Bagaimana Masa Depan Tanpa Energi Fosil bagi Kawasan Teluk?
28 November 2023Peralihan menuju energi terbarukan terdengar seperti lonceng kematian bagi perekonomian di kawasan Teluk, di mana bahan bakar fosil merupakan sumber pendapatan utama. Namun negara-negara produsen minyak kini mulai berpaling dari minyak dan gas Bumi, setidaknya di dalam negeri.
Saat ini, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar sedang membangun infrastruktur pembangkit listrik terbarukan terbesar di dunia. Kebijakan itu diambil untuk mengurangi kebergantungan terhadap energi hidrokarbon.
Jelang Piala Dunia 2022 lalu, Qatar membangun pembangkit listrik tenaga surya untuk memenuhi 10% kebutuhan energi nasional. Sementara Arab Saudi sedang membangun kota gurun yang semata-mata menggunakan energi terbarukan. Neom, demikian nama kota tersebut, akan memiliki pabrik hidrogen ramah lingkungan berbahan bakar surya.
Adapun UEA, yang menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB tahun ini, sedang mengerjakan apa yang disebut sebagai taman surya terbesar di dunia.
Proyek-proyek ini akan membantu Arab Saudi memenuhi target untuk memproduksi 50 persen listriknya dengan energi terbarukan pada tahun 2030 dan UEA dengan kapasitas sebesar 44 persen pada tahun 2050.
Namun seperti halnya dengan Bahrain, Oman, Kuwait dan Qatar, UEA dan Arab Saudi termasuk ke dalam daftar 15 negara penghasil emisi terbesar di dunia. Peringkat teratas adalah Qatar, yang menghasilkan 35,59 ton CO2 per kapita, dibandingkan dengan 8,09 ton per orang di negara industri seperti Jerman.
Mohammad Al-Saidi, peneliti di Pusat Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Qatar, mengatakan kepada DW bahwa kawasan Teluk sedang bergerak cepat untuk mencapai sasaran iklimnya.
Menambang minyak untuk ekspor
Transformasi menuju energi terbarukan bukan semata-mata digerakkan kepedulian lingkungan. Al-Saidi mengatakan, salah satu motivasi utama bagi negara-negara Teluk adalah munculnya peluang untuk menambah produksi bahan bakar fosil untuk kebutuhan ekspor, agar bisa memaksimalkan keuntungan.
Pada tahun 2020, Arab Saudi merupakan konsumen minyak terbesar keempat dan konsumen gas terbesar keenam di dunia. Angka konsumsi yang tinggi membuat Arab Saudi hanya bisa menjual sedikit minyak ke luar negeri.
Meski peringatan keras PBB untuk segera mengurangi emisi karbondioksida demi mencegah bencana iklim, angka konsumsi energi fosil di dunia diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2040.
Motivasi lain bagi peralihan domestik menuju ekonomi terbarukan adalah untuk menarik investasi internasional dan merawat reputasi di panggung dunia, jelas Al-Saidi. "Kebijakan ini bernilai penting untuk citra, dan citra yang baik berarti uang," kata dia.
Krisis iklim melanda
Meskipun ekspor minyak menjamin pemasukan tambahan, dampak pemanasan global juga mulai dirasakan di negara-negara Teluk.
Kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celsius diyakini akan meningkatkan suhu rata-rata di kawasan Teluk sebanyak 4 derajat Celcius. Saat ini saja, negara-negara Teluk sudah rajin dilanda gelombang panas dengan suhu lebih dari 50 derajat Celcius.
Rata-rata suhu maksimum musim panas yang tinggi di kawasan Teluk kemungkinan akan melebihi kemampuan manusia untuk bertahan hidup. Selain itu, pemanasan global juga diyakini akan meningkatkan intensitas badai debu, ketika wilayah dataran rendah akan terkena dampak kenaikan permukaan air laut.
"Mereka berada di dalam sebuah paradoks, karena mereka bergantung pada pendapatan dari minyak, namun mereka juga menghadapi risiko besar perubahan iklim di negara mereka sendiri,” kata Jon Truby, guru besar ilmu hukum lingkungan di Universitas Newcastle, Inggris.
Diversifikasi demi ekonomi masa depan
Upaya itu digiatkan setelah Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa anjloknya permintaan minyak akan menggerogoti pendapatan negara di kawasan Teluk hanya dalam waktu 15 tahun.
Buntutnya, Arab Saudi kini bertaruh pada produksi hidrogen ramah lingkungan, serta membangun industri manufaktur dengan energi terbarukan. Riyadh juga mulai menjual produk hidrokarbonnya untuk produksi plastik dan petrokimia.
Di Teluk, jika setiap meter persegi lahan dilengkapi dengan panel surya, maka dapat dihasilkan jumlah energi yang sama dengan 160 liter minyak setiap tahunnya.
Negara-negara lain berupaya meniru model diversifikasi di Uni Emirat Arab, di mana bahan bakar fosil kini hanya menyumbang sekitar 5 persen pada kas negara. Menurut al-Saidi, sebagian besar pendapatan UEA kini berasal dari sektor pariwisata, pendatang kaya dan investasi.
Oman misalnya menjadi salah satu negara yang paling ambisius dalam mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil. Pada tahun 2017, pendapatan dari sektor migas masih menyumbang 39 persen pada PDB nasional. Qatar hingga 2040 nanti ingin mengurangi porsi pendapatan minyak menjadi kurang dari 8,4 persen. Kelak, Qatar ingin bergantung kepada pariwisata, logistik dan manufaktur.
Dalam hal ini, Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty International, mendesak negara produsen minyak seperti Arab Saudi untuk membiarkan cadangan minyaknya tetap berada di dalam tanah.
"Sudah saatnya Arab Saudi bertindak demi kepentingan kemanusiaan dan mendukung penghapusan industri bahan bakar fosil secara bertahap. Langkah ini penting untuk mencegah kerusakan iklim lebih lanjut,” kata dia.
(rzn/hp)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.