1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanIndia

Lika-liku Larangan Pengunaan Jilbab di India

18 Maret 2022

Keputusan pengadilan yang melarang jilbab dikenakan perempuan muslim di sekolah memicu perdebatan apakah pengadilan dapat memutuskan hal-hal terkait praktik keagamaan. Hakim sebut jilbab bukan bagian penting dari Islam.

https://p.dw.com/p/48eqX
Siswa muslim melakukan unjuk rasa di Karnataka, India
Aturan larangan hijab di sekolah-sekolah di negara bagian Karnataka memicu protes nasionalFoto: Rupak De Chowdhuri/REUTERS

Pada hari Selasa (15/03), pengadilan tinggi di negara bagian Karnataka, India selatan, menegakkan perintah pemerintah yang melarang penggunaan jilbab di ruang kelas, memutuskan bahwa memakainya bukan bagian integral dari praktik keagamaan dalam Islam.

Keputusan pengadilan dan kontroversi hijab adalah bagian dari perdebatan budaya yang bergejolak di India mengenai posisi Islam dalam lingkungan politik yang semakin didominasi oleh nasionalisme Hindu.

Kontroversi larangan pengunaan jilbab di Karnataka dimulai pada bulan Januari lalu setelah enam mahasiswi muslim di sebuah perguruan tinggi di kota Udupi mengatakan mereka dilarang menghadiri kelas karena mereka mengenakan hijab.

Pada 5 Februari, pemerintah Karnataka mengeluarkan perintah pelarangan pakaian yang "mengganggu kesetaraan, integritas, dan ketertiban umum" di lembaga pendidikan. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi menggunakan perintah ini untuk melarang masuknya perempuan-perempuan muslim berjilbab.

Karnataka kemudian menjadi panggung dari serangkaian protes mahasiswa muslim dan protes balik mahasiswa dan aktivis Hindu. Ketika demonstrasi meningkat dan menyebar ke perguruan tinggi dan distrik lain, sekolah terpaksa ditutup sementara.

Sekelompok mahasiswi muslim akhirnya membawa kasus ini ke pengadilan tinggi negara bagian, berusaha untuk membatalkan keputusan pemerintah.

'Pembatasan yang wajar' pada kebebasan berekspresi

Setelah pengadilan tinggi menolak banding mereka, para perempuan muda yang mempelopori protes hijab bersumpah untuk terus memperjuangkan kasus mereka di Mahkamah Agung India. Beberapa dari mereka mengatakan mereka tidak akan menghadiri kelas jika mereka tidak diperbolehkan mengenakan hijab, bahkan jika itu membahayakan pendidikan mereka.

"Pengadilan telah mengecewakan kami dan mengecewakan banyak dari kami. Pengadilan salah dalam menyatakan bahwa jilbab tidak penting bagi Islam," kata seorang mahasiswa dari kota Shimoga kepada DW.

Dalam menjelaskan keputusannya, pengadilan tinggi Karnataka mengatakan bahwa kebebasan beragama di bawah konstitusi India tunduk pada batasan tertentu.

"Kami berpendapat bahwa mengenakan jilbab oleh perempuan Muslim tidak menjadi praktik keagamaan yang penting dalam keyakinan Islam," putusan pengadilan.

Pengadilan menambahkan bahwa negara memiliki hak untuk mengatur seragam sekolah, yang merupakan "pembatasan yang masuk akal" pada hak-hak konstitusional.

Pakar hukum mengatakan kasus tersebut kini telah mengambil dimensi yang lebih besar dengan putusan pengadilan tinggi atas kebebasan berekspresi di India, di mana memakai simbol-simbol agama tersebar luas.

Meskipun tidak ada undang-undang pusat yang mengatur seragam sekolah di India, keputusan pengadilan Karnataka telah menimbulkan kekhawatiran atas preseden yang akan mendorong lebih banyak negara bagian untuk mengeluarkan aturan berpakaian yang sama untuk siswa.

