Menakar Peluang Menangnya Sutradara Perempuan di Ajang Oscar
26 Maret 2022"Nah, waktunya telah tiba," kata Barbara Streisand sambil membaca amplop berisi nama pemenang Oscar 2010 kategori Sutradara Terbaik.
Untuk pertama kalinya dalam 81 tahun sejarah Academy Awards, seorang perempuan memenangkan penghargaan sutradara terbaik, salah satu kategori terpenting di ajang tahunan tersebut. Kathryn Bigelow yang nampak terkejut, mengalahkan sutradara kenamaan James Cameron dan Quentin Tarantino dengan filmnya "The Hurt Locker."
Hingga saat itu, baru ada empat sutradara perempuan yang masuk dalam nominasi kategori Sutrada Terbaik, mereka adalah Lina Wertmuller (1977), Jane Campion (1994), Sofia Coppola (2004), dan Kathryn Bigelow (2010).
Academy Awards 2021 kembali mencatat sejarah dalam Oscar, ketika dua orang perempuan yakni Chloe Zhao dan Emerald Fennell masuk nominasi sutradara terbaik di tahun yang sama. Kemudian Zhao keluar sebagai pemenang Sutradara Terbaik atas filmnya "Nomadland."
Preseden lain terbentuk untuk edisi tahun ini, dengan Campion menjadi perempuan pertama yang dinominasikan untuk kedua kalinya sebagai sutradara terbaik.
Namun, apakah "budaya" di Academy Awards telah benar-benar berubah?
"Saya ragu menyebut ini kemajuan," kata Martha Lauzen, direktur Pusat Studi Wanita dalam Televisi & Film di San Diego State University. "Saya pikir akan lebih tepat untuk menggambarkannya sebagai menyerah pada keberatan yang berlanjut...bahwa ada sesuatu yang salah ketika, tahun demi tahun, tidak ada perempuan yang dinominasikan.
"Pengecualian rutin Academy Awards terhadap wanita dalam salah satu kategori paling bergengsi, tidak lagi berkelanjutan atau dapat dibenarkan," tambahnya.
Ketidakseimbangan dalam industri film
Selangkah demi selangkah, perempuan memasuki wilayah industri film yang didominasi laki-laki. Namun, menurut Celluloid Ceiling Report terbaru, yang telah diterbitkan setiap tahun selama 24 tahun terakhir dan meneliti karya perempuan dalam 250 film terlaris Amerika Serikat (AS), kemajuannya sangat lambat dan terkadang terhenti.
Setelah mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2020, proporsi sutradara perempuan yang menyutradarai 250 film dan 100 film teratas telah menurun pada tahun 2021. Proporsi sutradara perempuan pada 250 film terbaik, turun dari 18% pada tahun 2020 menjadi 17% pada tahun 2021, dan proporsi sutradara perempuan untuk 100 film teratas turun dari 16% menjadi 12%.
Perempuan juga sangat kurang terwakili dalam profesi film lainnya. Pada tahun 2021, 94% dari 250 film teratas AS dibuat tanpa sinematografer perempuan, 92% di antaranya tanpa komposer perempuan, 82% tanpa sutradara perempuan, 73% tanpa editor perempuan, dan 72% tanpa penulis skenario perempuan.
"Academy Awards tidak berada dalam ruang hampa. Ini mencerminkan sikap, kecenderungan, dan bias dari komunitas film arus utama yang lebih besar," kata Lauzen.
Bias yang merugikan perempuan termasuk "keyakinan yang tidak berdasar bahwa perempuan tidak memiliki visi dan dorongan yang diperlukan untuk memimpin fitur-fitur studio utama, dan bahwa perempuan tidak tertarik untuk mengarahkan fitur-fitur seperti itu," tambahnya.
Peneliti juga mencatat, sejumlah studio dan investor lebih senang untuk "bertaruh besar" pada sutradara laki-laki pendatang baru. Mereka biasanya menganggap sutradara perempuan yang menjanjikan sebagai "pekerja yang berisiko."
