Ramos-Horta Desak Dialog Perdamaian di Papua
7 Januari 2019Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menilai kepolisian telah melakukan sejumlah aksi pelanggaran. Di lain pihak, polisi menyebut KNPB melakukan aksi makar. Sekretaris Jenderal Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat, Ones Nesta Suhuniap mengungkapkan pihaknya telah mengajukan somasi kepada kepolisian. Dipaparkan Suhuniap: "Kami akan menempuh jalur hukum. Kami sudah keluarkan surat somasi pada kepolisian, kami memberi waktu tiga hari pada kepolisian jika tidak meninggalkan kantor KNPB , maka kami akan melanjutkan kasus lewat jalur hukum dan pra peradilan"
Dalam keterangan persnya, KNPB menulis perampasan tanah dan kantor KNPB yang berlokasi di komplek sosial Timika, Kabupaten Mimika, Papua, tanggal 31 Desember sama saja dengan perampasan, "Karena kantor KNPB di Timika itu dibangun oleh rakyat Papua wilayah Timika di atas tanah milik rakyat Papua."
Menurut KNPB saat penggerebekan kantor KNPB tanggal 31 Desember lalu, kepolisian tidak menunjukkan surat penggerebekan maupun penangkapan. "Padahal itu acara ulang tahun kantor wilayah KNPB Timika." Ones Suhuniap menjelaskan, "Setiap tanggal 31 Desember, KNPB selalu mengadakan ibadah untuk mensyukuri hari jadinya kantor KNPB Timika sekaligus beribadah untuk melepas tahun yang berlalu dan menyambut tahun yang baru, namun kami malah dituduh melanggar keutuhan negara."
Suhuniap memaparkan aktivitas KNPB selalu dikontrol polisi, sebelumnya penangkapan aktivis KNPB juga kerap terjadi. KNPB adalah organisasi gerakan sipil yang menuntut penentuan nasib sendiri lewat mekanisme referendum untuk mengakhiri konflik di Papua. Menurut Suhuniap, selama ini polisi menganggap KNPB sebagai organisasi ilegal: "Tapi menurut kami, kami berorganisasi itu dijamin oleh undang-undang Indonesia, hak berkumpul, berserikat."
Sekjen KNPB, Ones Suhuniap mengatakan status integrasi Papua ke Indonesia belum final. "Pepera pada tahun 1969 itu cacat hukum. Hal itu yang mengakibatkan rakyat Papua menuntut penentuan nasib sendiri, diberikan ruang untuk rakyat Papua memilih tetap bersama Indonesia atau memerdekakan diri, akibat status politik dari NKRI yang belum final."
Pepera adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat yang untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.
Namun dari beberapa sumber termasuk buku ‘ Jurnal sejarah: pemikiran, rekonstruksi, persepsi' yang diterbitkan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia tercatat ada laporan tentang intimidasi, dalam pelaksanaan Pepera, terutama yang dilakukan oleh tentara.
KNPB keluhkan diskriminasi dan pelanggaran HAM
Dalam wawancara dengan Deutsche Welle, Ones Suhuniap mengungkapkan, selama ini terjadi pelanggaran HAM dan diskriminasiserta teror di Papua: "Penegakan hukum juga didiskriminasi. Dalam berdemokrasi, orang Papua juga tidak diberikan ruang. Demokrasi bagi rakyat Papua ditutup mati. Di semua aspek," tandasnya. Oleh sebab itu ia dan organisanya menuntut agar Indonesia membuka ruang bagi demokrasi, agar Papua bisa menentukan nasibnya sendiri. "Selama hal itu belum terjadi maka kami akan terus melakukan perjuangan secara damai, dan mendukung solidaritas negara-negara Pasifik," tegasnya.
Suhuniap juga menyayangkan, bagaimana tindakan kepolisian dalam berhadapan dengan KNPB, "Mereka seakan berhadapan dengan teroris. Tindakan aparat bagai preman pasar. Contoh dalam upacara syukuran, tapi polisi langsung menggrebek, menangkap, memukul dan menghancurkan kantor, tanpa menunjukan surat penggrebekan maupun penangkapan."
