, dan dia mencoba mencari makna baru dalam hidupnya. Karena sang putra tampaknya telah menemukan sesuatu yang membuatnya bahagia, Sabine juga merasa menjadi lebih dekat dengan Islam.
Enam bulan setelah Christian, Sabine pun memutuskan pindah agama. Atau "kembali ke Allah," seperti yang dikatakannya. Dia menerangkan, agama barunya membuat dia menjadi "manusia yang lebih tenang."
Perbedaan pandangan
Kalau ke luar dari apartemennya, Sabine mulai menutup dirinya dengan pakiaan sesuai tradisi Islam. "Tapi wajah tetap terbuka, aku tidak memakai niqab. Aku merasa itu tidak pantas di sini. Kita masih di Jerman."
Ini ternyata menyebabkan pertengkaran dengan Christian. "Pandangannya cepat menjadi lebih radikal." Fakta bahwa sang ibu pergi ke pasar mingguan, mengobrol dengan para penjual dan bahkan menjabat tangan mereka, membuat Christian marah. "Mama, jangan lakukan itu, itu haram," katanya marah.
Tapi Sabine tidak menggubris kemarahan putranya. "Saya berjabat tangan dengan semua orang karena saya pikir begitulah seharusnya. Dengan seorang pria Muslim tentu saja tidak. Tapi saya tidak bisa tiba-tiba mengatakan kepada Pak Müller, yang sudah menjual tomat kepada saya selama 15 tahun terakhir, 'Maaf, itu (berjabat tangan) tidak mungkin lagi, saya sekarang seorang Muslim.'
Christian akhirnya lulus dari sekolah menengah tahun 2013. Pada saat itu, dia sudah menjadi pengunjung tetap Masjid Taqwa di Dortmund. Sabine juga demikian. Dia ingin tahu di mana saja anaknya menghabiskan waktunya, dan dengan siapa. "Pada awalnya saya sangat terkesan," demikian dia mengingat. "Anda tiba di sana dan sebagai orang Jerman tiba-tiba merasa seperti bintang. Semua orang ingin tahu bagaimana Anda bisa masuk Islam, dan semua orang mencintai Anda."
'Jangan hanya menurut saja'
Namun ada juga hal-hal yang tidak bisa dia terima. "Saya perhatikan bahwa banyak perempuan hanya menurut apa yang dikatakan suami mereka," kata Sabine. "Saya mempertanyakan itu secara terbuka dan mengatakan kepada mereka: 'Baca sendiri Al-Quran, jangan hanya ikut saja.'"
Kata-kata ini sering tidak diterima dengan baik. Christian juga mulai merasakan ketegangan itu. "Dia didekati oleh saudara-saudara seiman. Mereka mengatakan kepadanya: 'Luruskan ibumu. Dia mengacaukan semuanya di sini.' Dan dia memerintahkan saya untuk berhenti." Sabine menceritakan, saat itu dia tidak terlalu khawatir tentang Christian. "Saya pikir, dia merasa harus membuktikan dirinya sebagai seorang Muslim Jerman."
Pertemuan yang menentukan
Tahun 2014, Christian bertemu dengan calon istrinya, Yasmina, seorang wanita Jerman-Maroko. "Bahkan saya yang memperkenalkan mereka berdua, tutur Sabine." Waktu itu adalah waktu salat Jumat dan Yasmina yang ketika itu berusia 17 tahun mendekati Chrtistian untuk mengenalnya lebih dekat, karena dia ingin menikah dengan lelaki Muslim yang religius.
Sabine tidak tahu kalau waktu itu Yasmina sebenarnya mencari seorang pria yang bisa diajak untuk berangkat ke Suriah. Sabine yakin, Yasmina adalah pendorong utama radikalisasi putranya. "Christian benar-benar menyukai wanita muda yang menerimanya seperti apa adanya," katanya. "Termasuk juga bekas jerawatnya, penyakit Crohn-nya dan rumah sakit yang sering dia inapi."
Setelah enam bulan saling mengenal, keduanya menikah di sebuah masjid di kota Frankfurt. Sekitar Tahun Baru 2015, Yasmina memberi tahu Sabine untuk pertama kalinya bahwa dia dan Christian berniat pergi bergabung dengan ISIS yang memproklamirkan negara sendiri di Suriah. "Sayangnya, aku tidak menganggapnya serius, karena dia masih sangat muda."
Rencana menjadi kenyataan
Nyatanya, Yasmina dan Christian sudah memulai persiapan yang sangat konkret. Mereka merencanakan keberangkatan melalui kafe internet, termasuk beberapa kafe yang terletak di luar kota Dortmund.
Christian secara pribadi mengenal banyak tokoh terkemuka dari kalangan Salafi di Jerman. Di antaranya Ibrahim Abu Nagie, inisiator kampanye pembagian Al-Quran di pusat-pusat kota di Jerman, aksi yang sekarang sudah dilarang otoritas Jerman. Dia juga mengenal Abu Walaa yang dianggap sebagai "duta besar" ISIS di Jerman.
Walaa ditangkap tahun 2016 dan saat ini sedang menjalani sidang pengadilan. Christian juga pernah bertemu dengan Anis Amri, pelaku serangan di Pasar Natal Berlin Desember 2016, yang menewaskan 11 orang dan melukai lebih 55 orang lain. Anis Amri datang ke Jerman bulan Juli 2015, beberapa minggu sebelum Christian berangkat ke Suriah.
