Korea Utara dan Hak Azasi Manusia
16 Januari 2013Buat Komisaris PBB urusan HAM, Navi Pilay, penyelidikan seputar pelanggaran HAM di Korea Utara sudah "sejak lama jatuh tempo". Menurut sebuah laporan yang disusun PBB, pemerintah Korut menggunakan berbagai instrumen politik untuk mempertahankan kekuasaan. Di antaranya adalah "tindakan represif, menyebar ketakutan, penjatahan bahan pangan, sistem kerja paksa dan sensor media."
Sejarah gelap Korea Utara berawal dari Kim Il Sung yang merebut kekuasaan pasca Perang Dunia II berkat bantuan Uni Sovyet. Untuk mempertahankan kekuasaannya, ia menjebloskan anggota keluarga dan musuh politiknya ke dalam kamp kerja paksa.
"Praktik barbarik dan kejam" ini membuat Kim Joo Il muak. Tahun 2005 ia meninggalkan rejim yang mampu membuat senjata nuklir namun membiarkan rakyatnya dalam kelaparan itu. Bekas perwira Tentara Rakyat Korea Utara itu mulai bekerja sebagai pelayan di Cina untuk membiayai perjalanannya ke Inggris.
Setelah tiba di London 2007, Kim Joo Il bekerja sebagai aktivis HAM. Ia mengorganisir kampanye, mengritik rejim Korea Utara yang dituding bertanggungjawab atas jutaan korban kelaparan dan berharap mendapat dukungan dari pemerintahan negara-negara Eropa. Mimpinya adalah membumikan demokrasi di tanah airnya sendiri.
Konsep Demokrasi
Di hadapan parlemen Inggris, Kim yang kini berusia 39 tahun melaporkan pelanggaran berat HAM di negara asalnya. Laporannya yang berkisar soal bagaimana Eropa bisa membantu rakyat Korut akan dipublikasikan oleh salam satu LSM HAM di Eropa dalam waktu dekat.
Kim yakin, Eropa dapat menyatukan suara melawan rejim di Pyongyang. "Eropa harus mengagendakan pelanggaran HAM dan menanam bibit demokrasi di Korea Utara," katanya.
Dalam hal ini Eropa memainkan peranan penting. Pasalnya Korea Utara dianggap sebagai "musuh" oleh Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang. Hal ini mempersulit perundingan. "Jika Eropa mengajukan sesuatu, Korut akan mempertimbangkannya secara serius," kata Kim.
Opini masyarakat umum di Korea Utara terhadap Eropa juga memperkuat dugaan tersebut. Sejak kecil rakyat Korea Utara sudah dilarang untuk mempercayai laporan dari Amerika. "Jika media-media Eropa melaporkan informasi yang sama, kemungkinannya besar bahwa laporan tersebut diterima oleh rakyat biasa."
Kepentingan Strategis Eropa?
"Saya meragukan bahwa Eropa memiliki kepentinan strategis di Korea Utara," kata Marcus Noland, "Amerika Serikat dan negara-negara Asia sebaliknya punya." Noland adalah salah seorang penulis buku "Bencana Kelaparan di Korea Utara" dan "Saksi Sejarah Transformasi: Bagaimana Pencari Suaka Melihat Korea Utara".
Menurutnya, apapun rencana yang disusun Eropa, mereka harus mengkoordinasikannya dengan negara-negara lain.
Yang dimaksud Noland adalah bantuan pembangunan Eropa untuk negara-negara di Asia Timur. Korea Utara sejauh ini mampu memanfaatkan bantuan tersebut secara "cerdas". Di tengah ketegangan dengan AS, Pyongyang beralih ke Eropa untuk mengisi kekosongan kas negara.
Eropa dapat membantu mempermudah peralihan kekuasaan yang saat ini sedang terjadi. "Sebuah negara seperti Norwegia dapat mendidik pelarian-pelarian Korea Utara, sementara Swedia berunding dengan rejim di Pyongyang," kata Noland.
Betapapun juga, Kim yakin bahwa Eropa dapat mengubah tanah airnya menuju ke arah yang lebih baik. Ia mengaku siap diutus sebagai duta besar HAM dan demokrasi ala Eropa.