Dalam aksi penggerebekan tanggal 31 Desember silam, delapan aktivis KNPB Timika dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi atas dugaan tindakan makar.
Dikutip dari situs KBR.id, juru bicara Komando Daerah Militer Papua, Muhammad Aidi mengatakan, KNPB bukanlah organisasi yang memiliki legalitas, karena itu KNPB seharusnya tidak memiliki sekretariat. Bahkan TNI menilai seharusnya tak ada tempat di Papua untuk KNPB. "Kalau namanya KNPB ya tidak ada legalitasnya. KNPB sendiri tidak legal, apalagi kalau ada sekretariat. KNPB itu kan ingin membebaskan Papua dari NKRI, berarti ke arah separatis. Tidak ada legalitasnya," demikian disebutkan Aidi kepada KBR. Kantor KNPB di Timika kemudian diubah menjadi markas gabungan Polri dan TNI.
Srmentara pihak istana kepresidenan menilai sikap Polri-TNI yang mengambil alih markas KNPB wilayah Timika, sebagai tindakan yang sah. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko beralasan, keberadaan KNPB bisa membahayakan eksistensi pemerintah Indonesia di Papua. Dikutip dari KBR, ia menuding KNPB sebagai organisasi yang menimbulkan ketidaknyamanan di tengah masyarakat. Namun Moeldoko tidak berkomentar soal tudingan penganiayaan yang dilakukan Polri-TNI kepada anggota KNPB saat pengambilalihan markas tersebut.
Penanganan Papua
Dalam wawancara dengan Deutsche Welle, pengamat masalah Papua, Made Supriatma menyebutkan pemerintah seharusnya memulai proses perdamaian dengan tidak menurut definisi Jakarta dalam mengangkat martabat Papua. Menurutnya paradigma pembangunan Papua yang dianut Jakarta tidak serta merta diterima warga lokal.
"Kalau sekarang kita lihat orang Jakarta (termasuk Presiden Jokowi) percaya bahwa martabat orang Papua itu bisa dicapai dengan pembangunan, khususnya infrastruktur. Jakarta percaya, kalau isolasi daerah-daerah di Papua dibuka, ekonomi akan jalan, barang-barang akan murah, dan dari situ ekonomi akan tumbuh dan martabat orang Papua terangkat. Padahal, pembukaan infrastruktur itu juga berarti masuknya pesaing ekonomi. Mereka yang punya akses pasar lebih baik dari orang Papua. Makanya sekarang, kalau ditanya, siapa diuntungkan? Orang Papua akan mengatakan, infrastruktur itu bukan untuk kami."
Menurut Made pengembalian martabat itu bisa dimulai dengan menuntaskan semua persoalan HAM. Memberikan orang Papua keadilan yang menjadi haknya. Kemudian, perbaiki akses kesehatan. Lalu masih ada masih ada persoalan besar sebelum soal hak asasi manusia, yakni plebisit.
"Tidak ada keadilan di sini. Mungkin tidak perlu mengulang Pepera. Tapi membuat semacam plsesibit, bukan menanyakan apakah Papua mau bergabung dengan RI tapi apakah mau otonomi yang lebih luas atau tidak. Kemudian, bagaimana otonomi itu akan dikelola, seharusnya buat saja plebisit soal itu.”
Sementara itu, penerima Hadiah Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta mendesak pemerintah Indonesia segera mengadakan pembicaraan dengan gerakan Papua merdeka untuk membantu mengakhiri konflik selama beberapa dekade di Indonesia. Dikutip dari Associates Press, Ramos-Horta berujar: "Bicaralah dengan orang Papua, OPM (Organisasi Papua Merdeka), tetapi sebagai saudara Indonesia," ditambahkannya: "Orang Papua harus merasa bahwa pemerintah, rakyat di Jawa, sangat peduli dengan mereka."
Mantan presiden Timor Leste Ramos-Horta, juga menghimbau agar kedua pihak menahan diri. "Jadi pertama, mereka harus menghentikan serangan bersenjata pada otoritas sipil atau militer Indonesia, tetapi pada saat bersamaan militer Indonesia juga harus menahan diri dari tidak menindak, menyerang orang-orang setiap kali mereka berunjukrasa," paparnya.
ap/rzn (kbr.id/ap)