Ledakan di Universitas Aleppo
16 Januari 2013
Pemerintah Suriah dan pemberontak saling menuding sebagai dalang di balik ledakan tersebut. Kampus universitas itu terletak di daerah yang dikuasai serdadu pemerintah. Gubernur Mohammed Wahid Akkad mengatakan dalam wawancara telefon dengan AFP, "Sejauh ini ada 82 orang tewas dan 160 lainnya cedera dalam serangan teroris yang diarahkan kepada mahasiswa pada hari pertama ujiannya, di universitas Aleppo." Sementara organisasi Syrian Observatory for Human Rights yang berpusat di Inggris mengatakan 83 orang tewas dan 150 lainnya luka-luka, sebagian dari mereka cedera berat.
Serangan Udara atau Ledakan Roket?
Seorang pendukung oposisi menuding pemerintah melancarkan serangan udara terhadap kampus tersebut. Sementara seorang perwira militer mengatakan ledakan disebabkan oleh tembakan roket tentara pemberontak yang luput dari sasarannya. Televisi pemerintah mengatakan, "teroris menembakkan dua roket" ke arah kampus. Kantor berita SANA melaporkan, "Ledakan terjadi pada hari pertama ujian. Mahasiswa dan pengungsi menjadi korban ledakan".
Selain menjadi tempat tinggal mahasiswa, kampus universitas juga menjadi tempat penampungan sekitar 30.000 pengungsi yang melarikan diri dari beberapa bagian kota Aleppo. Kota di utara Suriah itu menjadi medan pertempuran sejak pemberontak menguasai beberapa wilayah Juli lalu.
Kantor berita SANA yang mengutip sumber resmi melaporkan, sebagian pengungsi juga menjadi korban ledakan. Ledakan menghantam area dekat asrama universitas dan fakultas arsitektur. Demikian dilaporkan media internasional Observatory, dan menambahkan "asal-usul ledakan belum jelas". Ditegaskan juga, ada laporan simpang-siur antara serangan udara dan dua ledakan di darat.
Konflik Yang Tak Kunjung Henti
Di seluruh Suriah, sedikitnya 152 orang tewas Selasa (14/01). 128 di antaranya warga sipil, demikian keterangan organisasi HAM. Dilaporkan juga, belasan orang tewas atau cedera, ketika pasukan Suriah menyerang markas pemberontak di dekat sebuah akademi militer di Homs, Selasa. Dewan revolusi Suriah yang berafiliasi dengan kelompok oposisi menuduh rezim Bashar al Assad melakukan "pembantaian" di sana. Menurut mereka, lebih dari 24 orang dibunuh dan rumah serta jenazah mereka dibakar.
Memanasnya konflik Suriah sejak beberapa hari terakhir dibarengi dengan sikap Rusia yang menolak usul sekelompok negara untuk menghadapkan orang-orang kepercayaan Assad ke Mahkamah Internasional. Rusia menilai usul sekelompok negara yang dipimpin Swiss itu sebagai "tidak produktif". Hanya Dewan Keamanan PBB yang berhak mengajukan masalah Suriah ke mahkamah di Den Haag. Demikian pendapat Rusia.
Rusia, yang secara tradisional menjadi sekutu Suriah menggunakan hak vetonya, sehingga sanksi terhadap Assad tidak dapat dijatuhkan. Selasa, Rusia juga menyatakan, pengajuan tindakan Suriah sebagai kejahatan perang juga dapat menyebabkan semakin besarnya krisis.
Pertentangan Rusia dan Barat
Sekali lagi Moskow menekankan dukungannya bagi rencana transisi di Suriah, yang juga didukung banyak negara besar sejak Juni lalu. Rencana itu tidak bisa dilaksanakan karena pertempuran tidak kunjung berakhir. Menurut rencana itu, pemerintahan sementara yang mempunyai kekuasaan harus didirikan. Sementara Assad tidak mendapat peranan yang jelas. Masalah ini menyebabkan pertentangan antara Rusia dan negara-negara Barat lainnya.
Selasa lalu, PM Suriah Wael al Halaqi tiba di Teheran untuk mengadakan diskusi dengan sekutu terdekat Damaskus itu, demikian laporan televisi pemerintah. Menurut kantor berita Iran, Fars, kedua belah pihak akan membicarakan "rencana tiga langkah dari Assad" untuk masa depan politik Suriah, yang diperkenalkannya 6 Januari lalu.
Oposisi dan negara-negara barat menolak rencana Assad dan menyebutnya tidak sesuai realita. Rencana itu mencakup dialog, tetapi hanya dengan kelompok-kelompok oposisi yang dianggap dapat diterima, dan bukan "teroris" di bawah pimpinan orang asing. Iran telah memberikan dukungan keuangan bagi Suriah, dan menyatakan telah mengirim penasehat militer untuk membantu pemerintah Suriah dalam menghadapi perlawanan yang sudah berlangsung 22 bulan.
Menurut perkiraan PBB, lebih dari 60.000 orang tewas akibat kekerasan di SUriah, sejak Maret 2011. Washington kini telah menyangkal laporan bahwa Suriah menggunakan senjata kimia untuk menghadapi pembangkang. Foreign Policy, sebuah majalah online, mengatakan telah mendapat laporan dari diplomat AS di Turki, bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan gas beracun. Menurut juru bicara Dewan Keamanan Nasional, Tommy Vietor, laporan itu tidak terbukti sama sekali.
afp/rtr (ML/RZN)