Mampukah Negara PBB Sepakati Pembatasan Produksi Plastik?
31 Mei 2023Lebih dari 145 negara bertemu dalam Forum Ekonomi Sirkular Dunia yang digelar Program Lingkungan PBB (UNEP) di Helsinki, Finnlandia, sejak Selasa (30/5) kemarin. Belum apa-apa, Menteri Iklim dan lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide, harus buru-buru meluruskan isu pembatasan produksi "plastik baru", dan sebaliknya menegaskan pihaknya hanya menyerukan pengurangan produksi.
Norwegia dan tuan rumah Finnlandia termasuk ke dalam Koalisi Ambisi Tinggi yang mencakup Uni Eropa, Rwanda, Peru, Australia dan sejumlah negara Afrika dan Amerika Selatan. Mereka ingin mengupayakan perjanjian untuk mengakhiri polusi plastik pada 2040. Hingga Jumat (2/6), koalisi antiplastik itu ingin meyakinkan negara-negara PBB menyepakati pengurangan produksi.
Sebuah studi yang dirilis UNEP jelang konferensi menyebut betapa dunia bisa mengurangi 80 persen polusi plastik jika berhasil membangun ekonomi sirkuler. Namun begitu, riset tersebut tidak membahas produksi plastik baru. Kritik tersebut kian santer ketika agenda pertemuan dianggap terlalu fokus pada daur ulang, ketimbang pengurangan produksi. Padahal, daur ulang plastik tergolong sangat sulit
"Jika kita terus fokus pada daur ulang dan mempromosikan solusi-solusi palsu seperti daur ulang kimia atau pengolahan sampah menjadi energi, kita harus siap menghadapi dampak terburuk krisis iklim," kata Graham Forbes dari Greenpeace AS.
Ekspansi industri plastik
Konferensi UNEP digelar ketika industri minyak dunia ramai-ramai berinvestasi membangun pabrik plastik baru untuk merespons melemahnya permintaan menyusul transformasi menuju energi hijau. Plastik sepenuhnya terbuat dari minxak bumi. Dari sebanyak 460 juta ton plastik yang diproduksi setiap tahunnya, hanyxa 10 persen yang bisa didaur ulang. Sisanya menyampah atau dibakar.
"Ketika kita membahas pengurangan polusi plastik, mereka malah membangun pabrik plastik baru. Dan kita tidak punya kapasitas untuk memantau dampak atau seberapa luas polusinya," kata Melanie Bergmann, ahli biologi kelautan di Institut Alfred Wegener, Jerman. Sebuah riset baru-baru ini menemukan sebanyak 20 perusahaan petrokimia bertanggungjawab atas lebih dari separuh jumlah plastik sekali pakai di dunia.
Upaya diplomasi mengurangi plastik selama ini terbentur oleh sikap negara-negara produsen petrokimia terbesar di dunia, terutama Arab Saudi. Pun Cina, Amerika Serikat dan India ditengarai berambisi rendah dalam pengurangan plastik. AS bahkan dituding membeo narasi grup-grup lobi, seperti Dewan Kimia Amerika, yang menolak pembatasan produksi dan sebaliknya menyerahkan kewenangan ke masing-masing negara.
Bagi Norwegia, komitmen individual merugikan negara-negara miskin di Amerika Selatan, Asia dan Afrika yang tidak memproduksi plastik atau produk kimia. Sebabnya Koalisi Ambisi Tinggi menuntut perjanjian global yang mengikat secara hukum.
Persaingan lobi
"Kami tentunya tidak ingin menghilangkan plastik, karena di masa depan plastik masih akan digunakan dalam berbagai bentuk," kata Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Espen Barth Eide, kepada DW. Menurutnya, perundingan yang difasilitasi UNEP harus fokus pada "jenis plastik yang paling banyak berkontribusi kepada polusi, entah karena kandungan beracun, sifatnya yang cuma sekali pakai atau karena sulit dan mustahil untuk didaur ulang," ujarnya.
Asosiasi Industri Plastik (PIA) sebaliknya beranggapan bahwa plastik masih "sangat dibutuhkan" dan bisa dimanfaatkan untuk menopang ekonomi sirkular, tulis organisasi lobi tersebut kepada DW. PIA mengatakan pihaknya mendukung upaya memperkuat transparansi perihal kandungan plastik, tapi menolak pembatasan produksi.
Belum lama ini, kantor berita Reuters melaporkan bagaimana organisasi lobi AS dan Belgia bekerja sama di balik layar untuk memperlemah perundingan di Helsinki. Kedua organisasi mendirikan aliansi "Aksi Bisnis untuk Polusi Plastik" yang giat mempromosikan keuntungan plastik.
Sebuah kelompok yang menaungi 174 LSM lingkungan dan ilmuwan, termasuk Jane Goodall, Greenpeace dan Pusat Hukum Lingkungan Internasional, mengirimkan surat terbuka yang menuntut UNEP membatasi pengaruh lobi industri minyak dalam proses negosiasi. Mereka beranggapan, pelaku industri berkepentingan membatalkan perjanjian tersebut.
Dalam suratnya, koalisi mengutip Komisioner Tinggi PBB untuk HAM yang menegaskan adanya "konflik fundamental dan tak terjembatani antara kepentingan industri plastik melawan hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat yang terdampak krisis plastik." rzn/hp