Berbahasa Indonesia dan Nasionalisme Yang Bertanggung Jawab
26 Oktober 2019Ada masa-masa ketika Bahasa Indonesia masih merupakan benda asing bagi pemuda-pemuda dari kelompok pergerakan nasionalisme Indonesia, khususnya sebelum diadakannya Kongres Pemuda I tahun 1926 di Batavia. Apa yang dinamakan sebagai Bahasa Indonesia saat itu hanya dituturkan oleh sekitar tujuh persen orang-orang Indonesia, utamanya di Riau, Sumatera, yang masih bercorak Melayu dengan dialeknya yang khas. Bahasa Melayu belum menjadi bahasa pergaulan luas dan secara tradisi cenderung digunakan dalam komunikasi niaga atau interaksi terbatas di kalangan elite-elite Nusantara.
Pun di kongres yang sama, ketika Mohammad Yamin menawarkan usulannya mengenai prospek pengadopsian Bahasa Melayu sebagai bahasanya orang-orang Indonesia, hal itu tidak serta-merta diamini oleh kalangan pergerakan. Memang, kongres telah menyiratkan perlunya sebuah instrumen identitas pemersatu untuk menghilangkan sentimen-sentimen kedaerahan, namun praktiknya toh cenderung setengah-setengah bagi banyak pemuda-pemuda nasionalis tersebut.
Misalnya saja, dalam sebuah rapat Pemuda Indonesia di Bandung tahun 1927, Sukarno pernah ditegur keras oleh Suwarni, ketua perhimpunan Poetri Indonesia, karena ia berorasi menggunakan Bahasa Belanda, bahasa yang awam dipakai di kalangan pribumi intelektual saat itu. Sjahrir, pemimpin rapat, ikut menegur dan Sukarno sempat tersinggung karenanya. Namun teguran itu manjur. Setelahnya, Sukarno kian sering menggunakan Bahasa Indonesia. Baik kader-kadernya di Partai Nasional Indonesia (PNI) maupun rakyat kecil yang kerap mendengar orasi-orasinya pun menjadi akrab dengan Bahasa Indonesia.
Lantas, tak lama Bahasa Indonesia perlahan-lahan bersinonim dengan identitas pergerakan nasionalisme Indonesia. Kongres Pemuda II pada 1928 seakan menegaskan hal itu dalam ikrar Sumpah Pemuda. Meski pemerintah kolonial Belanda berhasil meringkus Sukarno dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya pada medio 1930-an, nyatanya Bahasa Indonesia tetap bertahan dan justru meluas penggunaannya. Dapat dikatakan, Bahasa Indonesia menjadi entitas kultural antagonis bagi kolonialisme Belanda dalam konteks sosial-politik.
Adil Dalam Berbahasa
Dari sejarah singkat tersebut, terlihat adanya transformasi Bahasa Indonesia dari yang tadinya sekadar bahasa sebuah kelompok kecil menjadi bahasa sebuah kelompok besar dengan coraknya yang khas: Bahasa Indonesia adalah bahasanya para pendamba kemerdekaan. Ia ingin membedakan diri dari Bahasa Belanda yang eksklusif di kalangan pembesar dan terpelajar semata, atau bahasa-bahasa daerah yang cenderung memiliki banyak keterbatasan sebagai sebuah instrumen komunikasi nasional.
Tak hanya itu, Bahasa Indonesia sejatinya memperlihatkan ciri dari apa yang dimaksud dengan merdeka ala Indonesia itu sendiri; Indonesia merdeka bukan untuk kemudian menindas bangsa lain, dan Bahasa Indonesia tidaklah lantas menjadi bahasa yang menindas bahasa-bahasa lain.
Hal itu dibuktikan dengan fakta bahwa, setidaknya sampai tahun 1960-an, Bahasa Indonesia adalah bahasa sehari-hari hanya bagi segmen kecil populasi Indonesia merdeka, terutama di kota-kota urban besar seperti Medan dan Jakarta. Orang-orang Indonesia lebih suka berbicara bahasa setempat, semisal Makassar, Minangkabau, Sunda, atau Jawa di daerahnya masing-masing. Menariknya, agaknya keadaannya tidak banyak berubah pada masa kontemporer. Bahasa daerah dan ragam ekspresinya masih begitu populer di banyak daerah sebagai bahasa sehari-hari dibandingkan Bahasa Indonesia.
