1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiGlobal

Lonjakan Ongkos Kirim Hantui Perdagangan Global

Dirk Kaufmann
9 Juli 2024

Krisis keamanan di Laut Merah dan rendahnya muka air di Terusan Panama mencuatkan ongkos pengiriman laut dan menghambat perdagangan global. Analis meyakini situasinya belum akan pulih dalam waktu dekat.

https://p.dw.com/p/4i3MH
Kapal Ever Given di Terusan Suez
Kapal kargo Ever Given yang terdampar di Terusan Suez dan memblokade rute perdagangan global pada Maret 2021.Foto: Sui Xiankai/Xinhua/picture alliance

Pentingnya jalur pelayaran Laut Merah bagi perdagangan global menjadi jelas ketika selama lebih dari enam bulan, milisi Houthi dari Yaman membajak kapal-kapal yang menuju Israel.

Blokade Laut Merah berkecamuk setelah perang Israel melawan kelompok militan Hamas di Gaza menyusul serangan teror pada 7 Oktober tahun lalu.

Pada 20 Juni lalu, kelompok pemberontak Houthi menenggelamkan sebuah kapal pengangkut batu bara dengan serangan drone.

Buntutnya, AS dan Inggris menyerang aset militer Houthi di Yaman selama beberapa bulan terakhir. Selain itu, kapal perang dari dua koalisi internasional beroperasi di Laut Merah untuk mengamankan lalu lintas maritim di sepanjang pantai Yaman. Angkatan Laut Jerman, misalnya, juga merupakan bagian dari misi angkatan laut Uni Eropa yang disebut Aspides.

Lonjakan biaya angkutan kapal

Perdagangan global mendapat tekanan besar sejak berkecamuknya perang Israel-Hamas Oktober 2023. Di seluruh dunia, perdagangan komersial mencatatkan lonjakan biaya pengiriman dan asuransi barang.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pemilik kapal kargo juga dihadapkan pada premi asuransi yang lebih tinggi karena risiko yang meningkat drastis di Laut Merah. Demi alasan keamanan, pilihan perusahaan kapal menghindari Terusan Suez dan memutar lewat Tanjung Harapan, yang tidak cuma memperlambat waktu perjalanan tapi juga meningkatkan konsumsi bahan bakar.

Drewry World Container Index, yang memantau pasar pengangkutan logistik, mencatat kenaikan harga pengiriman untuk kontainer standar berukuran 40 kaki sebesar 7 persen hanya dalam minggu ketiga bulan Juni. Kenaikan dadakan itu tercatat sebesar 233 persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.

Mencari rute aman

Simon MacAdam, seorang analis di perusahaan konsultan keuangan Capital Economics di London, Inggris, menilai kondisi global memaksa perusahaan pelayaran agar beroperasi lebih fleksibel.

"Pemilik kapal telah beradaptasi dengan baik terhadap situasi ini, mengingat keterbatasan penggunaan Terusan Suez," katanya kepada DW, seraya menambahkan bahwa ongkos pengiriman sempat turun "setelah meroket pada bulan Januari.”

Namun sekarang "ongkos kembali meningkat," yang menurut MacAdam menunjukkan tidak ada alasan untuk mengharapkan penurunan biaya alam waktu dekat.

"Faktor pendorong lainnya adalah fenomena ketika para importir saat ini menambah pesanan untuk menjamin ketersediaan barang yang cukup sepanjang tahun. Namun dengan adanya pengalihan rute kapal di sekitar Tanjung Harapan, kenaikan biaya kemungkinan besar akan berlanjut," kata pakar Capital Economics tersebut.

Keterbatasan armada kapal

Jan Hoffmann, pakar ekonomi di Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB, UNCTAD, juga menunjuk pengalihan rute ke Afrika sebagai penyebab kenaikan biaya pengiriman.

"Jalur memutar di sekitar Afrika Selatan membutuhkan lebih banyak kapal untuk menjaga rantai pasokan. Rata-rata jarak perjalanan sebuah kontainer pada tahun 2024 adalah 9 persen lebih jauh dibandingkan pada tahun 2022,” katanya kepada DW.

"Karena kapal menghabiskan lebih banyak waktu di laut, diperlukan lebih banyak ruang pelayaran," kata Hoffmann seraya menambahkan, yang berarti perusahaan pelayaran harus menyewa atau membeli lebih banyak kapal dan mempekerjakan lebih banyak personel. "Dan karena kapal-kapal ini belum ada, harga angkutan akan naik."

Red Sea ship attacked by Houthis sinks

Hoffmann juga menunjukkan dampak lain dari rute pelayaran yang lebih panjang, yakni beban emisi gas rumah kaca. "Kapal-kapal telah meningkatkan kecepatannya sehingga menyebabkan peningkatan emisi, misalnya sebesar 70 persen pada rute Singapura-Rotterdam."

Gejolak di Amerika Tengah

"Selain masalah keamanan, perdagangan global saat ini juga terhambat oleh rendahnya muka air di Terusan Panama yang membatasi kapal-kapal besar," tambah Hoffmann.

Akibatnya, pengiriman barang ke Asia Timur melintasi benua Amerika belakangan mulai menggunakan "jembatan darat," yakni dengan kereta api atau truk kontainer dari pesisir barat menuju pesisir timur.

Karena pengiriman berskala besar seperti gandum atau gas alam cair tidak layak secara ekonomi, perusahaan kapal kini memilih "rute alternatif di sekitar Cape Horn," di ujung selatan benua Amerika.

Setidaknya, Simon MacAdam melihat ada titik terang pulihnya Terusan Panama. Ketinggian air  telah "sedikit pulih" dalam beberapa bulan terakhir, katanya kepada DW. Selain itu, fenomena cuaca La Nina akan "segera meringankan situasi kekeringan," dengan curah hujan yang tinggi, tambahnya.

Naiknya muka air serta merta akan menambah frekuensi keluar masuk kapal kontainer.

Laut Merah membara

Menurut Bloomberg, sekitar 70 persen perdagangan di Laut Merah saat ini masih menghindari Terusen Suez dan berlayar melintasi Afrika.

Simon MacAdam percaya bahwa krisis yang berkepanjangan dapat membebani perusahaan pelayaran dan semakin meningkatkan tarif angkutan secara signifikan.

"Pembuatan kapal membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan 90 persen kapal kontainer baru dibuat di Cina. Kapasitas yang lebih tinggi tidak dapat dicapai dalam semalam,” kata pakar Capital Economics tersebut kepada DW, seraya memperingatkan bahwa krisis di industri ini bisa menjadi "lebih buruk lagi."

(rzn/as)