Salah satu dinasti yang cukup berhasil adalah dinasti politik Soekarno (Bung Karno), yang sudah sampai pada generasi ketiga, yakni Puan Maharani. Setelah sukses menjadi Ketua DPR RI, tentu Puan tidak akan berhenti sampai di sini, sudah santer disebut-sebut Puan akan maju pada Pilpres 2024, entah sebagai capres atau cawapres.
Mantan presiden lain yang juga sedang mencoba membangun dinasti adalah mantan Presiden SBY, yang sedang menyiapkan anaknya AHY, sebagai generasi calon penerus. Memang hasilnya belum terlalu kelihatan, mengingat AHY akhirnya tidak masuk dalam Kabinet Indonesia Maju, yang semula sangat diharapkannya, terutama oleh SBY.
Membangun sebuah dinasti politik rasanya masih fenomena baru, setidaknya dibandingkan dengan negara maju, seperti AS, yang sejak lama dikenal memiliki beberapa clan yang termahsyur di panggung politik, salah satu yang paling terkenal adalah clan Kennedy. Bangsa kita lebih mengenal feodalisme, dimana raja atau sultan kelak akan digantikan oleh salah seorang anaknya.
Selama 75 tahun merdeka, negeri kita banyak melahirkan tokoh besar, namun tidak semuanya memiliki keturunan yang memiliki capaian seperti ayahnya. Semisal kita tidak pernah mendengar bagaimana jejak atau kiprah dari anak (cucu) dari mereka yang dulu pernah menjadi perdana menteri atau wapres, seperti M. Natsir, Wilopo, Burhanuddin Harahap, Adam Malik, dan seterusnya.
Salah satu keluarga yang sebenarnya sangat potensial untuk membangun sebuah dinasti atau trah, adalah anak-cucu Soeharto, yang telah memperoleh sebutan sebagai trah Cendana (mengacu pada nama tempat keluarga Soeharto tinggal). Soeharto telah berkuasa sekian lama (1966-1998), sebuah durasi kekuasaan yang mustahil terulang kembali, seandainya bisa diolah, tentu akan menjadi modal sosial yang besar bagi anak-cucunya bila ingin berkuasa kembali kelak.
Antara kharisma dan pendidikan
Dari sekian anak Soeharto, sepertinya tinggal Mas Tommy (Soeharto) yang masih berminat dan juga ada peluang dalam berpolitik. Partai yang dia dirikan, yakni Partai Berkarya sempat ikut Pemilu 2019, namun hasilnya kurang menggembirakan, ketika tidak memperoleh satu pun kursi di parlemen. Kegagalan Mas Tommy dalam berpolitik kiranya bisa dijadikan pelajaran bagi keluarga elite politik lain, bila ingin membangun sebuah dinasti.
Setidaknya ada dua faktor yang harus diperhatikan, yakni kharisma dan pendidikan. Soal kharisma, figur Soeharto tidak usah diragukan lagi, dan itu bisa ditularkan pada anaknya, meski tidak sama persis. Sekadar perbandingan, Megawati bisa sukses dalam politik sebagian karena kharisma ayahnya, namun ketika sampai ke Puan, kharisma itu mulai menyusut. Selain karena digerus oleh waktu, juga publik belum melihat prestasi yang meyakinkan dari Puan.
Kharisma berkaitan langsung dengan prestasi atau amalan apa yang pernah ditorehkan tokoh dimaksud di masa lalu, dan sifatnya personal. Jadi kharisma tidak datang secara tiba-tiba, kharisma harus berbasiskan rekam jejak si tokoh. Seperti di dunia militer misalnya, TNI sudah melahirkan sekian banyak jenderal, namun tidak semuanya memiliki nama sebesar (mantan Pangkopkamtib), Benny Murdani, Dading Kalbuadi, Ali Murtopo, dan seterusnya.
Taruhlah anak-anak Soeharto ingin “menumpang” pada kharisma ayahnya, namun tidak bisa secara permanen. Publik juga ingin melihat, apa prestasi Mas Tommy, Mbak Tutut, dan Mbak Titik, di masa lalu. Artinya prestasi dia yang sejati, bukan karena pengaruh Soeharto. Celakanya, karier politik atau sosial anak Soeharto, umumnya karena pengaruh posisi ayahnya selaku penguasa masa itu.
Pada saat ayahnya berkuasa, puteri tertuanya (Mbak Tutut) mengurus sejumlah organisasi, seperti Kirab Remaja Nasional dan Himpunan Pekerja Sosial Indonesia, yang kini tidak jelas lagi bagaimana nasib organisasi tersebut. Adik Mbak Tutut yang juga mencoba berkiprah di politik adalah Bambang Trihatmodjo, yang sempat menjadi pengurus DPP Golkar di bawah Harmoko, pada penggal terakhir kekuasaan Soeharto.
Pasca lengsernya Soeharto, Mbak Tutut kembali terjun ke politik, namun situasinya sudah sama sekali berbeda dengan era sebelumnya. Dia maju sebagai capres dalam Pilpres 2004, melalui Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), namun upaya Mbak Tutut gagal total. Demikian juga dengan Mas Tommy, upayanya untuk menjadi Ketua Umum Golkar selalu gagal. Pertama pada Munas Partai Golkar tahun 2009 di Riau, Mas Tommy kalah dari Aburizal Bakrie. Kemudian kalah lagi dalam Munas Golkar di Bali tahun 2016, ketika yang terpilih adalah Setya Novanto.