Lantas, jika dahulu kata merdeka berkonotasi dengan sikap perlawanan, maka kini ia lebih tepat untuk diartikan sebagai wadah yang perlu diisi. Karena itulah, pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasanya kaum merdeka tidak lagi harus melulu bercorak konfrontatif, namun harus inovatif dan progresif. Bahasa Indonesia pun terus berkembang dan meminjam banyak terminologi-terminologi teknis dan abstrak-abstrak ideologis dunia modern, menjadikannya sebuah bahasa sintetis, yang artinya, seiring berkembangnya zaman, maka akan semakin kaya pula lah perbendaharaan kata dalamBahasa Indonesia.
Hal inilah yang lantas menjadi perdebatan. Pertanyaannya, seperti apa posisi Bahasa Indonesia sebagai instrumen nasionalisme di tengah-tengah maraknya komunikasi internasional dan meroketnya penggunaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, dalam tiap sektor kehidupan orang-orang Indonesia? Terlepas dari perlu atau tidaknya untuk mengkhawatirkan fenomena tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat dicermati.
Pertama, pemakaian Bahasa Indonesia yang baik memerlukan pemahaman akan konteks. Pemakaian Bahasa Inggris memang telah begitu cepat memasuki ragam bahasa pergaulan di Indonesia, namun seharusnya hal itu dapat dimaklumi selama masih dalam konteks percakapan informal, utamanya dalam situasi yang membuat para penuturnya lebih mudah akrab dan memahami satu sama lain. Yang sebaiknya dihindari adalah ketika Bahasa Indonesia justru ditanggalkan dalam konteks percakapan formal, terlebih ketika penutur dan pendengarnya sama-sama orang Indonesia.
Dan yang kedua, kebebasan untuk berbahasa Indonesia bukan berarti menihilkan nilai tanggung jawabnya. Sebagaimana terlihat di media sosial, panggung berbahasa Indonesia yang paling populer bagi publik luas di era digital, tantangan terberatnya kini bukan lagi mengenai perihal baku atau tidak baku, namun justru masalah kebenaran dan tendensi berbahasanya. Hoaks begitu ramai tersebar di dunia maya, juga fitnah dan olok-olokan yang membuat para penuturnya lebih sering bertengkar dengan sesamanya alih-alih menjalin pengertian. Ironis, karena Bahasa Indonesia sebenarnya diciptakan sebagai perangkat persatuan.
Misalnya saja, ketika banyak pendukung kubu oposisi yang mengolok-ngolok Jokowi hanya karena dirinya tidak lancar berbahasa Inggris dan memiliki aksen lokal yang kental saat melafalkannya. Ini sebenarnya bukan hal yang cocok dibicarakan jika kita ingin menilai sejauh mana keahlian memimpin seseorang dalam tataran kenegaraan, namun orang-orang tersebut tahu bahwa hal itu adalah sebuah kelemahan untuk dieksploitasi. Beruntung, isu yang tidak substansial itu pada akhirnya tidak melunturkan kharisma politik Jokowi secara keseluruhan.
Berbahasa Demi Kebajikan
Apa yang terjadi pada Jokowi menjadi inspirasi bagi banyak orang: jika seorang presiden saja masih terbata-bata kala berbahasa Inggris, mengapa kita harus malu kala berada di situasi serupa? Tentu, kemampuan berbahasa Inggris penting di zaman sekarang, tetapi salah jika kita mengadili ketidakfasihan terhadapnya sebagai aib. Yang salah adalah ketika kita dengan gagahnya berbahasa Indonesia namun yang disampaikan adalah kata-kata kebohongan, hujatan kebencian, dan memantik permusuhan.
Rita Mae Brown, penulis asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa bahasa adalah peta jalan kebudayaan yang memberitahu asal-usul dan tujuan hidup seseorang. Karena itu, berbahasa Indonesia berarti sarana mengapresiasi sejarah, esensi, dan nilai-nilai luhur keindonesiaan yang paling mendasar, melekat, dan massal bagi banyak orang Indonesia; karena dari bahasa inilah identitas seorang Indonesia paling mudah untuk diidentifikasikan. Kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik seharusnya bukan hanya menjadi etika berkomunikasi namun juga penghormatan terhadap angan-angan persatuan, keharmonian, dan kemadanian para penciptanya.
Mungkin solusi yang mendesak untuk dilakukan dalam upaya merawat hajat Bahasa Indonesia sebagai instrumen nasionalisme Indonesia adalah mengingatkan kembali para penuturnya di masa kini dengan nilai-nilai sakral dan hasrat kebebasan yang terkandung di dalamnya tersebut. Harapannya, kebebasan berbahasa Indonesia tidak lagi ditanggapi sekadar sebagai hak untuk menyuarakan kata-kata semata, namun juga sebuah tugas mulia menyebarkan kebenaran dan kebajikan.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.