Konflik Agama: Intoleransi atau Perebutan Lapak?
15 Juni 2016Kala itu, ribuan jiwa meninggal. Ratusan ribu mengungsi, kehilangan semua yang dimilikinya, terutama ketenangan hidup. Ruang-ruang publik menjadi medan perang. Kini, beberapa tahun selepas konflik besar terakhir berlalu, kenangan pahit tersebut mungkin terasa agak jauh. Ambon dan Tual, dua kota yang pernah menjadi panggung ketegangan religius terburuk, kini dianggap kota paling toleran di Indonesia. Keduanya mendapatkan nilai indeks toleransi paling tinggi, ditaksir dari regulasi, respons pemerintah, peristiwa intoleransi, dan komposisi penduduknya.
Temuan Setara Institute ini mungkin cukup melegakan. Namun, saya ragu, erupsi konflik religius terjadi semata karena absennya toleransi. Kerawanan tak semata berasal dari diskriminasi yang secara telanjang ditunjukkan oleh kelompok agama satu kepada kelompok agama lainnya. Dari apa yang diajarkan oleh preseden masa silam kepada kita, apa yang tidak nampak justru lebih sebenarnya lebih mengkhawatirkan.
Perebutan Ruang Hidup
Mari kita sigi konflik Ambon sebagai contoh. Menurut Gerrit van Klinken dalam studinya Communal Violence and Democratization in Indonesia, konflik ini lebih tepat untuk dikatakan sebagai dampak perebutan kedudukan birokrasi alih-alih intrik agama.
Pada tahun 1990, Maluku memiliki 55.000 pegawai negeri sipil. Jumlah ini lebih besar bahkan dibandingkan Jawa Timur yang penduduknya 17 kali lipat dibanding Maluku. Pergeseran kekuasaan ke tangan gubernur non-militer dari jaringan ICMI, yang pada saat itu tengah memperoleh momentum dari menguatnya kelas menengah Islam di Indonesia, memicu perubahan yang cukup berarti dalam tatanan birokrasi di Ambon. Beberapa pejabat strategis beragama Protestan diganti dengan figur-figur non-Protestan.
Terlepas dari motivasi sang gubernur sendiri, di sebuah wilayah yang kehidupan sosialnya bertumpu kepada pekerjaan serta proyek dari pemerintahan dan kelompok Protestan dianggap memegang sektor ini sejak lama, penggantian pejabat semacam itu rentan ditafsirkan sebagai upaya menyingkirkan kelompok ini.
Situasi ini diperkeruh dengan persepsi semakin maraknya kelompok pendatang menguasai perdagangan di Ambon dan membludaknya jumlah anak muda di bawah usia di bawah usia 25 tahun, yang kesulitan mendapatkan pekerjaan serta kepastian hidup.
Dilatarbelakangi kondisi demikian, desas-desus bahwa umat Protestan secara sistematis hendak didepak dari tanahnya pun berkembang. Kendati secara kronologis konflik Ambon diawali pertikaian antara desa yang tak jarang terjadi di Maluku, kegamangan yang terlanjur meruyak ini membantu kekerasan mengalami ekskalasi yang keterpelesatannya tak pernah diduga-duga.
Artinya, identifikasi picik diri terhadap kelompok religius tertentu serta kegeraman terhadap kelompok religius lain menyeruak tidak dengan sendirinya. Ia menjadi pilihan yang terasa paling tepat bagi orang awam sekalipun ketika mereka kehilangan keamanan eksistensialnya.
Pola-pola kekerasan
Kecenderungan ini dapat kita simak pula pada pola-pola kekerasan di desa dan kota seputaran Ambon yang dihimpun Jeroen Adam. Desa Liang yang berpenduduk Muslim bersengketa dengan Waai yang berpenduduk Kristen lantaran persoalan batas desa. Masing-masing desa bersikukuh desa lain adalah sekumpulan orang asing yang menduduki wilayah yang pada hakikatnya milik desa mereka. Warga Kristen di kampung Kaitetu, pada kasus lain, diusir dari tanah yang digarapnya selama beberapa generasi karena dianggap menempati tanah yang awalnya dimiliki kampung berpenduduk Muslim Hila.
