Aceh 10 Tahun Setelah Tsunami
20 Desember 2014"Kejadiannya seperti baru terjadi kemarin"", kata Nasrul Affan sambil menyeka air mata. "Tak ada hari, tanpa saya memikirkan peristiwa itu", ucapnya lirih.
Pria berusia 42 tahun dari Aceh itu selamat dari terjangan tsunami sepuluh tahun lalu. Nasrul sempat terseret ke laut, tapi dia berhasil berenang kembali ke pantai. Istri dan dua anaknya hilang, mereka tidak pernah ditemukan.
Tsunami tahun 2004 menewaskan lebih dari 230.000 korban di 14 negara, terutama di Asia Tenggara. Korban tewas berasal dari berbagai negara, termasuk banyak turis dari Eropa yang sedang berlibur di Asia. Sekitar 540 warga Jerman yang dilaporkan tewas.
Tragedi terburuk dialami Indonesia, dengan lebih dari 130.000 orang yang dinyatakan tewas. Tapi dengan jumlah orang yang masih dinyatakan hilang, korban seluruhnya di Indonesia dipekirakan mencapai 170.000 orang. Lebih setengah juta orang menjadi pengungsi.
Desa tempat tinggal Nasrul adalah kawasan yang paling parah diterjang tsunami. Dari sekitar 2000 penduduk, hanya ada 200 yang selamat. Kebanyakan yang selamat, sekitar 80 persen, adalah pria.
Pemandangan mengerikan
"Bahkan bagi kami dari tim penolong, yang biasa kerja di kawasan bencana, situasi saat itu adalah pemandangan mengerikan", kata Roland Hansen dari organisasi bantuan Jerman, Malteser International. Dia beberapa kali datang ke Aceh.
Tim Roland Hansen bekerja di kawasan Lhokseumawe dan membangun kembali dua desa. Selain itu, mereka membangun jalur penyelamatan, jika Tsunami kembali mengancam. Tahun 2007, dimulai program bantuan kredit usaha kecil, agar perekonomian lokal bisa bangkit lagi.
Kasmiwati Abdul Hamid menceritakan: "Tsunami mengubah hidup kami hanya dalam beberapa menit. Banyak keluarga dan teman kami yang tewas". Ibu dengan empat anak ini sekarang bisa membuka usaha menjual krupuk, dengan bantuan kredit usaha kecil.
Masalah status hukum
Masalah rumit lain yang dihadapi penduduk adalah status hukum yang tidak jelas. Misalnya soal kepemilikan tanah. Karena banyak orang tewas dan banyak dokumen resmi musnah, banyak orang sekarang tidak bisa membuktikan hak miliknya atas tanah atau bangunan.
Terutama anak-anak yang kehilangan orangtua menghadapi masalah pelik, kata Martin Kesseler, koordinator organisasi bantuan Diakonie. Bersama-sama dengan organisasi lokal "Kata Hati", mereka kini membangun rumah untuk sekitar 70 keluarga yang mengangkat anak yatim piatu.
Kesulitan para anak yatim piatu adalah, menurut hukum Indonesia seseorang yang belum dewasa tidak bisa memiliki tanah atau bangunan. "Kata Hati" berusaha berunding dengan pemerintahan lokal agar anak-anak itu tetap bisa mempertahankan hak miliknya.
Jadi mereka bisa menyewakan rumahnya dan pemasukan dari sewa rumah bisa digunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak itu.
"Masih banyak masalah status hukum seperti ini", kata Raihal Fajri, direktur "Kata Hati". "Kita harus memperjuangkan soal hak milik ini ketika mereka masih anak-anak", tambahnya. Karena banyak anak-anak korban tsunami yang sudah remaja dan sekarang kehilangan harta dan hak miliknya.
hp/vlz (dpa,epd)