Sebelum berangkat ke Suriah, Christian sudah berada dalam pengamatan kepolisian di Dortmund, kata Sabine. Bahkan dia sendiri masih berada dalam pengawasan hingga hari ini. Dia berulang kali harus menyerahkan ponselnya. Dia menghabiskan banyak waktu di internet, tutur Sabine. Dia juga terus berhubungan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok Salafi. Sabine mengatakan, dia melakukan ini untuk mengetahui sebanyak mungkin tentang Christian - juga setelah kematiannya.
Perjalanan menuju Negara ISIS
Setelah kepergian Christian dan Yasmina pada September 2015, Sabine ingat kalau dia secara teratur menerima panggilan telpon dan pesan lewat WhatsApp. Tetapi ada juga minggu-minggu tanpa kontak sama sekali. Christian selalu yang menghubunginya dari nomor-nomor berbeda. Sabine tidak bisa menghubunginya lewat telpon. "Dia ada di Raqqa, Idlib dan di Abu Kamal. Dan pernah juga di Irak."
Sabine mengatakan kalau saat itu dia berulang kali membujuk putranya untuk kembali. "Tapi ini mungkin terdengar gila, dia benar-benar berangkat dengan sepenuh hati dan jiwa."
Lalu ada video propaganda yang tersebar. "Itu adalah saat dimana dia sudah benar-benar menjadi orang asing bagi saya," kata Sabine. Bulan September 2016, tepat setelah Christian dan Yasmina satu tahun meninggalkan Jerman, sebuah video muncul di platform internet Furat Media, yang terafiliasi dengan ISIS. Video itu menunjukkan Christian yang kini memakai nama Abu Issa al-Almani menceritakan kisahnya. Christian bercerita tentang penyakitnya, tentang jawaban-jawaban yang dia temukan dalam Islam. Dia juga secara terbuka menyerukan serangan di Eropa.
Gambar lain yang kemudian muncul setelah gambar Christian adalah tangan seorang pria yang dirantai - lalu ada kapak bergerak turun. Tidak jelas apakah Christian atau bukan yang memotong tangan pria itu.
Ketika melihat video itu, dunia Sabine serasa runtuh. "Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa melakukan sesuatu seperti ini. Itu sangat salah. Itu tidak ada dalam Al-Quran." Ketika dia mengkonfrontasi hal ini kepada putranya dalam percakapan telpon berikutnya, sang putra menyebutnya kafir. "Dia menuduh saya tidak memahami iman saya dengan benar."
Sabine akhirnya kehilangan harapan, bahwa Christian suatu saat akan kembali sadar. "Dia mungkin akan mendapat hukuman penjara 10 sampai 15 tahun, tentu saja. Tapi di dalam penjara, setidaknya saya bisa mengunjunginya," ujar Sabine. Dia tidak menggunakan nama Abu Issa al-Almani untuk anaknya. "Bagi saya dia tetap Christian."
Kemudian sesuatu yang tidak terduga terjadi. Suatu hari, dia menerima foto melalui WhatsApp: foto Christian yang terlihat bercahaya, di samping Yasmina dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Kemudian gambar kedua muncul: senapan Kalashnikov dengan tes kehamilan positif. Sabine Lappe mengatakan, dia mual melihat foto itu. "Mereka berdua jelas bahagia dan bangga. Tapi prospek menjadi seorang ayah membuat Christian makin radikal."
Mati di gurun pasir
Tanggal 1 Agustus 2017 adalah kali terakhir Sabine berbicara dengan putranya. "Dia bercerita bahwa dia akan kembali ke medan perang dan bahwa dia mencintai saya." Sabine ingat, saat itu dia punya perasaan tidak enak, seperti ada firasat buruk. Christian juga merasakan itu, kata Sabine. Kepada Yasmina, Christian mengatakan kalau terjadi sesuatu pada dirinya, Yasmina harus menikahi seorang pejuang Irak yang telah dia pilih.
Pada tanggal 19 September, telpon kembali berdering, kali ini dari menantunya Yasmina. "Dia dengan bangga mengatakan kalau Issa sekarang sudah syahid, seorang martir. Dia mati dalam perjuangan untuk Allah," kata Sabine dengan nada pahit. Foto dan video mayat Christian yang berlumuran darah di gurun pasir dekat kota Homs dengan cepat bermunculan di berbagai kanal sosial media. "Tidak, Christian bukan mati berjuang untuk Allah, tapi untuk al-Baghdadi dan para kriminalnya," cetus Sabine.
Kini Sabine adalah seorang perempuan yang sendirian dan kesepian. Orang-orang menghindarinya, begitu tahu siapa dia sebenarnya. "Apakah kamu ibu dari Christian Lappe YANG ITU?" Dia sudah sering mendngar pertanyaan semacam itu. "Ya, SAYA ibu dari Christian Lappe YANG ITU," dia akan menjawabnya. "Dan saya tidak berbahaya. Saya tidak bawa Kalashnikov di balik busana saya, dan saya juga tidak pernah memotong tangan siapa pun."
Ibu seorang teroris, itulah label yang sekarang menempel erat pada Sabine. Toko obat dekat rumahnya menolak melayani dia. "Ketika aku ingin mendapat obat dengan resep, mereka memintaku pergi."
Akhir 2017, anak lelaki Christian lahir di daerah bekas wilayah yang dikuasai ISIS di Suriah. Sabine menunjukkan beberapa foto. Anak itu mirip dengan ayahnya. Yasmina kini sudah menikah lagi dengan pejuang ISIS yang telah dipilihkan Christian untuknya. Terkadang beberapa minggu lewat begitu saja tanpa ada kabar dari Yasmina.
Keinginan terbesar Sabine kini adalah bisa memeluk sang cucu. Namun dia tidak yakin keinginan itu bisa terwujud.