Sebuah meme muncul di linimasa Twitter saya, yakni sebuah gambar perkakas palu dan arit di dalam sebuah kotak merah berkaca yang tertempel di tembok. Di kotak tersebut tertera tulisan “pecahkan kaca jika ingin membuat pengalihan isu”. Rasanya pesan meme itu sudah cukup jelas. Di negeri ini, jika keadaan sedang tidak menguntungkan pihak berkuasa (atau berkepentingan), melemparkan isu komunis terbukti manjur untuk membelokkan wacana publik. Seperti yang terjadi belum lama ini, ketika momen seabad kelahiran Partai Komunis Indonesia (PKI) tiba-tiba muncul.
Ada tiga macam narasi dalam merespon isu ini. Narasi tengah dilemparkan oleh media yang secara wajar saja melihat sejarah PKI memiliki nilai berita dan layak diberitakan ke publik. Narasi kiri, yang semestinya secara vulgar mengelu-elukan kelahiran PKI malah sulit ditemukan kecuali terbatas sebagian orang yang memang bersimpati terhadap gerakan kiri dan sosialisme-marxisme. PKI adalah contoh terbaik dari momen langka kejayaan gagasan kiri di Indonesia, namun sepemahaman saya, mereka tidak memiliki simpati yang mendalam terhadap PKI itu sendiri sebagai organisasi politik.
Justru yang heboh adalah pihak-pihak yang menyuarakan narasi kanan: PKI disebut-sebut telah bangkit dengan gaya baru. Bukti-bukti tidak meyakinkan pun dilemparkan, mulai dari video hoaks, suntingan Wikipedia untuk laman PKI, pembakaran bendera PKI (yang mereka buat sendiri) dan keributan-keributan sejenis yang menggelikan. Lucunya, andaikan orang-orang ini, yang masih terkait dengan kelompok Islam fundamentalis, Keluarga Cendana, juga barisan yang kalah dalam pemilihan umum lalu, tidak berkoar-koar niscaya orang-orang tidak akan peduli tentang PKI ketika ancaman Covid-19 masih belum bisa dijinakkan.
Itulah nasib PKI saat ini. Sebagai sebuah partai ia telah lama mati dan generasi sekarang sudah tidak cukup bergairah untuk membawa komunisme kembali ke ranah politik. Namun, sebagai memori bersama ia terus menerus ditampilkan di hadapan publik sebagai sosok mengerikan (boogeyman) bahkan ketika narator utama dan pihak yang paling diuntungkan dari rasa ngeri itu, yakni Orde Baru, sudah lama runtuh. Hasilnya adalah, PKI kini sekedar menjadi dalih justifikasi dan manipulasi kelompok-kelompok tertentu untuk mewujudkan keinginannya.
Ragam Wajah Si Merah
Garis hidup PKI, sebagaimana disampaikan oleh pemimpinnya, D.N. Aidit, pada pidatonya tahun 1955, adalah sebuah narasi tumbuh dan tumbang. Tanggal 23 Mei 1920 kerap disebut sebagai hari lahir PKI, namun angin pergerakan itu sudah lahir setidaknya sejak 1905 ketika serikat-serikat buruh kereta api di Hindia Belanda terbentuk dan kedatangan intelektual-intelektual Marxis dari Belanda yang mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada 1914. PKI menjadi tempat berkumpulnya orang-orang revolusioner yang mencitrakan dirinya sebagai pembela hak-hak kaum pekerja, buruh, dan tani.
Namun, militansi dan hasrat politik PKI tumbuh seiring dengan kian cerobohnya mereka dalam mengorganisasikan diri. Aidit mengatakan PKI saat itu malah menjadi “sekte” alih-alih partai rakyat. Alhasil, pemberontakan mereka pada 1926-1927 gagal total dan orang-orangnya harus bergeliat di bawah tanah sampai kepergian pasukan fasis Jepang dari Indonesia. Hal serupa juga terjadi pada 1948, ketika semangat revolusi Indonesia menerkam ambisi PKI di Madiun. Pada 1965 situasinya lebih rumit lagi, PKI yang sudah mendapatkan posisi politik cukup terhormat itu pun kembali tumbang.
Nasib 45 tahun pertama PKI berbeda dengan 55 tahun selanjutnya. Usai tumbang, Orde Baru menghidupkannya kembali sebagai sebuah momok untuk mengontrol rakyat. Pengkambinghitaman PKI menyeret arus gerakan kiri lainnya ke dalam arena represi pemerintah sehingga Indonesia kehilangan penyeimbang alami gagasan-gagasan liberalisme dan kapitalisme yang bergeliat begitu liarnya di bawah Suharto dan kroni-kroninya. Bahkan di era Reformasi gerakan-gerakan kiri masih menjadi antagonis. Kaum agamis kini, yang dahulu juga diperlakukan buruk di bawah militerisme, pun sekarang cenderung memusuhinya.
