Extremisten-Hochburg
Tahun 2010 lalu, sebuah rumah biasa di wilayah perumahaan di Luton tiba-tiba dikelilingi banyak wartawan. Rumah ini ditempati Taimour Abdulwahab al-Abdaly, yang pada suatu malam mengepak kopernya dan pergi ke Swedia. Lalu di pusat kota Stockholm yang di masa-masa Natal dihias dengan meriah, ia meledakkan dirinya.
Sebelum melakukan serangan, al-Abdaly merekam sebuah pesan. Ia mengatakan, tugasnya adalah membunuh warga sipil Swedia. Ini untuk membalas dendam atas keikutsertaan Swedia dalam misi militer di Afghanistan. Ia juga berharap, agar mati syahidnya diterima Allah.
Pandangan Ekkstrim - Pengecualian atau Pandangan Umum?
Ketika ia masih tinggal di Luton, al-Abdaly selalu sholat di pusat agama Islam di kota itu. Di sana ia terkenal mempunyai pandangan ekstrim. Pemimpin mesjid, Abdul Aqdir Baksh, pernah berbicara langsung dengan al-Abdaly mengenai hal ini. "Ia menyebarkan interpretasinya yang salam tentang Islam dan beberapa pandangan ekstrimnya," demikian dikatakan Baksh kepada Dutsche Welle. "Karena itu saya memutuskan berbicara dengannya dan mengatakan pendapat saya."
Tetapi pembicaraan empat mata ini tidak ada hasilnya. Jadi suatu pagi Baksh memutuskan untuk menegur al-Abdaly di depan semua anggota komunitas mesjid yang sedang berkumpul. "Setelah itu ia cukup gelisah dan meninggalkan mesid dengan amarah. Saya tidak pernah melihatnya lagi setelah itu," cerita Baksh.
Pelaku bom bunuh diri di Stockholm al-Abdaly adalah satu dari banyak ekstrimis Islam yang menyebabkan kota Luton mendapat citra buruk. Di awal tahun 2009, dalam sebuah perayaan kembalinya prajurit-prajurit Inggris yang pernah bertugas di Irak, sekelompok lelaki Muslim menyebut para prajurit ini "pembunuh". Kelompok ini membawa spanduk-spanduk yang menyerukan warga Muslim untuk bangkit menentang penindasan Inggris.
Terlalu Banyak Perhatian kepada Kaum Ekstrimis
Aksi ini menyebabkan berdirinya organisasi anti Islam ultra kanan English Defense League (EDL) di Luton. Tidak lama kemudian, Luton disebut sebagai markas para ekstrimis. Tetapi banyak penduduk setempat menganggap citra ini tidak adil.
Zafar Kahn, ketua dewan lintas agama "Council of Faith", yang ingin membangun solidaritas masyarakat di Luton, mengatakan, jumlah warga ekstrimis di dua belah pihak tidak lah banyak. "Semua agak dilebih-lebihkan di beberapa tahun terakhir," kata Kahn. "Dan kadang media massa dan politik juga terlalu banyak memberi perhatian kepada kelompok minoritas ini, karena mereka suaranya keras."
Namun Kahn juga tidak menyangkal, bahwa di Luton juga ada masalah. Tetapi menurutnya, tidak semua masalah datangnya dari Luton sendiri. "Memang sayangnya ada beberapa kasus, yang mana mana Luton memainkan peranan," katanya. Kahn menyebut satu contoh, yaitu para pelaku serangan teror di London tahun 2005, yang dalam perjalanannya menuju tempat pemboman sempat melewati Luton.
Tidak Terbukti Ada Hubungan
Di Luton tinggal sekitar 30.000 warga Muslim. Banyak diantaranya tinggal di wilayah Bury Park. Kebanyakan mengatakan, bahwa persepsinya terkait kota Luton beda dengan apa yang digambarkan di media massa. "Luton mempunyai komunitas Muslim besar yang normal. Menurut saya, di kota ini orang bisa hidup dengan nyaman," kata Faisal, seorang warga Muslim muda. "Gambaran Islam yang ada di televisi tidak didasari dengan pengetahuan yang cukup, serta diwarnai dengan kesombongan," lanjutnya.
Menurut warga lainnya, memang normal di kota-kota besar kalau ada orang-orang yang pandangan politis atau religiusnya ekstrim.
Menurut laporan dinas rahasia Inggris dari tahun 2008, yang diumumkan ke khalayak umum, Luton, Birmingham dan London disebut sebagai kota-kota, di mana ekstrimis-ekstrimis Islam mempunyai jaringan yang luas. Kedekatan Luton ke London merupakan alasan, kenapa kota ini katanya disenangi oleh para ekstrimis. Tetapi sampai sekarang tidak ada satu pun percobaan serangan yang terbukti ada hubungannya dengan kota Luton.
Keanekaragaman Budaya di Luton
Citra Luton sebagai markas teroris membuat politisi setempat khawatir. Dewan kota mencoba untuk menggambarkan keanekaragaman budaya di Luton sebagai sesuatu yang positif. Tahun 2010 lalu, mereka memulai sebuah proyek untuk lebih medekatkan penduduk dari berbagai kelompok budaya.
"Kami butuh perasaan bangga dan kepercayaan diri yang baru bagi kota ini", kata Sarah Allen, utusan urusan persamaan sosial di dewan kota Luton. "Ini bukan berarti, bahwa di sini tidak ada warga dengan pandangan yang ekstrim dan benar-benar ingin menerapkannya, tetapi mereka tidak mewakili penduduk Luton."
Inggris tetap menjadi sebuah target serangan teror. Dalam waktu dekat, agen-agen dinas rahasia Inggris akan mengamati dengan jeli setiap kota dengan jumlah penduduk Muslim yang melebihi rata-rata. Memang penduduk Luton mungkin akan terbiasa dengan ini. Tetapi mereka tetap ingin memperbaiki citra kota mereka.
Lars Bevanger/Anggatira Gollmer
Editor: Yuniman Farid