Kurang Bidan, Warga Ujung Aceh Arungi Laut untuk Melahirkan
25 Juni 2024Pulo Breueh dan Pulo Nasi yang terletak di Kabupaten Aceh Besar merupakan dua wilayah kepulauan terluar yang terletak di ujung barat Provinsi Aceh. Transportasi utama untuk menyeberang ke pulau ini adalah kapal kayu nelayan dengan waktu perjalanan selama 2 jam, belakangan sudah ada feri yang dioperasikan 4 kali dalam sepekan ke Pulo Nasi.
Di Pulo Breueh terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), untuk melayani 17 desa di kedua pulau. Jumlah tenaga medis, terutama bidan kerap dikeluhkan masyarakat yang hendak melahirkan karena jumlahnya yang hanya 4 orang.
Mahlini, 33, salah seorang warga membagikan kisahnya saat akan melahirkan anak ketiga, dia sempat dirujuk menggunakan kapal kayu nelayan, sebelum adanya ambulans laut.
"Cuacanya memang sangat luar biasa, hujan badai dan ombak tinggi 4 meter, seakan ingin melahap perahu kami, perahu waktu itu serasa terbang. Saya menangis kesakitan karena anak tidak bisa lahir, ditambah dengan sesak napas," kenang Mahlini (33), saat akan melahirkan anak ketiga.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Mahlini, mengatakan bahwa dia bukan satu – satunya warga Pulau Aceh yang dirujuk darurat saat akan melahirkan, masih banyak ibu-ibu lainnya dengan kisah yang berbeda dan bertaruh nyawa ditengah ombak laut saat akan melahirkan.
Sementara Nilawati, 28, seorang ibu muda yang sedang hamil 5 bulan, mengatakan harapannya bahwa di setiap desa ada satu bidan desa untuk membantu ibu hamil pemula, mengedukasi cara menyusui dengan baik, dan cara mendidik anak yang benar.
"Sekarang saya hamil anak kedua. Waktu anak pertama, saya harus berulang kali ke Kota Banda Aceh menggunakan perahu untuk cek kesehatan sampai melahirkan. Sekarang pun masih seperti itu. Seharusnya bidan di Pulo ditambah, untuk membantu ibu-ibu hamil," kata Nilawati kepada DW Indonesia.
Ia mengatakan bahwa saat ini di Pulo Breueh hanya ada 4 orang bidan untuk 12 desa. "Seharusnya pemerintah menambah jumlah bidan dan tenaga medis karena wilayah kepulauan jarak antar desa bisa mencapai 1 jam perjalanan."
"Saya lihat tetangga dirujuk dengan kapal kayu saat mau melahirkan, malah saya yang ketakutan. Ini karena jumlah bidan sedikit dan fasilitas kesehatan yang kurang, makanya badai sekalipun harus dirujuk ke Banda Aceh," ujar Nilawati.
Tersisa para bidan yang "tidak tega”
Di antara para bidan yang memilih bertahan di wilayah terpencil itu adalah Tri Afrinawati, 40, dan Salamiah, 40. Mereka sudah 17 tahun mengabdi di wilayah terluar Provinsi Aceh ini. Meski datang dari daratan Aceh, mereka enggan mengurus kepindahan ke pusat kesehatan yang ada di darat, karena tidak tega meninggalkan para calon ibu ini.
Sebelum kehadiran dua bidan ini, proses lahiran warga di Pulo Aceh dibantu oleh Ma' Blien (dukun beranak). Dukun semacam ini sudah dilarang oleh pemerintah, karena tingginya angka kematian bagi ibu dan anak sebab tidak sesuai penanganan medis.
Bidan Tri Afrinawati, mengatakan 17 tahun terasa singkat, karena sangat banyak ilmu baru yang berhasil didapatkan ditempat ini. Setiap ada yang melahirkan seperti mendapatkan 1 pengalaman baru dan bertambahnya ilmu baru, ujarnya.
"Pulo Breueh hanya ada 4 orang bidan, kalau saya mengurus pindah ke darat, bagaimana nasib ibu melahirkan? Siapa yang akan mendampingi mereka?" kata Tri.
Ia mengaku sudah melewati berbagai suka maupun duka selama bertugas. "Tengah malam saya dapat telpon kalau ayah meninggal, jadi lansung sewa perahu 3 juta untuk ke Banda Aceh, kemudian naik mobil 8 jam ke kampung halaman, tiba di sana orang tua saya sudah dikebumikan," kata Tri, mengingat dukanya selama bertugas sebagai bidan.
Meski demikian, Tri berencana terus mengabdikan dirinya Puskesmas Pulo Aceh hingga pensiun.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Bidan Salamiah, sekalipun sudah berulang kali hampir meregang nyawa di laut saat merujuk pasien. Dia juga berencana pensiun di Pulo Aceh karena alasan kemanusiaan dan kedamaian yang bisa dia dapatkan selama bertugas.
"Waktu itu kejadian darurat, pasien mau melahirkan anak ketiga dan mengalami pelengketan retensio plasenta, kita naik perahu kecil, ombak setinggi 4 meter. Di dalam perahu saya menangis sejadinya dan minta perahu berhenti, tapi kapten bilang kita tidak bisa berhenti sebab bisa terbalik," kata Bidan Salamiah yang kerap disapa Bidan Mia.
Bidan Mia, mengatakan bahwa tempat dia bertugas memiliki 3 ruangan, 2 ruangan perawatan yang kondisinya sudah bocor dan 1 ruangan bersalin yang sudah tidak layak lagi digunakan. Berulang kali sudah diajukan untuk renovasi, tapi sampai hari ini tidak kunjung diperbaiki.
"Bisa saya katakan kalau ruangannya sudah tidak layak lagi digunakan, sudah saya ajukan perbaikan berulang kali, tapi sampai sekarang masih belum diperbaiki," tangis Mia ketika memikirkan tempat yang layak untuk ibu melahirkan.
Wacana penambahan tenaga medis
Data dari website Profil Kesehatan, setiap tahunnya ada sekitar 6.000 lebih angka kelahiran di Kabupaten Aceh Besar, dengan angka kematian bayi mencapai 50 orang.
Menjawab kekurangan bidan desa di Pulo Aceh, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Besar, Anita, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan penambahan bidan maupun tenaga medis lainnya.
"Ada 16 orang tenaga medis P3K yang akan dikirim dalam waktu dekat ini ke Pulo Aceh untuk menjawab kekurangan bidan dan tim medis lainnya," kata Anita, Kadis Kesehatan Aceh Besar.
Anita berharap, penambahan ini bisa membantu warga di Pulo Aceh dalam proses lahiran maupun tindakan medis lainnya.
"Kita berharap ini bisa membantu warga yang membutuhkan, para medis kita pastikan akan bersiaga selama 24 jam," harap Anita. (ae)