Mihira Sood, seorang profesor di Universitas Hukum Nasional Delhi, mengatakan keputusan pengadilan tidak memberikan pedoman tentang bagaimana hukum dapat sama-sama menegakkan prinsip-prinsip sekularisme yang diabadikan dalam konstitusi India, yang akan berlaku untuk agama apa pun.

"Siswa agama lain memakai simbol yang bukan bagian dari seragam seperti turban dan tilak (tanda yang dikenakan oleh umat Hindu di dahi)," kata Sood kepada DW.

Dia menambahkan situasi di Karnataka terkait dengan agenda nasionalis Hindu dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa, yang memiliki mayoritas pemerintahan di negara bagian tersebut.

"Kami telah melihat laporan pembatasan serupa di Uttar Pradesh dan di wilayah lain, dan ini kemungkinan akan berdampak di beberapa negara bagian. Ini baru permulaan," tambah Sood.

Juru bicara BJP Shazia Ilmi mengatakan hijab bukan bagian dari agama, dan partai itu melakukan banyak hal untuk pemberdayaan perempuan muslim.

"Putusan pengadilan selaras dengan konstitusi. Alquran tidak mengamanatkan penggunaan jilbab atau tutup kepala bagi perempuan muslim," kata Ilmi kepada DW.

Apakah hukum India mengasingkan umat Islam?

Beberapa aktivis mengatakan ketegangan atas isu hijab adalah bagian dari tren yang lebih luas di India yang menindak populasi minoritas muslim sejak BJP yang nasionalis Hindu berkuasa hampir delapan tahun lalu.

"Ini jelas merupakan kasus gangguan terhadap hak-hak beragama dan fundamental perempuna-perempuan itu. Masalah-masalah seperti larangan hijab sangat mudah mempolarisasi seluruh komunitas," ujar pengacara Mohammed Tahir, yang mewakili satu kelompok pemohon di pengadilan, kepada DW.

Penulis dan aktivis Farah Naqvi mengatakan kepada DW bahwa aturan larangan hijab adalah bagian dari agenda yang lebih luas untuk menyingkirkan budaya muslim.

"Ini bukan debat gender atau tentang jilbab dan cadar ... begitu banyak hak dasar yang dipertaruhkan. Semua ini bisa diselesaikan dengan mudah jika sekolah membuat penyesuaian sederhana," katanya.

Demonstrasi di Kolkata, India
Perempuan muslim mengatakan konstitusi sekuler India melindungi hak mereka untuk mengenakan hijabFoto: Indranil Aditya/imago images/NurPhoto

Mehbooba Mufti, mantan Kepala Menteri Jammu dan Kashmir, mengatakan keputusan pengadilan yang menegakkan larangan hijab sangat mengecewakan.

"Di satu sisi kita berbicara tentang pemberdayaan perempuan, tetapi kita menyangkal hak mereka atas pilihan sederhana. Ini bukan hanya tentang agama, tetapi kebebasan untuk memilih," cuit Mufti di akun Twitternya.

Pada tahun 1986, Mahkamah Agung India menegakkan hak tiga siswa sekolah untuk tetap diam saat lagu kebangsaan India dinyanyikan. Anak-anak itu adalah anggota Saksi Yehuwa, sebuah aliran Kristen, dan mengatakan menyanyikan lagu kebangsaan bertentangan dengan iman mereka.

Sekolah mereka mengeluarkan mereka, dan keluarga mengajukan banding, mengatakan pengusiran itu melanggar kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Mahkamah Agung India saat itu memutuskan bahwa sekolah harus menerima kembali anak-anak, dengan alasan bahwa pilihan mereka untuk tidak menyanyi tidak memengaruhi orang lain.

Perempuan-perempuan yang terkena keputusan hijab sekarang mengatakan mereka akan membawa kasus mereka ke Mahkamah Agung dan meminta sidang awal sehingga keputusan dapat dibuat tepat waktu untuk ujian mereka.

(rap/ha)