Artinya, kalaupun identitas Kristen atau Islam mengedepan dalam kasus-kasus ini, ia biasanya dieksploitasi untuk memperkuat identifikasi bahwa kelompok tertentu merupakan orang asli atau orang asing, berhak atau tidak atas suatu wilayah. Setelah diusir, pohon-pohon orang Kaitetu dikupas agar secara adat mereka tak berhak lagi atas tanah yang dikelolanya dan, menurut Adam, tindakan ini memperlihatkan modus mendasar konflik antara desa Kristen dan Muslim yang ditelitinya: penghidupan.
Di bawah tabir kekerasan bermotif agama
Pada saat konflik Ambon memuncak, motif semacam ini terselubung di bawah tabir kekerasan bermotif agama. Motif perebutan ruang hidup ini, memang, cukup samar. Ia membuncah lebih telanjang pada konflik-konflik di ruang perkotaan.
Salah satu hal yang menggugah emosi para pemuda Kristen di Ambon, penelitian K. Von Benda-Beckmann yang menunjukkan pemandangan: nyaris dimonopolinya sektor transportasi informal oleh kelompok Muslim. Selepas kerusuhan Ambon, jasa becak di kota ini dikuasai oleh para pemuda Kristen.
Pandangan-pandangan ini, tentu saja, tidak dengan sendirinya mengatakan bahwa sentimen agama sama sekali tidak mengambil andil dalam konflik yang bergulir. Konflik Ambon tak akan memburuk hingga sedemikian moreng apabila simbol-simbol agama tidak turut tergulung ke pusaran kekerasan. Kendati tak selalu diawali niat menistakan agama lain, dampak simbolik dari kerusuhan semacam tak pernah bisa dikendalikan. Terbakarnya rumah ibadah, yang awalnya adalah ekses tak disengaja, mudah saja ditafsirkan sebagai serangan terhadap kelompok yang simbol religiusnya terbawa-bawa.
Baik para pemuda yang kebetulan melintas area kerusuhan maupun mereka yang berada di pulau lain dan menonton kerusuhan ini dari media, panggilan membela agama akan mengubah massa acak menjadi tambahan kekuatan yang memperkeruh konflik yang sudah mendidih.
Dan lagi-lagi kita tak bisa menjamin tebalnya toleransi pada masa tenang akan mencegah sentimen agama dari memperkeruh pertikaian di masa pergolakan. Ambil cerita Hamid. Hamid, nama samaran anak korban konflik Ambon yang diwawancara Human Rights Watch, dipaksa melihat adik perempuannya dipanah dan rumahnya dibakar. Setelah lolos dari amukan massa dengan mengaku namanya Albertus, ia mengambil bensin. Apa yang terpikir dalam kepala kecilnya hanyalah membalas dendam—membakar gereja terdekat.
Apakah seorang anak seperti Hamid memilih menjadi Kristen atau Muslim yang diliputi kebencian? Tidak. Ia dipaksa. Situasi semacam yang dialami Hamid adalah spiral kekerasan yang dapat menggoreskan kebencian tak terkira pada insan paling toleran sekalipun.
Pentingnya distribusi sumber penghidupan
Apa yang hendak disampaikan oleh tulisan ini, kendati demikian, bukanlah toleransi tak memiliki andil membangun masyarakat yang damai. Hanya saja, apa yang sama sekali tak boleh luput diperhatikan juga adalah pendistribusian dari sumber-sumber penghidupan kelompok-kelompok masyarakat.
Selama ini, sumber-sumber penghidupan merupakan piala yang diperebutkan dan dikapling melalui jaringan etnis atau agama tertentu. Dan, dari preseden getir yang ada, pola pemilahan semacam itu ringkih.
Dan pada saat kekerasan terlanjur pecah, toleransi itu sendiri saya ragu dapat menanggulanginya. Manakala bahasa yang sudah dipakai adalah bahasa kekerasan, tak ada bahasa lain yang nampaknya bisa menimpalinya kecuali bahasa yang sama—kekerasan.
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.