1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikCina

Konfrontasi Laut Cina Selatan Picu Konflik Cina-Filipina

9 Agustus 2023

Insiden baru-baru ini di Laut Cina Selatan yang melibatkan misi pasokan ulang Filipina dan penjaga pantai Cina telah memperburuk hubungan kedua negara.

https://p.dw.com/p/4Uw6W
Laut Cina Selatan, Kapal Penjaga Pantai Cina menembakkan meriam air
Manila klaim penembakan meriam air yang dilakukan oleh penjaga pantai Cina di Laut Cina Selatan adalah 'ilegal' dan 'berbahaya'Foto: Philippine Coast Guard/AP Photo/picture alliance

Ketegangan meningkat antara Filipina dan Cina, imbas dari insiden konfrontasi baru-baru ini di wilayah sengketa Laut Cina Selatan.

Manila mengutuk penjaga pantai Cina pada hari Minggu (06/08) karena menembakkan meriam air ke kapal-kapal milik Filipina di jalur perairan yang disengketakan, dan menyebut tindakan Tiongkok tersebut "ilegal" dan "berbahaya".

Di sisi lain, Beijing mengklaim pihaknya hanya melakukan "tindakan yang diperlukan" terhadap kapal-kapal Filipina yang telah memasuki perairannya secara "ilegal".

Bagaimana kronologinya?

Insiden tersebut terjadi ketika kapal-kapal milik Filipina tengah dalam misi pengisian ulang bahan bakar untuk kapal perang BRP Sierra Madre, sebuah kapal era Perang Dunia ke-II yang sekarang digunakan oleh Manila sebagai pos militer.

Kapal yang secara sengaja ditempatkan di pantai oleh Manila pada tahun 1999 itu digunakan untuk memperkuat klaim kedaulatan Filipina yang telah lama menjadi titik api antara kedua negara di Laut Cina Selatan.

Personel angkatan laut Filipina yang ditempatkan di kapal itu hanya bisa bergantung pada misi pasokan ulang bahan bakar, demi bertahan hidup di tempat terpencil.

Kapal penjaga pantai Tiongkok memblokade penjaga pantai Filipina
Beijing diduga tengah menunjukkan kekuatan maritimnyaFoto: Aaron Favila/AP/picture alliance

Beijing mencoba mengirim peringatan?

Direktur SeaLight di Pusat Gordian Knot untuk Inovasi Keamanan Nasional Universitas Stanford, Raymond Powell mengatakan bahwa insiden tersebut menunjukkan bahwa Cina ingin sekali menggunakan kekuatan maritimnya.

"Tampaknya cukup jelas bahwa Tiongkok tengah mencoba mengirim pesan bahwa waktu bermain telah berakhir, bahwa ada negara besar dan negara kecil, sehingga Filipina perlu mengingat di mana posisinya dalam urutan tersebut."

Konfrontasi maritim ini merupakan insiden terbaru yang masuk dalam daftar panjang masalah antara kedua belah pihak. Hal ini terjadi setelah Manila memprotes penggunaan laser oleh penjaga pantai Tiongkok terhadap sebuah kapal yang mendukung misi pasokan ulang negaranya pada bulan Februari lalu. Tiongkok kemudian mengklaim bahwa laser tersebut digunakan untuk "keamanan navigasi."

Powell, yang juga merupakan pensiunan kolonel Angkatan Udara Amerika Serikat (AS), mengatakan bahwa tujuan Cina adalah untuk mencegah BRP Sierra Madre digunakan sebagai pangkalan militer. Tapi, Powell yakin militer Tiongkok tidak mungkin melancarkan serangan langsung ke kapal tersebut.

"Saya pikir, laser, pemblokiran, dan meriam air mungkin merupakan batas dari apa yang ingin dilakukan Tiongkok, karena sejujurnya dalam beberapa hal, strategi jangka panjang Cina masih tetap berhasil," tambah Powell.

"Filipina belum mampu memperbaiki atau mengganti BRP Sierra Madre. Seluruh strategi Tiongkok adalah untuk menghalangi mereka melakukan hal itu, sampai kapal tersebut rusak atau tidak dapat dihuni," ungkapnya lebih lanjut.

Powell juga berpendapat bahwa, "kapal ini tidak akan mempertahankan integritas struktural untuk selamanya. Pada akhirnya, kapal itu akan mulai rusak, dan hal itu yang akan memicu krisis."

 

Klaim yang disengketakan di SCS

Second Thomas Shoal (SCS) berjarak sekitar 200 kilometer dari pulau Palawan di Filipina dan lebih dari 1.000 kilometer dari daratan utama terdekat Cina, yakni pulau Hainan.

Sedangkan, Cina mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh Laut Cina Selatan, yang dilalui triliunan dolar perdagangan setiap tahunnya.

Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Taiwan juga memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih atas jalur perairan yang begitu penting dalam sektor pertumbuhan di masing-masing negara.

Pada tahun 2016, sebuah keputusan pengadilan internasional menyatakan bahwa klaim Cina terhadap seluruh wilayah perairan itu tidak memiliki dasar hukum. Namun, Beijing mengabaikan putusan tersebut.

Kedatangan Kapal Cina Qi Jiguang disambut anggota pasukan penjaga pantai Filipina
Presiden Marcos bersikeras memperjuangkan hak maritim negaranyaFoto: Basilio Sepe/Ap Photo/picture alliance

Bagaimana pendekatan Manila?

Aaron-Matthew Lariosa, seorang penulis lepas di bidang pertahanan dan pengamat wilayah Indo-Pasifik yang berbasis di Washington, mengatakan bahwa gejolak-gejolak ini bukanlah hal yang baru.

"Tindakan seperti ini adalah salah satu dari banyak cara Cina menegakkan klaimnya di Laut Cina Selatan," kata Lariosa.

Namun, yang telah berubah adalah bagaimana cara Manila mempublikasikan agresi Tiongkok terhadap negaranya. Lariosa menambahkan, "Pendekatan ini membantu melawan disinformasi dan meningkatkan kesadaran publik tentang pelanggaran kedaulatan Filipina."

Kebijakan Filipina terhadap Cina juga telah berubah secara nyata di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr. Pendahulunya, Presiden Rodrigo Duterte, Manila masih terlihat bersahabat dengan Beijing, dengan harapan dapat meningkatkan kerja sama perdagangan dan investasi.

Namun, Presiden Marcos bersikeras bahwa dirinya tidak akan membiarkan Cina menginjak-injak klaim hak maritim negaranya. Pemerintahan Marcos juga telah memperkuat hubungan pertahanan dengan mantan penguasa kolonial dan sekutu lama, Amerika Serikat. Filipina juga telah memberikan akses yang lebih besar terhadap pangkalan militer Manila kepada AS.

 

Bagaimana akhir dari konfrontasi maritim ini?

Powell percaya bahwa insiden konfrontasi maritim di Laut Cina Selatan ini kemungkinan akan terus berlanjut, terlebih antara Manila dan Beijing.

"Saya tidak melihat apa yang bisa menghentikan itu untuk tidak terjadi lagi. Filipina telah mendorong kembali banyaknya agresi Cina," ungkapnya. Powell juga mengatakan, "Misi pasokan ulang ini tampaknya menjadi katalisator untuk banyaknya drama, dan sepertinya berpotensi menyebabkan eskalasi." (kp/)