Membela Agama atau Tafsir Agama?
8 Agustus 2016Sering kita mendengar alasan, atau tepatnya klaim, sejumlah kelompok “Islam ekstrim” ketika melakukan aksi-aksi kekerasan (baik kekerasan fisik, kultural, maupun simbolik) terhadap berbagai kelompok agama di luar mereka (baik non-Muslim maupun kaum Muslim itu sendiri) adalah demi membela agama (Islam) atau demi membela Kitab Suci (Al-Qur'an). Dan yang lebih “fenomenal” lagi, demi membela Tuhan (Allah SWT).
Tetapi pertanyaanya: betulkah apa yang mereka lakukan itu “demi membela agama” atau “demi membela kitab suci” atau “demi membela Tuhan”? Semakin jauh, dalam dan detail kita mengamati tindakan, perilaku dan gerak-gerik mereka (baik perkataan maupun perbuatan), maka kita akan semakin tahu bahwa sesungguhnya apa yang mereka lakukan itu sebetulnya bukan demi agama, Kitab Suci, apalagi Tuhan.
Lebih tepatnya, aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan itu sering kali, jika bukan selalu, untuk membela tafsir (tentang) agama bukan agama itu sendiri, untuk membela tafsir (tentang) Kitab Suci bukan Kitab Suci itu sendiri, serta untuk mempertahankan tafsir (tentang) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
Tidak sebatas itu, bahkan sering kali kekerasan komunal antarpemeluk agama atau kekerasan atas pemeluk agama tertentu dipicu oleh faktor-faktor yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan ajaran, doktrin, dan norma-norma keagamaan.
Demi egoissme dan hawa nafsu
Kekerasan juga sering kali demi menuruti hawa nafsu dan egoisme kelompok tertentu umat beragama, tidak ada korelasinya dengan ajaran-ajaran fundamental agama. Teks-teks keagamaan hanya dicatut atau dipakai sebagai pembenar seolah-olah tindakan beringas dan konyol yang mereka lakukan itu mendapat “mandat” atau restu dari Tuhan.
Misalnya, apakah masalah toa (loudspeaker) masjid itu ada hubungannya dengan ajaran agama Islam? Sama sekali tidak ada, bukan? Toa adalah barang profan-sekuler bukan sakral-agamis karena ia merupakan produk kebudayaan manusia, tepatnya manusia kontemporer. Nabi Muhammad sendiri jelas tidak pernah memakai toa karena memang waktu itu belum ada teknologi pengeras suara ini.
Tetapi kenapa gara-gara “insiden toa”, sekelompok umat Islam di Tanjung Balai, Sumatra Utara, bisa menjadi kalap dan gelap mata melakukan pengrusakan atas sejumlah kelenteng dan wihara? Apakah aksi-aksi kekerasan dalam bentuk penjarahan dan vandalisme itu merupakan tindakan pembelaan sebuah agama atau nilai-nilai keislaman? Tentu saja tidak.
Tafsir sesat atau kafir secara sepihak
Hal lain misalnya tentang status “kesesatan” umat agama atau pemeluk sekte keislaman tertentu yang juga sering dijadikan sebagai argumen oleh sejumlah kelompok “Islam ekstrim” untuk melakukan aneka tindakan kekerasan, lagi-lagi, atas nama (membela kemurnian) agama, Kitab Suci, dan Tuhan. Padahal, label sesat, kafir, bid'ah dan semacamnya adalah jelas hanyalah sebuah tafsir atas teks, ajaran, diskursus, dan sejarah keagamaan yang bersifat terbatas, relatif-subyektif dan bahkan politis.
Terbatas karena tidak semua kawasan dimana umat Islam tinggal ikut menuding sesat sebuah kelompok atau sekte yang dianggap sesat oleh kelompok lain. Tentang Syiah dan Ahmadiyah misalnya yang sering dikafir-sesatkan oleh sejumlah kelompok Islam ternyata banyak daerah dan negara di dunia ini yang sangat “welcome” dengan mereka.
Di Wonosobo (begitu pula di daerah-daerah lain di Jawa Tengah seperti Semarang, Jepara dan sebagainya) umat Syiah dan Ahmadiyah hidup adem-ayem dengan umat lain. Di Qatar dan Oman, warga Syiah juga hidup dengan aman dan nyaman berdampingan dengan pemeluk Sunni dan Ibadi sebagai kelompok mayoritas di kedua negara di kawasan Arab Teluk ini. Begitu pula di berbagai kawasan Islam di China dan Asia Tengah, lebih-lebih di negara-negara Barat, umat Islam hampir-hampir tidak mempersoalkan sama sekali “status teologis” atau “legalitas keislaman” Syiah, Ahmadiyah dan sekte-sekte keislaman lain.
