Harga Sebuah Kewarganegaraan Indonesia
11 April 2019"Aku ini bentuk muka Cina, tapi jiwa Indonesia, pikiran Jawa,” ujar Daniel Kho, seniman kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 63 tahun silam. Bahkan di Jerman, pria yang hampir selalu menguncir rambutnya yang mulai memutih ini- begitu menikmati hidup dalam nilai ke-Jawa-annya. "Cara berpikir saya selalu tenang, tidak usah kesusu (tergesa-gesa). Semua ada jalannya dan ada yang mengatur,” katanya.
Meski kadang malang-melintang di beberapa negara untuk keperluan pameran karya-karya seninya, jika dihitung-hitung sudah hampir empat dekade ia bermukim di Jerman.
Jerman sejak lama telah menjadi negara perantauan Warga Negara Indonesia (WNI) di Eropa. Sebagaimana Daniel, dari hampir 24 ribu WNI yang tinggal di Jerman saat ini, banyak di antaranya telah berdomisili selama puluhan tahun.
Jiwa ke-Indonesiaan Daniel tertercermin dalam keseharian, kepribadian dan karya-karya seninya.
Namun ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Daniel kecewa karena tidak bisa mengikuti pesta demokrasi di tanah kelahirannya. "Kenapa saya tidak bisa memilih, karena saya keturunan Cina, padahal ibu saya adalah generasi kelima lahir di Indonesia. Sedangkan ayah saya generasi keempat. Waktu itu banyak orang dihasut pulang ke Cina. Harus punya satu warga negara. Saya jadi stateless (tanpa kewarganegaraan) dan harus keluar dari Indonesia,” ujarnya.
Pada usia delapan tahun, ketika sang ayah meninggal dunia, ibunya harus memilih kewarganegaraannya, apakah Indonesia atau Cina. Daniel yang masih anak-anak tak pernah tahu apa pilihan sang bunda. Yang jelas, sejak saat itu sudah ada aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan dwi kewarganegaraan. Daniel kehilangan status kewarganegaraan Indonesia dan harus meninggalkan tanah air yang ia cintai. Di usia 18 tahun ia terpaksa pergi ke Australia. Untuk mendapatkan status kewarganegaraan di negeri kangguru itu pun tak mudah. Setahun lebih ia memanti, akhirnya ia mencoba peruntungannya ke Jerman.
Di sinilah akhirnya seniman yang kini bermukim di Kota Köln, negara bagian Nord Rhein Wesfallen itu memperoleh status kewarganegaraan lepas. Ironisnya dengan status tersebut ia tidak bisa masuk ke Indonesia. Setelah pemerintah Jerman beberapa kali menawarinya kewarganegaraan Jerman, ia menerimanya. Akhirnya ia pun bisa kembali mengunjungi tanah kelahiran yang dirindukannya. "Saya sangat ingin pulang ke Indonesia,” kenang Daniel saat memutuskan menjadi warga negara Jerman.
Kekecewaan Daniel berbuntut pada sinisme terhadap rasa nasionalisme di dunia. Ia menganggap kewarganegaraan hanya sekadar identitas. "Kewarganegaraan antara penting dan tidak penting. Sebetulnya kalau kita hidup sebagai manusia, tidak perlu status kewarganegaraan. Namun, berhubung kita hidup di dunia yang terpecah-belah, kita butuh status tersebut,” katanya.
Lain kisah Daniel, lain pula kisah perempuan asal Aceh ini. Sejak tahun 1971, Aminah Jahja telah tinggal di Jerman saat diajak suaminya untuk menetap di kota Hamburg.
"Pertama kali saya tinggal di Hamburg saya sedih, kesepian karena jauh dari orang tua,” kenang perempuan kelahiran 1947 tersebut. Tetapi waktu membuatnya kerasan juga di perantauan setelah ia mulai berkawan dengan sesama WNI dan bergabung bersama organisasi Dharma Wanita KJRI Hamburg.
Jika Daniel dengan situasinya terpaksa berganti kewarganegaraan, Aminah masih punya peluang untuk tetap memegang paspor hijaunya.
Lamanya ia dan keluarga tinggal di Jerman sempat mengundang Kantor Keimigrasian Jerman untuk menawari mereka untuk berganti kewarganegaraan. "Saya dan suami sering ditanya oleh Kantor Imigrasi di sini untuk pindah menjadi warga negara Jerman. Mereka bilang pemegang paspor Jerman lebih mudah untuk bepergian ke negara lain,” katanya.
Berkali-kali juga ia dan suami menolak untuk berpindah kewarganegaraan karena "kami masih cinta Indonesia,” ujarnya.
Apapun warna paspornya, mereka tetap cinta tanah air
Aminah dan Daniel, masing-masing punya kisahnya sendiri-sendiri. Mereka memiliki pengalaman hidup yang berbeda. Namun satu hal yang sama dari keduanya, mereka mencintai Indonesia.
Yang dicintai Daniel dari Indonesia terutama adalah kemajemukannya. Ia percaya hanya nasionalisme saja yang dapat mempertahankan keutuhan Indonesia. "Kesatuan di Indonesia membutuhkan nasionalisme, kalau tidak akan tercerai-berai,” ujarnya. Hal ini ia ungkapkan karena saat ini di Indonesia begitu banyak intoleransi terhadap perbedaan suku, agama, ras dan kelompok. "Kenapa keramahan yang waktu dulu saya alami itu hilang, keramahan orang-orangnya, keramahan penduduknya,” kata Daniel Kho lebih lanjut.
Sebagai seniman yang mengemban nilai nusantara ia yakin pada akar kebudayaan Indonesia yang kuat akan membawa nusantara ke arah yang lebih baik. "Setiap suku di Indonesia punya tradisi masing-masing, akar budaya yang dalam sekali. Kita sebagai warga negara wajib menjaga akar ini. Satu pohon tanpa akar akan mati, satu pohon dengan akar pendek akan tumbang,” ujarnya.
Untuk itu ia juga berpesan agar pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada Pemilu Presiden April mendatang diikuti oleh seluruh warga Indonesia dengan berbudaya. "Saya harap jangan ada yang golput (golongan putih). Saya juga berharap memilih lah secara dewasa dengan kesadaran tidak hanya dengan emosi saja, jadi sadar betul memilih,” katanya.
Wawancara dilakukan oleh Yusuf Gandang Pamuncak dan Rizki Nugraha. (ts/ap)