Kita dan Buku
24 April 201223 April kini diperingati sebagai hari buku dunia.
Peringatan hari buku di Indonesia terasa ironis. Hanya sebulan sebelumnya, di Jakarta sekelompok orang berdemonstrasi sambil membakar buku yang dianggap bisa merusak umat Islam. Ini bukan kasus pertama, tiga tahun lalu Front Anti Komunis membakar buku kiri.
Tahun 2007 pembakaran buku bahkan dilakukan aparat negara. Ribuan buku sejarah dibakar oleh para jaksa di depan kantor kejaksaan. Alasannya: karena menampilkan versi berbeda tentang sejarah 65.
Di Depok prosesi pembakaran buku oleh kejaksaan bahkan dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Walikota!
Ironisnya, pada saat bersamaan buku-buku yang mengajarkan kebencian agama, rasial dan menganjurkan kekerasan, dengan gampang bisa kita dapat. Jika tidak percaya, tengok saja rak agama di toko buku.
Dalam negara demokrasi, pelarangan atas buku dilakukan melalui proses pengadilan. Buku yang dilarang biasanya adalah jenis buku yang berisi propaganda kebencian atau menganjurkan kekerasan.
Kita memang tidak terbiasa dengan perbedaan berpendapat. Itulah yang menyebabkan sekelompok orang atau bahkan aparat negara, memilih melarang atau membakar buku.
Sejarah mencatat, tradisi bakar buku dilakukan oleh kelompok fasis. Mei 1933 di Berlin, para pendukung Adolf Hitler, sambil menyanyikan mars Nazi membakar buku-buku Sigmund Freud dan Albert Einstein yang dianggap sebagai musuh Nazi.
Membakar buku, bukan hanya ekspresi kebencian atas perbedaan. Lebih jauh lagi, itu adalah teror bagi kebebasan berpendapat.
Itulah sebabnya memperingati hari buku 23 April menjadi penting bagi Indonesia. Tempat di mana buku masih dilarang atau bahkan dibakar karena dianggap mengancam.
Andy Budiman