Lady Gaga dan Pertaruhan Kebebasan
16 Mei 2012Kebebasan kita kini sedang dipertaruhkan.
Empat belas tahun setelah lepas dari otoritarianisme orde baru, kita berhadapan dengan sebuah rejim moral yang berkuasa mengatasnamakan mayoritas.
Pertengah Mei lalu, tekanan kelompok konservatif dan garis keras memaksa polisi membatalkan ijin konser Lady Gaga.
Mengutip MUI, polisi menyebut Lady Gaga tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. Sepekan sebelumnya, Front Pembela Islam mengancam akan membuat onar jika konser digelar.
Polisi menyerah dan memilih cara paling aman dan gampang: membatalkan ijin konser.
Ini bukan soal Lady Gaga. Ini juga bukan soal cocok atau tidak dengan kebudayaan kita. Hal yang paling esensial adalah: kemerdekaan yang hilang.
Kebebasan yang kita dapat lewat perjuangan melawan rejim otoriter orde baru, kini dibajak oleh mereka yang mengatasnamakan mayoritas.
Mereka bebas membubarkan sebuah diskusi buku atau pertunjukan seni dengan dalih Iman. Kelompok ini juga bisa memaksa polisi memenjarakan anggota sekte yang dianggap menyimpang.
Polanya sama: dimulai dengan mengharamkan, demonstrasi dan diakhiri larangan polisi, dengan alasan keamanan.
Melarang dengan alasan keamanan artinya jelas: polisi menyerah, tidak bisa bertanggungjawab jika kelompok garis keras menyerang.
Kebebasan berpendapat, berkeyakinan dan berekspresi adalah hak konstitusional. Polisi seharusnya betugas menjamin bahwa semua warga bisa melaksanakan hak itu secara penuh. Bukannya malah tunduk pada tekanan mereka.
Sekali lagi, ini bukan soal Lady Gaga. Ini adalah soal kebebasan yang pelan-pelan direnggut oleh mereka yang mengklaim diri sebagai suara mayoritas.
Kita berhadapan dengan jenis otoritarinisme yang lebih sulit dilawan karena bentuknya yang tidak jelas, dan diam-diam ada dan menjadi bagian dari diri banyak orang.
Andy Budiman