Lewat Majalah, Keluar dari Bordil
31 Desember 2012Membungkuk di depan kertas, Farzana, 10 tahun usianya, menggambar dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit. Haidar, yang berusia 13 tahun, sibuk menulis impiannya menjadi seorang teknisi. Remaja lainnya, Neeta, seorang gadis berumur 14 tahun menulis puisi tentang seekor burung ingin lepas bebas dari kandangnya dan terbang di angkasa.
Farzana, Haidar dan Neeta adalah anak-anak pelacur di kawasan lampu merah di Muzaffarpur, Bihar, India. Mereka duduk-duduk di sebuah kantor lembaga swadaya masyarakat Parcham, yang terletak di kawasan pelacuran. Anak-anak itu sedang mempersiapkan kontribusi mereka untuk topik edisi mendatang majalah bulanan Jugnu.
Jugnu dalam bahasa Hindi berarti "cacing bercahaya". Majalah itu terdiri dari 32 halaman fotokopi baik itu tulisan tangan, baik berupa puisi dan artikel atau gambar-gambar yang dibuat oleh anak-anak di kawasan lampu merah Muzaffarpur dan distrik tetangga. Kadangkala, ada juga kontribusi tulisan ataupun gambar dari pelacur dan aktivis dalam majalah yang disponsori LSM Parcham.
Tumbuh di lingkungan yang kurang beruntung, dimana profesi pelacur dianggap hina, keluarga dari pelacur sering mendapat cibiran dan diskriminasi, yang pada akhirnya membawa anak-anak itu terpaksa putus sekolah. Anak-anak perempuan banyak yang mengikuti jejak ibu mereka menjadi pelacur. Sedangkan anak laki-laki terjun ke dunia kriminalitas.
Parcham berusaha membantu agar anak-anak itu dapat berintegrasi dengan masyarakat lewat berbagai cara. Selain memfasilitasi pembuatan majalah, LSM itu juga mendorong anak-anak agar tetap bersekolah.
Ide di Belakang Majalah
Pimpinan Parcham, Naseema, menjelaskan Jugnu menjadi platform bagi anak-anak di pelacuran untuk mengekspresikan ambisi mereka dan mengembangkan bakat. "Anak-anak itu tak punya akses menikmati kenyamanan di masyarakat pada umunya. Beberapa di antara mereka putus sekolah. Majalah ini membantu anak-anak melatih bakat mereka dan mewujudkan impian mereka untuk masa depan, keluar dari kehidupan mengerikan,” demikian dijelaskan Naseema.
“Stigma sebagai anak dari kawasan lampu merah tertanam dalam kehidupan mereka. Tapi anak-anak ini kini dapat melihat cahaya di ujung terowongan mereka, cahaya Jugnu. Kita bersama.sama menghimpun impian mereka dan berusaha memberikan sayap bagi mereka untuk terbang.”
Beberapa anak-anak yang menulis untuk Jugnu berpotensi untuk menjadi dokter, pengacara, jurnalis, penulis ataupun pelukis, imbuh Naseema.
Editor majalah itu, Nikhat, mengatakan Jugnu merupakan bentuk publikasi pertama dari jenis majalah itu.“Banyak orang hidup di kawasan ini tak punya pilihan, selain mengikuti profesi yang ada sebelumnya. Kawasan lampu merah seprti lubang gelap di masyarakat,” papar Nikhat.
“Sebagaimana anak-anak kontributor majalah lainnya, saya juga anak dari lingkungan pelacuran,” demikian pengakuan remaja 19 tahun yang kini mengecap bangku kuliah dan ingin menjadi jurnalis itu.
"Masyarakat tak percaya bahwa saya sanggup melakukan sesuatu ketimbang mengejar pekerjaan di lingkungan pelacuran. Untuk membuktikan bahwa prasangka itu tidak benar, maka kami meluncurkan majalah ini,” tandasnya.
Membantu Keluar dari Lingkungan Lampu Merah
Sekretaris lokal Palang Merah Masyarakat, Paresh Prasad Singh mengatakan dengan meluncurkan mejalah itu, Parcham membantu anak-anak di bordil mengambil langkah besar menuju masyarakat.
“Dampak Jugnu sangat nyata di kawasan lampu merah. Isi majalah itu menunjukan bagaimana anak-anak terperangkap di sana. Gambar mereka, tulisan dan puisi di majalah itu memperlihatkan bahwa mereka tak berbeda sama sekali dengan anak-anak di masyarakat pada umunya dan mereka layak mendapat tempat di masyarakat,” ujar Paresh Prasad Singh. Jadi amat salah bila tak menolong mereka.
Salah satu kontributor majalah itu: Farzana, telah berkontribusi dengan Jugnu sejak ia berusia 8 tahun. Ia mengatakan ingin menjadi dokter. Katanya, “Saya tak mau bekerja di sini jika saya dewasa. Saya ingin melanjutkan studi di bidang medis dan ingin menjadi dokter. Orang-orang akan menghormati saya dan itu akan mengangkat martabat ibu saya.” Ia kini duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Ibu Farzana, Ruqsana, menyampaikan rasa syukurnya: “Saya tak mau anak saya mengikuti jejak saya sebagai seorang pelacur. Anak saya gemar belajar dan dikenal sebagai murid yang baik di sekolahnya. Saya yakin ia akan bisa mendapat pekerjaan yang baik di masa depan.“ Sang ibu sendiri tak pernah mengecap bangku pendidikan.
Ditambahkan Ruqsana, “Anak saya tumbuh baik karena bergabung dengan majalah Jugnu. Kenyataannya, majalah ini telah membantu anak-anak dan ibu-ibu mereka mewujudkan impian. Saya akan selalu berterima kasih pada Jugnu dan aktivis Parcham yang menunjukan jalan bagi anak saya untuk keluar dari bordil.”