Faktor lain yang rupanya menjadi penghambat laju karier politik anak (cucu) Soeharto adalah soal pendidikan. Latar belakang pendidikan anak Soeharto umumnya tidak terlalu jelas. Sepertinya hanya Mbak Titik (lulusan FEUI) dan putri bungsunya Mbak Mamik (lulusan IPB), yang lumayan memadai pendidikannya. Bambang Trihatmodjo dikabarkan sempat kuliah di Inggris, namun tidak jelas bagaimana kelanjutannya.
Sebenarnya yang dipersoalkan bukanlah kecerdasan atau ijazah formal, namun lebih pada soal menyia-nyiakan kesempatan. Bagaimana tidak, dengan kekayaan yang luar biasa dari Soeharto, kenapa anak-anak Soeharto tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk sekolah setinggi-tingginya, bila perlu sekolah pada kampus ternama di luar negeri, yang berapa pun biayanya, ayahnya pasti sanggup membiayai. Namun kini semuanya sudah lewat, harapan pada pendidikan yang tinggi, kini dialihkan pada generasi ketiga (cucu Soeharto), dan itu pun belum jelas juga kabarnya.
Zaman sekarang faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana bila orang seperti Mas Tomy, dengan latar belakang pendidikan pas-pasaan, harus berdebat dengan generasi milenial yang umumnya cerdas dan selalu update informasi, dalam sebuah forum kampanye misalnya.
Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta. Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global seperti ayahnya. Artinya, publik tidak was-was bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.
Surat Pak Pram dan Serat Kala Tida
Bila anak-cucu Soeharto ingin kembali lagi ke pentas politik, setidaknya ada dua bacaan yang perlu dijadikan referensi, sekadar sebagai bahan refleksi diri. Pertama adalah buku karya sastrawan terkenal Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Seorang Bisu (dua jilid). Kedua adalah karya pujangga pamungkas Ronggowarsito, Serat Kala Tida (Syair Zaman Gelap).
Saya kira dua teks tersebut relatif mudah diakses bagi keluarga Soeharto, khususnya karya Ronggowarsito, mengingat Soeharto di masa hidupnya dikenal sebagai penghayat ilmu kebatinan (kejawen). Di kalangan penghayat aliran kebatinan, nama Ronggowarsito sangat populer, karena ilmunya yang terbilang tinggi, dan naskah karyanya sudah diterbitkan di masa yang sudah lewat.
Karya Pramoedya (Pak Pram) merupakan ringkasan yang baik untuk menggambarkan bagaimana wajah rezim Soeharto saat berkuasa, yang dikenal sangat otoriter dan mengekang kebebasan berpendapat. Singkatnya, tidak ada ruang bagi “suara” lain. Karya Pak Pram ini berisi catatan lepas saat dirinya menjadi tapol di Pulau Buru pada dekade 1970-an, utamanya surat-surat kepada anak dan teman-temannya di Jawa.
Sebagaimana digambarkan oleh Pak Pram, di Pulau Buru otoritarianisme rezim Soeharto tetap terasa, melalui aparat para penjaga. Kita bisa melihat melalui buku Pak Pram, bahwa Pulau Buru ibarat “Orde Baru kecil”. Bagaimana para pasukan yang bertugas menjaga para tapol, mencari dana tambahan untuk kepentingan pribadi dengan cara memeras tenaga tapol. Anggota pasukan itu biasa menjual hasil panen padi para tapol, dan balok kayu dari hutan setempat. Panen padi dimaksud adalah hasil jerih payah tapol, yang tujuan semula untuk sekadar bertahan hidup di tanah pengasingan, yang ternyata hasilnya melimpah.
Dalam catatan Pak Pram, bila dia bisa bertahan hidup di Pulau Buru, sebagian adalah dukungan moril dari Jenderal Soemitro, yang selaku Pangkopkamtib sempat berkunjung ke Buru tahun 1973. Pada sebuah kesempatan Jenderal Soemitro menasehati Pak Pram: hadapi semua seperti main layang-layang, angin kencang ulur benang, tak ada angin tarik benang.
Ucapan Jenderal Soemitro tersebut bisa ditafsirkan, bila seorang jenderal saja bisa tidak tahan melihat kondisi tapol di Pulau Buru, artinya betapa beratnya situasi yang dihadapi tapol, khususnya Pak Pram. Mungkinkah sebuah kebetulan belaka, bila tak lama setelah bertemu Pak Pram, Soemitro harus tersingkir dari lingkaran kekuasaan Orde Baru.
Kemudian soal Serat Kala Tida, yang ditulis Ronggowarsito menjelang ajalnya tiba (1873). Narasi itu lahir atas keprihatinan Ronggowarsito sehubungan demoralisasi dan serangkaian konflik yang tengah melanda keraton di Jawa, khususnya di Solo. Ketika para elite istana semakin tamak, baik terhadap kekuasaan, harta, dan kenikmatan duniawi lainnya. Situasi itu mirip dengan negeri saat di bawah kepemimpinan Soeharto, yang salah satu jejaknya masih terlihat jelas sampai hari ini, ketika tindak korupsi menjadi sesuatu yang biasa. Dan bila tertangkap KPK, semata-mata hanya soal nasib buruk bagi si pelaku.
Ada baiknya tulisan ini saya tutup dengan mengutip sepenggal Serat Kala Tida:
Kungas kasudranira (Menanglah kerendahan)
Tidem tandaning dumadi (Gelap menandai semesta)
Ardayeng rat dening karoban rubeda (Dunia terbanjiri kesulitan tiada henti).
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.