Membongkar Dalang Serangan Senjata Kimia di Suriah
22 Agustus 2013Suatu kebetulan atau provokasi? Setibanya tim inspektur PBB di Suriah, pihak oposisi melaporkan serangan mematikan terbaru dimana senjata kimia kembali digunakan. Bila tudingan itu benar, maka eskalasi konflik Suriah sudah memasuki tahapan baru.
Siaran Rekaman Video
Aktivis oposisi Suriah memberikan angka yang berbeda-beda, dari 100 hingga 1300 orang, sehubungan jumlah korban serangan terbaru pada Rabu (21/08/13). Dalam video di internet terlihat staff medis yang mengobati pasien-pasien yang tidak terlihat berdarah maupun terluka. Beberapa diantaranya berkelejotan, ada yang tampak sesak nafas, dan terdapat anak-anak di antara korban yang terluka dan tewas itu.
Namun, keaslian rekaman itu tidak bisa diverifikasi secara independen. Jurubicara militer Suriah mengatakan, tuduhan oposisi itu bohong dan tidak berdasar. Media resmi Suriah mengakui terjadinya pertempuran di kawasan timur Damaskus, tapi menyangkal telah menggunakan senjata kimia.
"Bukan Mengintimidasi, Tapi Membasmi"
Sebelumnya Hisham Marwah, jurubicara "koalisi nasional oposisi Suriah" mengatakan kepada Deutsche Welle, "setidaknya 800 orang tewas dan sedikitnya 1000 orang terluka." Dalam sejumlah laporan kantor berita tertera bahwa Ketua Dewan Nasional Suriah, George Sabra, juga mengkonfirmasi serangan tersebut. Dikatakannya, "Kali ini pemerintah bukannya mau mengintimidasi rakyat, tapi membasminya".
Menyangkal tuduhan itu, Menteri Luar Negeri Suriah menyatakan bahwa ada kelompok teroris yang kuatir atas kesepakatan Suriah dengan masyarakat internasional untuk menginvestigasi penggunaan senjata pembunuhan massal. Laporan terakhir ini bertujuan mendiskreditkan pemerintah Suriah.
Motif Yang Tidak Jelas
"Perlu menunggu hasil investigasi", jelas Margret Johannsen dari Universitas Hamburg. Tambahnya, "Pelaku serangannya tidak jelas". Begitu ungkap ahli politik di Lembaga Penelitian Perdamaian dan Politik Keamanan itu. Menurut dia, penggunaan senjata kimia merupakan penyimpangan dari strategi perang Presiden Assad selama ini.
"Saat ini, saya tidak melihat alasan bagi pemerintah untuk menggunakan senjata kimia", tutur Johannsen kepada DW. Apalagi Amerika Serikat telah menyatakan bahwa penggunaan senjata kimia, merupakan garis merah batas yang menentukan intervensi Barat. Pemerintah Assad yang begitu kuat tidak perlu menggunakan senjata seperti itu. "Penggunaan senjata kimia bertolak belakang dengan logika rasional rejim ini."
Pandangan serupa dimiliki Oliver Thränert, ketua think tank Pusat Studi Keamanan di Sekolah Tinggi Zürich. "Apalagi sekarang, saat Assad tampak berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya, tidak masuk akal untuk mengerahkan senjata kimia."
Adu Propaganda
Margaret Johannsen menilai mungkin, bahwa laporan mengenai serangan terbaru bertujuan propaganda. "Setiap pihak yang terlibat perseteruan ini memiliki kepentingan, termasuk untuk melibatkan militer Barat. Serangan tersebut bisa juga diluncurkan oleh agen-agen provokator."
Tim inspektor PBB hanya diperbolehkan untuk menginvestigasi tiga lokasi, yang tidak termasuk lokasi serangan terakhir ini.
Sebelumnya, Leonid Kalasnikov, anggota komite luar negeri Rusia, mengatakan pada kantor berita Interfax bahwa meski penggunaan senjata kimia terbukti, tidak bisa dipastikan pihak mana yang telah menggunakannya. Selama konflik ini, Rusia dan Cina seringkali berpihak pada Presiden Bashar al-Assad, sedangkan anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya, yakni Inggris, Perancis dan Amerika Serikat mendukung pihak oposisi.
Perang saudara di Suriah sudah memasuki tahun ketiga. Dalam 29 bulan pergolakan sejak Maret 2011, PBB memperkirakan sudah lebih dari 100.000 orang yang tewas di Suriah.