Lebanon Terancam Gagal Dapat Bantuan Lantaran Kisruh Politik
19 November 2020Waktu menjadi barang langka di Beirut. Prancis, Amerika Serikat (AS) dan negara donor lain mulai kehabisan sabar dan mendesak elit politik Lebanon agar secepatnya membentuk pemerintahan yang kredibel, atau mengucap selamat tinggal pada dana pinjaman internasional.
Hingga kini faksi-faksi politik di Beirut masih berkutat menentukan calon perdana menteri. Lebanon belum memiliki pemerintahan baru sejak ledakan di pelabuhan, memaksakan kejatuhan kabinet PM Hassan Diab, Agustus silam.
Dalam sebuah pertemuan di Beirut pekan lalu, Patrick Durel, penasehat Presiden Prancis Emmanuel Macron, menegaskan bahwa Paris masih memegang komitmen terhadap Lebanon. Tapi “kami tidak akan membantu kecuali ada langkah reformasi,” menurut dua sumber yang hadir dalam pertemuan tersebut.
“Masa-masa itu sudah berlalu,” katanya merujuk pada kucuran duit bantuan dari Prancis yang berulangkali mengisi kas Lebanon sejak Perang Saudara 1975-1990.
Kepada kantor berita Reuters, seorang diplomat barat mengklaim Prancis berencana menggelar konferensi negara donor untuk Beirut pada akhir November. Tapi “belum ada perkembangan baru,” terkait acara tersebut.
“Politisi Lebanon kembali melakukan kebiasaan mereka dan apa yang mengkhawatirkan adalah ketidakpedulian kepada masyarakat,” tutur sumber yang tidak ingin disebut namanya itu.
Manuver Bassil Lumpuhkan Konsensus Politik
Saad Hariri, bekas perdana menteri dari kelompok Sunni, saat ini sedang berupaya mengumpulkan dukungan politik bagi pemerintahannya. Tingkat kepercayaan publik terhadapnya tergolong rendah, karena dianggap ‘tokoh lama’ yang dinilai ikut bertanggung jawab membawa Lebanon ke situasi saat ini.
Reuters melaporkan, kebuntuan politik di Beirut bertambah rumit setelah AS memberi sanksi terhadap Gebran Bassil, menantu Presiden Michael Aoun, yang memimpin Gerakan Patriotik Bebas (FPM), partai Kristen terbesar di Lebanon.
Bassil dituduh melakukan korupsi dan berafiliasi dengan Hizbullah. Organisasi paramiliter pro-Iran yang juga aktif di parlemen itu dianggap sebagai kelompok teroris oleh AS. Namun Bassil menepis dakwaan tersebut.
Menurut sejumlah sumber Reuters di pemerintah, kebuntuan berpangkal pada upaya Aoun dan Bassil menempatkan sejumlah menteri beragama Kristen di dalam kabinet yang berjumlah 18 orang itu. Sementara Hariri ingin membentuk kabinet Zaken yang diisi para ahli dan tidak memiliki kaitan dengan partai-partai politik.
Sebab itu lingkaran politik di Lebanon menuduh Bassil sebagai dalang kebuntuan tersebut. Penasehat Macron, Durell, dikabarkan menemui Hizbullah dan meminta kelompok Syiah itu menggandakan tekanan politik terhadap Bassil. Namun permintaan itu ditolak atas alasan politis.
Ancaman kebangkrutan
Reuters melaporkan saat ini pemerintah Lebanon menguras cadangan devisa asing senilai USD 17,9 miliar (Rp 253,8 triliun) untuk membiayai anggaran negara. Oleh karena itu sejumlah politisi mewanti-wanti terhadap kebuntuan berkepanjangan.
“Pesan dari Prancis sudah sangat jelas, tidak ada pemerintahan, tidak ada reformasi, maka selamat tinggal,” kata sumber lain di pemerintahan Lebanon. “Dan jika Prancis mengangkat tangan, maka siapa yang akan membantu kita? Negara Teluk? AS? Tidak seorang pun,” tukasnya.
Dalam sebuah konferensi online yang digelar lembaga pemikir, CSIS, di Washington, Dorothy Shea, Duta Besar AS untuk Lebanon, memahami kelompok pro-Iran di Beirut ingin mengulur waktu dan menunggu berakhirnya pemerintahan Donald Trump.
Dia mengatakan pemerintahannya “memahami bahwa Lebanon penting,” dan bahwa “mencegah kebangkrutan negara adalah prioritas utama,” bagi Washington.
“Tapi kita tidak bisa menginginkanya (reformasi), lebih dari mereka,” imbuhnya.
rzn/pkp (Reuters)