Narasi Kiri dan Generasi Milenial
28 September 2019Rasanya memang sangat berlebihan, namun peristiwa seperti itu memang benar-benar terjadi. Tiga dekade lalu (1989), seorang aktivis kelompok studi yang juga penyair, Bambang Isti Nugroho (Isti), harus meringkuk di penjara Wirogunan (Yogyakarta), hanya karena membaca dan mendiskusikan novel tersebut.
Namun peristiwa persekusi dan hukuman terhadap Isti, sama sekali tidak menyurutkan nyali generasi muda saat itu, untuk terus melahap buku-buku karya Pramoedya (termasuk karya selainBumi Manusia), dengan berbagai cara -- diistilahkan sebagai "jalan tikus” -- demi tetap bisa membaca tulisan apik Pram.
Ada hikmah lain pasca-vonis Isti, ketika kasus Isti justru dijadikan momentum bagi konsolidasi gerakan mahasiswa di Jawa, dalam menentang rezim otoritarian Soeharto, yang mencapai puncaknya pada Mei 1998.
Walau bagamana pun ada garis tipis yang menghubungkan antara antusiasme publik hari ini atas film Bumi Manusia, dengan peran Isti di masa lalu. Dengan kata lain persekusi terhadap Isti tiga dekade lalu, tak lebih sebagai kekonyolan, sebagai kelanjutan argumentasi omong kosong aparatur negara, utamanya kejaksaan dan intelijen. Melalui perantaraan Isti, mutiara karya Pram justru semakin bersinar.
Riwayat persekusi belum lagi berakhir. Dalam atmosfer yang lebih demokratis, para mahasiswa dan kaum muda masih saja menjadi obyek persekusi aparat dan ormas vigilante. Sudah tidak terhitung berapa kali aparat (dengan dukungan ormas vigilante) melakukan sweeping pada buku yang dianggap "kiri”, atau membubarkan acara diskusi dengan alasan serupa. Kita acapkali tidak mau belajar dari sejarah, kekonyolan yang pernah terjadi pada tahun 1989, masih dilanjutkan juga.
Sutan Sjahrir dan Tan Malaka
Dalam pengamatan saya sejak tahun 1980-an, persekusi aparat terhadap wacana (bacaan dan diskusi) kiri, adalah berdasar narasi ciptaan aparatur negara sendiri, yang tidak pernah diperbarui, ketika zaman telah berganti. Pendekatan semi militeristik dalam menghentikan wacana kiri, selamanya akan sia-sia. Itu bisa terjadi, mengingat antara aparat dan generasi muda memiliki ruang majinasi yang berjauhan.
Imajinasi aparat dibangun berdasarkan naskah-naskah lama soal bahaya komunisme, kekhawatiran atas bangkitnya kembali PKI, dan seterusnya. Asumsi ini sebenarnya sudah lapuk, yang tidak akan kita temukan pijakannya di lapangan. Imajinasi aparat sangat terbatas, sementara imajinasi generasi muda bak cakrawala, teramat luas.
Salah satu bukti empiriknya adalah ilustrasi berikut ini. Aparat negara masih terpaku pada dua entitas: PKI dan Aidit. Celakanya dua entitas ini tidak pernah di-update. Kalau kita periksa di lapangan, entitas PKI dan Aidit sudah lama ditinggalkan, tanpa harus menunggu dorongan aparat. Bagi generasi milenial ada dua ikon kiri yang lebih memiliki daya tarik besar, yakni Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Bacaan generasi milenial soal Peristiwa G30S/PKI sudah lebih maju dari pemahaman aparatur negara. Generasi milenial paham sepenuhnya, bahwa Aidit memang terlibat dalam G30S, artinya Aidit memiliki ambisi kekuasaan, dan itu yang menjadikan figur Aidit sudah tidak menarik lagi di mata kaum muda. Kalau aparat masih mengedepankan faktor Aidit dalam melacak pemikiran kaum muda, silahkan saja dilanjutkan. Namun ibarat berteriak di padang pasir, alih-alih hanya jadi bahan tertawaan orang.
Bisa jadi aparat tidak pernah melakukan survei kualitatif terhadap bacaan kiri generasi milenial. Catatan harian Sutan Sjahrir saat diasingkan di Pulau Banda misalnya, yakni Renungan Indonesia, masih banyak dicari sampai sekarang, meski tidak pernah dilakukan cetak ulang sejak tahun 1960-an. Buku ini dianggap sangat inspiratif, dibanding karya Aidit yang cenderung provokatif. Demikian juga dengan karya-karya Tan Malaka.