Status “kafir-sesat” juga sangat relatif-subyektif karena terbukti tidak semua umat Islam turut mengkafir-sesatkan sebuah kelompok atau sekte keagamaan tertentu. Kita bisa saja memandang sesat atas praktik keagamaan orang lain. Tetapi sadarkah kita bahwa orang lain itu juga bisa jadi memandang sesat terhadap praktik keagamaan yang kita lakukan. Jadi tidak ada label “kafir-sesat” yang bersifat “obyektif” dan “inheren” karena faktanya apa yang kita anggap “benar” dan “legitimate” itu belum tentu dianggap “benar” dan “legitimate” di mata orang lain.
Motivasi politik bukan keagamaan
Terakhir, label “kafir-sesat” itu juga sangat politis. Sering kali agama hanya dijadikan sebagai “stempel sakral” kepentingan politik-kekuasaan. Kasus mencap sesat praktik tasawuf dan tarekat Sufi oleh sejumlah rezim, ormas dan kelompok Islam dalam sejarah keislaman klasik dan kontemporer misalnya karena dilatarbelakangi oleh potensi kritik sosial dan pemberontakan kaum Sufi.
Dalam sejarah keislaman, kelompok Sufi adalah salah satu kelompok keagamaan yang paling keras dalam mengkritik aneka praktik tiran-despotik, keserakahan, dan korupsi para rezim politik Islam serta praktik hedonisme dan “cinta duniawi” kaum Muslim urban. Ordo-ordo Sufi dalam berbagai negara juga menjadi pioner pemberontakan politik atas pemerintah kolonial dan kekuasaan otoriter lainnya. Oleh karena itu bisa dimaklumi kenapa di kemudian hari sejumlah kelompok politik-agama melarang ajaran Sufisme dan tarekat Sufi.
Perseteruan Sunni-Shiah juga lebih didorong oleh motivasi politik ketimbang masalah teologi-keagamaan. Dalam sejarahnya, Syiah sendiri awalnya adalah sebuah “partai politik” bukan “partai agama”. Baru belakangan terutama setelah pendirian berbagai dinasti yang berafiliasi Sunni maupun Syiah, muncul beragam label teologi-keagamaan atas kedua sekte Islam ini.
Dulu, pendirian madrasah-madrasah sejak abad ke sebelas di Arabia (Hijaz), Irak, Suriah, Mesir, dan Afrika Utara terutama dimaksudkan sebagai markas penggemblengan kaum Muslim dan basis indoktrinasi Hukum Islam mazhab Sunni karena dipicu oleh kekhawatiran meluasnya pengaruh politik-ekonomi-budaya-keagamaan dari Dinasti Syiah Fatimiyah (berpusat di Mesir) dan Buwaiyah (berpusat di Irak). Pioner pendirian madrasah Sunni ini adalah Mahmud Ghazni (w. 1030) dari Dinasti Ghaznawiyah dan Abu Ali Hasan bin Ali Tusi yang dikenal dengan sebutan Nizam al-Muluk (w. 1092) dari Dinasti Saljuk.
Dalam konteks kontemporer, perseteruan politik Saudi-Iran kemudian melebar menjadi bara yang menyulut provokasi Sunni-Syiah di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Padahal, jauh sebelum kaum Salafi-Wahabi menginjakkan kaki di Indonesia, komunitas Syiah sudah terlebih dahulu (bahkan jauh sebelum masa kolonial Eropa) mendarat disini dan membaur dengan masyarakat setempat sehingga menciptakan sebuah “kebudayaan Islam creole” yang mengandung unsur-unsur Islam, Syiah, dan lokal (baca, Nusantara).
Jadi dengan demikian apa yang sering diklaim oleh (sebagian) umat Islam sebagai “nilai-nilai agama” yang dinilai suci dan religius dan dibela mati-matian bahkan sampai rela melakukan kekerasan dan beragam kejahatan kemanusiaan itu pada dasarnya adalah sebuah “nilai-nilai budaya” yang bersifat sekuler dan profan. Pasalnya semua itu merupakan hasil interpretasi dan rekonstruksi pemikiran elit individu (seperti ulama dan fuqaha atau ahli Hukum Islam) serta produk sejarah pengalaman kemanusiaan dan kemasyarakatan kaum Muslim saat bersinggungan dengan fakta-fakta sosial-politik-kebudayaan sekitar. Karena itu, sekali lagi, bukan agama melainkan tafsir agama yang sering kali menjadi sumber pemicu dan peletup beragam kekerasan dan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sejumlah kelompok agama radikal-konservatif di masyarakat. Wallahu ‘alam bi shawab.
Penulis: Sumanto al Qurtuby, Senior Research Scholar di Middle East Institute, National University of Singapore, dan Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi
@squrtuby
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.