Martin Aleida: Sastrawan di Jalur Kiri
29 September 2015"Apakah cita-cita kita menjadi sia-sia, cuma sejarah yang menentukan..."
Selama setahun Martin Aleida mendekam di penjara yang dibuat ABRI buat pendukung PKI. Di dalamnya adalah wartawan, fungsionaris partai, intelektual dan sastrawan Lekra.
Setelah dibebaskan, Aleida masuk dalam penjara hidup "yang lebih besar," katanya soal kehidupan tanpa teman di Jakarta. Kini ia telah menelurkan lusinan karya yang kebanyakan bersandar pada pengalamannya di tahun 1965.
Inilah kutipan wawancara Martin Aleida dengan Deutsche Welle
Bisa ceritakan pengalaman Anda sebagai jurnalis di tahun 1965. Apa yang anda alami saat itu?
Pertikaian saat itu bersifat horizontal antara orientasi politik kanan dan kiri. Tetapi di dalam masing-masing kubu juga ada konflik internal. Dan itu muncul ke permukaan dalam bentuk G30SPKI. Kalau saudara lihat, bagaimana di sana peran D.N. Aidit dan Syam Kamaruzaman (pada G30SPKI) misalnya, sementara orang-orang lain seperti Ir. Sakirman dan Nyoto, kalau anda baca tulisannya John Rosa (Sejarahwan Kanada –red), mereka tidak diberi tahu (perihal penculikan dewan Jendral) padahal mereka anggota Politbiro. Jadi ada sesuatu yang tidak benar di dalam partai itu sendiri.
Sedangkan gerakan itu sendiri semua diatur Angkatan Darat. Yang bergerak menculik atau yang katakanlah membunuh orang seperti misalnya Sersan Kepala Bungkus yang sudah dihukum 20 tahun tapi dia masih hidup. Mereka itu adalah tentara dan tidak dicap sebagai komunis. Tapi karena saya kira tujuan sekelompok tentara itu adalah menggulingkan Sukarno, maka yang paling penting buat mereka adalah bagaimana menghancurkan kekuatan Sukarno di basisnya.
Selain pembantaian sistematis yang bisa dibilang disetir oleh Angkatan Darat, ada juga elemen kebencian terhadap PKI yang mengakar di masyarat dan ikut membakar aksi pogrom 65. Dari mana kebencian itu berasal?
Karena dipicu para Kyai yang memiliki area sawah dan tanah yang luas dan disewakan kepada perkebunan, nah ini oleh aksi sepihak yang dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia atau katakanlah PKI, tanah itu dipatok dan dibagikan kepada petani yang tidak punya tanah, sesuai dengan amanat Undang-undang pokok Agraria. Mereka bangga sekali menerima tanah itu. Dan ketika terjadi perubahan politik di Jakarta, maka mereka yang menerima tanah itu otomatis terbunuh oleh para pembela kyai pemilik tanah.
Apakah kebencian kelompok Islam pada PKI semata karena reformasi Agraria atau ada penyebab lain?
Saya kira aksi sepihak itu menjadi pencetus. Sebelumnya memang orang-orang NU banyak tidak sejalan dalam cita-citanya dengan PKI dan Sukarno.
Anda pernah terdaftar sebagai anggota PKI?
Saya itu wartawan Harian Rakyat yang merupakan organ resmi dari PKI. Sebab pada zaman itu semua koran harus berafiliasi pada partai politik, sesuai dengan amanat demokrasi terpimpin. Jadi Harian Rakyat berafiliasi pada PKI, Duta Masyarakat kepada Nahdhatul Ulama, Suluh Indonesia kepada Partai Nasional Indonesia, kemudian Bintang Timur kepada Partindo (Partai Indonesia).
Sebenarnya apa daya tarik terbesar PKI sehingga anda tertarik berkecimpung
Teman saya Goenawan Mohamad pernah bilang, kalau punya cita-cita jangan sampai sia-sia. Nah cita-cita kita, apakah dia menjadi sia-sia atau tidak, itu sejarah yang menentukan. Tetapi akan malangnya manusia jika dia tidak punya cita-cita.
Jadi kalau buat saya, ada daya pikat besar kepada Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat -red), karena dia memberikan pintu yang besar kepada saya sebagai penulis. Anda bayangkan, saya yang tinggal di sebuah kota kabupaten namanya Tanjungbalai, bisa menulis buat Harian Rakyat yang terbit di Jakarta. Pada waktu itu loh, belum ada Email. Dan Harian Rakyat, begitu bagusnya mereka membangun organisasi saat itu sehingga bisa mencapai kota kecil tempat saya tinggal cuma dalam waktu satu hari. Kadang-kadang sore pun (koran) sudah sampai.
Jadi buat saya yang seorang anak muda dan penulis yang ingin belajar serta diberikan kesempatan, dan saya kira orientasi sosial politiknya bukanlah suatu dosa, kenapa saya tidak tertarik kepada mereka?
Lantas bagaimana dengan kelompok nasionalis dan agama?
Mereka tidak memikat. Tidak memikat. Lekra punya metode penciptaan karya dengan cara turun ke bawah. Itu yang luar biasa dan tidak dipunyai organisasi lain. Jadi kita diajak bekerja, tidur dan makan di kalangan petani dan buruh. Dengan begitu kita bisa menghayati kehidupan mereka. Tapi pada lembaga kebudayaan lain metode seperti ini tidak ada dan kalaupun ada sifatnya perseorangan dan tidak terorganisir dengan baik.