Lauzen meyakini, bias ini menguntungkan sutradara laki-laki pendatang baru, misalnya pembuat film Colin Trevorrow, yang didapuk untuk menyutradarai "Jurassic World" (2015) setelah menyutradarai hanya satu film indie "Safety Not Guaranteed" (2012).
"Seperti ceritanya, Trevorrow mengingatkan Steven Spielberg tentang cerminan dirinya yang lebih muda, dan dia memberi kepercayaan untuk menggarap pekerjaan itu," katanya.
"Spielberg bersedia mengambil risiko, memberi kesempatan pada sutradara yang relatif belum terbukti," tambah Lauzen. "Perempuan yang menyutradarai jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mendapat manfaat dari bias implisit semacam ini."
Titik balik bagi perempuan?
Dalam beberapa tahun terakhir, kurangnya keragaman dalam penghargaan film tertinggi Hollywood telah menjadi sorotan, dengan tagar seperti #OscarsSoMale dan #OscarsSoWhite mengecam marginalisasi bakat pembuat film perempuan dan kelompok minoritas.
Keanekaragaman telah lama menjadi kata kunci yang populer di dunia film, tetapi reformasi aktual di Academy Awards dibuat sebagai reaksi terhadap gerakan #MeToo dan Black Lives Matter.
Reformasi juga diumumkan dalam kategori film terbaik. Untuk dinominasikan, film harus memenuhi setidaknya dua dari empat tolak ukur keragaman, antara lain menampilkan aktor dari kelompok yang kurang terwakili dalam peran utama atau setidaknya 30% dari pemeran. Kriteria serupa berlaku di tim produksi dan kreatif.
Topik film juga mendapat poin keragaman, ketika cerita berpusat pada perempuan, orang-orang LGTBQ, kelompok minoritas, atau penyandang disabilitas.
Academy Awards juga sedang mencari cara untuk membuka upacara penghargaan untuk publik karena penurunan drastis jumlah penonton selama pandemi.
Hanya sekitar 10 juta orang yang menonton acara tahun lalu, kurang dari setengah jumlah penonton tahun 2020. Sekarang penyelenggara Oscar telah memperkenalkan penghargaan penonton, yang dapat dipilih oleh penggemar film lewat voting di internet.
Industri film di Jerman
Di Jerman juga, tantangan yang dihadapi perempuan dalam industri film dan reformasi yang diperlukan telah lama diperdebatkan.
Meskipun secara signifikan lebih banyak lulusan perempuan dari sekolah perfilman, namun lulusan laki-laki mayoritasnya mendapat akses pekerjaan puncak di industri perfilman.
"Meskipun sekarang lebih umum memiliki sutradara wanita daripada beberapa tahun yang lalu, mereka masih harus mengatasi lebih banyak rintangan dibanding rekan pria mereka," kata Sarah Duve-Schmid, wakil ketua Dewan Manajemen dan Kepala Pendanaan di Dewan Film Federal Jerman (FFA).
"Ketekunan, ketegasan, dan fleksibilitas adalah salah satu faktor keberhasilan dalam menyutradai, dan pria masih lebih mungkin untuk memiliki akses ini daripada perempuan," tambahnya.
"Beban kerja industri film yang tinggi, lama meninggalkan rumah, tetapi juga kurangnya infrastruktur penitipan anak dan gaji yang lebih rendah, adalah faktor-faktor yang masih membuat perempuan meninggalkan pekerjaan mereka untuk sementara waktu setelah sekolah film, atau beralih ke jalur karier yang berbeda sama sekali", papar Duve-Schmid.
Baru belakangan ini, film yang dibuat oleh perempuan mendapatkan pengakuan yang lebih besar di Jerman karena kepekaan baru terhadap masalah kesetaraan, tambahnya.
"Sepanjang pendanaan proyek-proyek yang diarahkan oleh perempuan dipermasalahkan, FFA secara teratur memantau proyek-proyek yang diajukan dan komitmen pendanaan,” jelasnya. "Selama beberapa tahun terakhir, ada lebih banyak aplikasi secara signifikan untuk proyek dengan sutradara wanita; struktur yang direformasi diharapkan akan memungkinkan lebih banyak wanita untuk mengklaim posisi mereka di industri ini", pungkas Duve-Schmid.
Ed: rap/