Kaum buruh dan tani Indonesia kini tidak lagi memiliki pelindung asa mereka yang militan dalam bentuk organisasi-organisasi politik gerakan kiri sehingga kesewenang-wenangan pihak-pihak maruk harta merajalela. Buruh-buruh pabrik diperlakukan semena-mena di mana-mana, para petani berhadapan tidak imbang dengan aparat yang melindungi kepentingan para pemilik modal yang ingin menyerobot lahan-lahan tani mereka. Pancasila, setidaknya esensi sosialisme dan kiri di dalamnya, secara praktiknya lebih sering impoten bahkan dilupakan di lapangan.
PKI sebagai hantu adalah sebuah sistem kontrol ampuh, yang menyedihkannya justru ikut-ikutan diadopsi oleh pemimpin-pemimpin era Reformasi. Keengganan mereka untuk membuka dialog rekonsiliasi terhadap korban-korban Peristiwa 1965, kelalaian mengontrol aparat yang sembarangan merazia buku-buku kiri, dan matinya nalar toleransi masyarakat. Kebencian membabi buta terhadap apapun yang terkait PKI sudah tidak beralasan dan hanya sekedar menjadi dalih untuk menyalurkan frustrasi, atau mengalihkan perhatian masyarakat dari serangkaian krisis hukum (UU Minerba dan Omnibus Law) dan krisis kesehatan (Covid-19) saat ini.
Ramainya isu PKI bukanlah pertanda dari kebangkitan Orde Baru, tapi sistem yang mungkin lebih disiplin dan terorganisir dalam hal memanipulasi rakyatnya. Mereka yang berkepentingan sekarang tidak perlu repot-repot mencuci otak masyarakat dengan propaganda-propaganda masif seperti yang dilakukan di masa Orde Baru untuk meyakinkan bahwa PKI adalah sesosok hantu menakutkan. Harga diri PKI sudah sedemikian jatuhnya, bahkan lebih parah dari kamerad-kameradnya di Rusia yang membubarkan diri, atau di Cina yang orang-orang komunisnya telah merangkul kapitalisme untuk melanggengkan kekuasaan.
PKI jelas sudah mati secara hukum, namun musuh-musuhnya mengabadikannya. Dari sebuah partai yang secara heroik melawan penjajahan, bergulat politik dan kalah telak dalam bingkai keindonesiaan, sampai kini jasadnya dipatenkan sebagai salah satu unsur validasi kekuasaan. 100 tahun PKI adalah sebuah episode yang muram, khususnya bagi orang-orang tidak bersalah yang selama ini terseret dan terdzalimi setiap kali isu-isu PKI hadir di tengah-tengah masyarakat.
Masa Depan Narasi PKI
Pertanyaan besarnya kini adalah, sampai kapan kita akan terus memproduksi dan mengonsumsi isu PKI sebagai tolak ukur kegagahan rasa keindonesiaan kita? Mengapa PKI harus begitu diistimewakan, sehingga kita luput melihat sisi-sisi lain ketika sosok-sosok yang dianggap sebagai pemberantasnya ternyata bisa berbuat tidak kalah kejamnya dengan sosok hantu yang selama ini mereka tuduh sebagai dalang segala keonaran di negeri ini? Mengapa kita masih diperlakukan sebagai anak kecil yang harus ditakut-takuti dengan cerita-cerita hantu seperti ini ketika nalar dan kedewasaan seharusnya bekerja?
Sulit memang untuk menantikan perubahan yang signifikan dalam waktu dekat ini. Saya tidak melihat jalan untuk menyibak tabir Peristiwa 1965 akan terbuka selama jejaring oligarki Indonesia yang saat ini tengah berkuasa masih eksis. Narasi PKI memang agaknya sudah tidak semempan dulu di kalangan anak muda terdidik baru, namun di kalangan akar rumput ia masih kuat dan meresahkan. Fakta-fakta baru yang mulai dipublikasikan beberapa tahun belakangan belum mampu menarik simpati mereka untuk setidaknya mempelajari lebih baik hantu yang mereka takutkan tersebut.
Menghentikan narasi PKI dan merehabilitasi pihak-pihak yang dirugikan karenanya merupakan langkah baik, setidaknya untuk mengeliminasi satu hal yang berdekade-dekade ini menjadi sumber pertengkaran dan menghambat pertumbuhan mentalitas Indonesia modern kita bersama. Terlebih, jika negara ini sudah bisa berfungsi dengan semestinya, narasi-narasi PKI tersebut seharusnya tidak laku lagi. Tapi mungkin masih butuh 100 tahun lagi sampai hal itu akhirnya terwujud.
@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.