Lebih 30 Persen Kasus Corona Tak Tunjukkan Gejala Sakit
26 Maret 2020Laporan pemerintah Cina tentang kasus COVID-19tanpa gejala sakit atau asimptomatik yang dilansir The South China Morning Post itu juga dikonfirmasi kelompok pakar kesehatan Jepang.
Hiroshi Nishiura, pakar epidemiologi di Hokkaido University, yang memimpin tim pakar medis Jepang, menyebutkan bahwa dari seluruh warga Jepang pasien COVID-19 yang dievakuasi dari episentrum pandemi Wuhan, sebanyak 30,8% dari mereka tidak menunjukkan gejala sakit.
Dalam sebuah surat kepada International Journal of Incetious Diseases, pakar epidemiologi itu menyebutkan, ada celah perbedaan antara laporan dari Cina, dengan estimasi berbasis diagnosa kasus di luar Cina. Hal itu menunjukkan adanya jumlah substansial kasus yang didiagnosis terlalu ceroboh.
Kasus itu juga menunjukkan bahwa asumsi mengenai gejala sakit setelah terinfeksi virus corona yang akan muncul antara 5 hari sampai dua minggu harus dicermati lagi. Sebab dalam lebih dari 30% kasus COVID-19, gejalanya tidak muncul atau muncul tiga minggu kemudian.
Laporan mengenai tingginya kasus COVID-19 asimptomatik dari Cina, amat kontras dengan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO. Lembaga itu menyebut, kasus transimisi virus lewat pasien asimptomatik sangat jarang. WHO memperkirakan kasusnya hanya sekitar satu sampai tiga persen.
Regulasi tes virus corona berbeda-beda
Terkait kasus infeksi virus corona tanpa gejala sakit dan bahaya penularan virus ini, pejabat kesehatan nasional di berbagai negara punya tafsiran masing-masing. Juga strategi untuk menghambat penyebaran virus corona SARS-CoV-2 di tiap negara berbeda-beda.
Korea Selatan menerapkan strategi dan regulasi test virus corona secara nasional, tidak peduli apakah warga menunjukkan gejala atau tidak, mengisolasi pasien COVID-19 secara komprehensif dan menerapkan secara ketat ketentuan “social distancing“. Tindakan ini terbukti efektif memperlambat penyebaran virus corona.
Sebagian besar negara anggota Uni Eropa termasuk Jerman serta Amerika Serikat menerapkan strategi yang hampir sama, yakni hanya melakukan test virus corona kepada orang yang menunjukkan gejala sakit mirip flu. Efeknya, jumlah infeksi baru virus SARS-CoV-2 naik secara drastis.
Di Jerman, jika melakukan kontak langsung dengan orang yang terinfeksi corona, tapi tidak menunjukan gejala sakit, biasanya mereka diperintahkan untuk mengisolasi diri. Tapi sejauh ini tidak ada mekanisme pengawasannya.
Korea Selatan punya pengalaman tangani MERS
Berbagai tindakan efektif yang dilakukan Korsel banyak mengacu pada penanganan krisis wabah virus corona MERS tahun 2015 silam. Sejak krisis itu, pemerintah punya legaitas untuk mengakses data dan informasi personal, ponsel serta kartu kredit milik warganya.
Dengan begitu, siapa yang terinfeksi COVID-19 bisa diketahui datanya secara akurat. Pergerakan warga yang terinfeksi virus corona juga bisa terus dimonitor. Data kemudian secara anonim diunggah lewat sebuah app, sehingga semua orang bisa melihat dengan siapa ia melakukan kontak.
Pemerintah Korsel juga mempermudah akses warga untuk melakukan tes virus corona dengan mendirikan “check point“ dan tenda-tenda pemeriksaan. Sejauh ini 300.000 warga Korsel sudah ditest.
Setiap harinya, 20.000 warga Korsel bisa dites di sarana ini, atau di 40 sarana test “drive through“ yang disiapkan. Dari 50 juta populasi Korsel, tercatat 6000 terinfeksi dan 120 meninggal. Saat ini laju infeksi baru hanya 100 per hari. (as/yf)