1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korupsi Tak Kenal Usia, Masih Layak Jual Isu Pemimpin Muda?

27 Oktober 2023

Peran pemuda bagi eksistensi dan kemajuan bangsa Indonesia memang tidak diragukan lagi. Namun di tengah maraknya kasus korupsi yang tidak mengenal usia, masihkah layak jual isu pemimpin muda?

https://p.dw.com/p/4Y50i
Ilustrasi pemilihan umum
Ilustrasi pemilihan umumFoto: THIBAUD MORITZ/AFP

Di masa awal reformasi, ramai bergaung keinginan agar bangsa ini dipimpin oleh pemimpin muda dan 'segar'. Saat itu, Indonesia tengah 'gerah-gerahnya' menghadapi situasi politik yang dikuasai oleh segelintir orang dan para kerabatnya. Generasi muda pun diharapkan bisa membawa angin segar dalam menjalankan pemerintahan yang kreatif, jujur, transparan, dan bebas korupsi.

Memang, peran generasi muda dalam kemajuan Indonesia sudah tidak lagi diragukan. Sebut saja Sumpah Pemuda pada 1928 yang, tentu saja, digagas oleh pemuda. Lalu ada pula peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, saat para pemuda menculik Soekarno dan Mohammad Hatta dan mendesak mereka untuk segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Reformasi 1998 pun awalnya digagas oleh sekelompok pemuda di kampus-kampus.

Kembali ke masa sekarang, seperti diketahui, pemilih muda dari kalangan Gen Z dan milenial akan mendominasi pada pemilihan umum (Pemilu) 2024. Mungkin karena itulah, isu pemimpin muda masih terus dijual, digadang sebagai sesuatu yang 'heroik' dan mampu membawa perubahan. Tapi perubahan ke arah mana? Layakkah jualan ini dibeli?

Dalam perbincangan dengan DW Indonesia, Wawan Heru Suyatmiko, Wakil Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia mengatakan agak sulit berharap transparansi dari pemimpin muda yang tidak lahir secara organik.

"Pemimpin mudanya tidak lahir secara organik, tapi secara dinasti. Anda sebutkan siapa yang pemimpin muda yang tidak lahir dari dinasti politik? Agak sulit sekali mencari itu," ujar Wawan Heru Suyatmiko.

Narasi pemimpin muda dalam politik, masih layak?

Usia tidak pernah menjadi jaminan bahwa seseorang akan bertindak jujur, transparan, dan bebas korupsi, atau sebaliknya. Dalam waktu beberapa tahun terakhir, sejumlah kepala daerah dan politisi muda juga telah divonis pengadilan akibat kasus korupsi, bahkan saat usia mereka belum 45 tahun. Beberapa dari mereka juga diketahui berasal dari keluarga yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengungkapkan bahwa perkara korupsi tidak ada hubungannya dengan usia.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri SusantiFoto: C. Andhika/DW

"Narasinya salah. Selalu bicara soal umur tua dan muda karena persoalannya bukan di umur," kata Bivitri kepada DW Indonesia saat ditemui di sela acara Indonesia Integrity Forum 2023 di Jakarta. "Tapi kapasitas politik dan integritas dia, rekam jejaknya bagaimana," ujar Bivitri yang juga aktif di Transparency International Indonesia. 

Bivitri juga mengungkapkan, berkutat hanya soal isu tua dan muda tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, saat ini analisis korupsi saja tidak ada yang bisa mensegregasi implikasi antara perilaku yang tua dan muda. Menurutnya, narasi usia tua dan muda saat ini semata-mata digunakan sebagai cara untuk menggaet pemilih muda. 

"Banyak anak muda bisa berhasil karena mereka punya privilese. Ini yang tidak pernah dihitung, karena dianggap sebagai hadiah atau status. Indonesia ini masyarakatnya feodal, jadi semuanya ini keberuntungan, tapi ini jadi mengaburkan fakta, mengecoh anak muda, memberikan harapan palsu bahwa anak muda bisa maju. Padahal di sistem masyarakat sekarang ini, kalau tidak punya privilese tidak bisa maju. Makanya, kita harus ubah sistem."

Dinasti politik dan nasib demokrasi

Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengatur batas usia minimum untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). MK memutuskan bahwa batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Putusan ini dinilai banyak pakar telah memungkinkan salah satu anak Presiden Joko Widodo untuk maju sebagai bakal cawapres di Pemilu 2024.

Wasisto Jati, Peneliti Politik dari BRIN, mengakui bahwa putusan MK menjelang hari registrasi mengejutkan semua pihak, karena baik itu administrasi maupun regulasi dari KPU terkait persyaratan sudah selesai.

"Memang di sini kesannya yang kita lihat sangat elitis, dan sangat tidak akomodatif terhadap suara publik. Jadi secara keseluruhan ini memang membuat demokrasi kita makin mundur ya, karena komitmen terhadap tahapan pemilu, komitmen terhadap suara publik, itu justru tereduksi dengan adanya putusan cepat ini, yang ujungnya adalah mengakomodasi pihak tertentu untuk bisa melenggang di pilpres mendatang," ujarnya.

Putusan yang disayangkan banyak pihak ini keluar di tengah maraknya diskursus tentang dinasti politik yang dikhawatirkan memundurkan demokrasi dan rentan konflik kepentingan.

Korupsi politik, apa itu?

Namun, Wawan Heru Suyatmiko dari Transparency International Indonesia mengatakan bahwa justru yang paling mengkhawatirkan dan tengah terjadi di Indonesia adalah apa yang ia sebut korupsi politik. Bahkan menurutnya, dinasti politik juga terlahir dari korupsi politik.

"Akar dari seluruh korupsi itu ya korupsi politik. Kita tahu bahwa misalnya, perubahan undang-undang yang kita kenal sebagai misalnya autocratic legalism itu lahir karena apa? Karena korupsi politik, belum lagi munculnya dinasti politik yang rentan dengan konflik kepentingan, sering kali diabaikan. Itu justru yang menjadi penyumbang besar bagi kasus korupsi kita," ujar Wawan.

Bahkan, Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa korupsi politik adalah jenis korupsi yang paling berbahaya karena dampaknya selalu menyangkut hajat hidup orang banyak. Kenapa?

Situs Pusat Edukasi Antikorupsi KPK menerangkannya dengan sangat gamblang: "Korupsi ini terjadi ketika pembuat keputusan politik menggunakan kekuasaan politik yang mereka pegang untuk mempertahankan kekuasaan, status, dan kekayaan mereka. Pelaku korupsi ini memanipulasi institusi politik dan prosedur sehingga mempengaruhi pemerintahan dan sistem politik. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka."

Jadi, kembali ke topik korupsi yang tidak pernah pandang usia, jelang Pemilu 2024 warga sebagai pemilih harus pintar-pintar menyeleksi dan tidak hanya mempertimbangkan usia sang kadidat, baik tua maupun muda.

"Harus dilihat bagaimana rekam jejaknya, terutama kalau di usia muda sudah bisa sukses dan punya jabatan. Kita harus mau repot sedikit untuk lihat privilese apa yang dimiliki dan dinasti politiknya. Banyak anak muda yang bapaknya nyuruh dia maju tapi yang memerintah bapaknya, itu banyak sekali, bahkan ada datanya juga yang sudah tertangkap (karena) korupsi," ujarnya.

(ae/gtp)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.
Muhammad Hanafi
Muhammad Hanafi Jurnalis untuk Deutsche Welle Indonesia di Jakarta.@hanafiaryanbly