Kita boleh cek, di sentra-sentra buku bekas seperti di Jakarta, Bandung, atau Yogya, buku karya Tan Malaka adalah yang paling banyak dicari. Salah satu kata kunci, mengapa figur seperti Tan Malaka dan Sjahrir, tak akan pernah pudar, adalah pandangan humanisme mereka. Keduanya dianggap sebagai pemikir sejati, nyaris tidak memiliki ambisi kekuasaan, dengan dosa politik relatif datar.
Soe Hok Gie sebagai messenger
Masih dalam konteks wacana kiri, aparat kembali gagal dalam memastikan, bagaimana keterkaitan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan PKI. Aparat secara instan menyebut Lekra sebagai bagian (underbow) PKI. Sastrawan besar seperti Pramoedya, memang dia anggota Lekra, namun Pram sama sekali tidak memiliki hubungan organisatoris dengan PKI, dan bukan hanya sekali Pram mengatakan, dia bukan penganut komunis. Karenanya, ketika argumentasi aparat kejaksaan di masa Orde Baru, yang menyebut novel Pram mengandung ajaran Marxisme, benar-benar omong kosong. Kita bisa sedikit meminjam frasa Pram yang terkenal: (memang) sudah konyol sejak dalam pikiran.
Mengapa Lekra perlu disebut secara khusus? Saya kira Lekra adalah organisasi yang fenomenal,yang selalu memiliki pendukung di kalangan generasi muda pada setiap era, termasuk generasi milenial hari ini. Dukungan itu berdasarkan pemahaman, bahwa Lekra adalah entitas yang berbeda dengan PKI. Generasi muda firm soal ini.
Sudah tentu pemahaman ini berbeda 180 derajat dengan imajinasi aparat, yang tetap bersikeras bahwa Lekra identik dengan PKI. Memang tetap ada hubungan antara Lekra dan PKI, tapi tidak sekuat dengan pernyataan rezim Soeharto. Artinya, yang menabalkan Lekra adalah bagian dari PKI adalah rezim Soeharto, bukan Aidit atau Nyoto..
Figur ikonik yang memberi pencerahan pada arus pemikiran kiri bagi generasi muda adalah aktivis cum pecinta alam Soe Hok Gie (almarhum). Tulisan-tulisan pendek Soe Hok Gie, telah memberi stimulan kepada kaum muda untuk tidak takut melahap buku kiri. Dua skripsinya, masing-masing tentang SI Merah Semarang (untuk sarjana muda), dan kemudian tentang Peristiwa Madiun 1948 (untuk sarjana), memberi perspektif berbeda dengan versi pemerintah. Dan yang lebih penting masih dicari orang sampai hari ini.
Soe Hok Gie sendiri adalah kader Partai Sosialis Indonesia (PSI Sutan Sjahrir). Dalam spektrum pemikiran kiri, PSI (Sutan Sjahrir) masuk dalam kategori "kiri dalam” (moderat), sementara PKI dianggap "kiri luar” (ekstrem). Di era digital seperti sekarang, siapa yang masih tertarik mendalami ideologi ekstrem seperti itu?
PSI sendiri sudah seperti komunitas intelektual, yang masih aktif sampai sekarang. Ada juga komunitas generasi milenial yang lebih senang membahas pemikiran Tan Malaka. Namun komunitas yang khusus membahas pemikiran Aidit, setahu saya sudah tidak ada, sebagaimana sudah di sebut di atas, figur Aidit tidak lagi diminati generasi milenial.
Tokoh yang bisa dianggap sebagai penerus Soe Hok Gie dalam "membimbing” pemikiran kiri generasi baru adalah Rahman Tolleng (almarhum), khususnya di Bandung. Bila kebesaran nama seseorang bisa diukur saat yang bersangkutan meninggal dunia, Rahman Tolleng membuktikan hal itu. Saat acara pemakamannya di Bandung, akhir Januari lalu, para pelayatnya datang dari segala penjuru dan lintas generasi, mulai dari generasi 1974 (Malari), Gerakan 1978, hingga aktivis generasi milenial.
Rahman Tolleng sebelum Peristiwa Malari 74 adalah tokoh Golkar, namun saya tidak yakin, apakah pemakaman para tokoh Golkar lain, yang sezaman dengan Tolleng, seperti Soehardiman (pendiri Soksi) atau Soegandhi (MKGR), juga bakal dibanjiri pelayat dari kaum muda. Jelas Rahman Tolleng adalah pribadi yang berbeda, dia kharismatik di mata generasi muda, dan kadernya tidak terhitung lagi.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.