Kami turun untuk menengok langsung dampak dari hilirisasi di lapangan. Di lokasi, kami menjumpai pertumbuhan dan petaka, keberuntungan dan kenestapaan, peluang dan peraduan siasat. Tiga kampung petani dan nelayan di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah berubah hanya dalam kurun 2-3 tahun. Di wilayah tiga kampung ini, pabrik pengolahan bijih nikel dan fasilitas-fasilitasnya sedang dibangun.
Para nelayan dan petani rumput laut kehilangan penghidupannya akibat perairan mereka kini dilintasi kapal-kapal pengangkut material. Perangkap ikan dan tali bentangan rumput laut mereka terkoyak. Mereka mendapatkan ganti rugi, tapi itu hanya setelah mereka berunjuk rasa. Itu pun mereka harus menunggu lama, nilai ganti ruginya tidak sepadan, dan kini mereka tak bisa lagi mencari penghidupan dari perairannya sendiri.
Penginapan, kos-kosan, warung, dan jasa cuci baju kini berderet di jalan aspal dan satu-satunya. Sejumlah warga masih pergi untuk mengurus kebun, tapi jumlahnya hanya akan semakin berkurang ketika pabrik beroperasi. Warga usia produktif akan terserap untuk kerja perusahaan, bahkan bila mereka hanya akan bekerja untuk vendor-vendor lokalnya. Spekulasi lahan akan menyebabkan alih fungsi lahan yang masif di mana kebun-kebun dijual dan hutan yang tersisa dibabat.
Hanya berjarak beberapa ratus langkah dari perumahan warga, sebuah PLTU nyaris rampung. Bila apa yang terjadi di Kecamatan Bahodopi, tempat berdirinya Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) menjadi preseden, kampung-kampung ini tak lama lagi akan menjadi kota. Kota yang menyesakkan, amburadul, penuh sampah, dan rawan banjir. Puluhan ribu pekerja dari luar akan bermukim di daerah yang tak pernah didesain untuk menampung warga sebanyak itu.
Warga tak bisa ke mana-mana tanpa masker karena debu dan asap dari pembangkit listrik. Mereka bakal selalu dikepung kemacetan dan infrastruktur yang porak poranda. Hal ini terjadi selagi elite-elite lokal bermunculan berkat lobi-lobi industri ke politik tingkat desa dan komunitas. Kota-kota semacam ini tengah dalam proses bermunculan di pusat-pusat hilirisasi.
Hidup bersama raksasa
Situasi barusan bisa jadi terdengar distopis. Belum lagi, kita mungkin sudah sering terpapar laporan-laporan dampak industri nikel dari jurnalis dan organisasi masyarakat sipil. Di lokus-lokus industrialisasi nikel Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara hingga Maluku Utara, keberadaan industri baru menghancurkan sistem ekologi sekaligus merenggut sumber pencaharian masyarakat sekitar.
Namun, untuk banyak orang yang terpintal di tengah-tengah pusaran hilirisasi, situasi mereka tak bisa disederhanakan secara hitam-putih. Para nelayan kehilangan pekerjaannya, tapi sanak saudara mereka menggantungkan hidup pada perusahaan. Jalanan di kampung-kampung hancur dan bising, tapi roda perekonomian bertumpu seutuhnya pada aktivitas perusahaan.
Pembangunan menawarkan kepada anak-anak muda kesempatan berkarier yang sebelumnya hanya bisa mereka bayangkan. Hanya saja, mereka dipaksa hidup dengan polusi, pencemaran, kesemrawutan, bahkan tingkat kriminalitas yang melonjak. Para aktivis desa bukan lagi sosok-sosok yang menolak kehadiran industri, melainkan mereka yang menuntut agar ia lebih cepat beroperasi dan membangun fasilitas-fasilitas. Mereka sadar, kehadiran industri di wilayah mereka bukan sesuatu yang bisa atau bahkan bijak untuk mereka lawan.
Pun, kita dapat berbicara perihal dampak ekonomi lintas wilayahnya. Di IMIP, tujuh puluh ribu pekerja datang dari seluruh Indonesia. Sebagian besar berasal dari wilayah Sulawesi lain yang tidak subur seperti Buton dan Muna, di mana kesempatan kerja lokal terbaik untuk angkatan kerjanya ialah menjadi Aparatur Sipil Negara.
"Hilirisasi adalah proses yang memaksa warga di lokus-lokusnya," menyitir istilah yang diperkenalkan Tania Murray Li dan Pudjo Semedi, "hidup bersama raksasa”. Secara baik sekaligus buruk, raksasa ini merombak dan mendikte kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Semakin lama industri nikel beroperasi, kehidupan sosial setempat hanya akan semakin mengorbit kepadanya. Dari studi yang dilakukan oleh Kathlyn Robinson pada 1970-an akhir di Sorowako, Sulawesi Selatan hingga yang dilakukan Tracy Glynn beberapa tahun terakhir di tempat yang sama, kita mendapatkan potret bagaimana masyarakat adat terserap dan menjadi bagian tak terpisahkan dari industri nikel.
Warga Sorowako, yang diambil alih wilayahnya pada tahun 1980-an dan tersingkir dari kerja-kerja perusahaan karena tak memiliki pendidikan formal, kini tak bisa membayangkan hidup tanpa industri nikel. Kekhawatiran terbesar yang menghantui warganya setiap waktu adalah kandasnya industri nikel di daerahnya. Apa yang akan terjadi bila komoditas yang telah memakmurkan mereka pada akhirnya habis? Bagaimana anak-cucu mereka dapat bekerja?
Menuntut yang lebih baik
Warga sebetulnya memiliki aspirasi yang jelas. Dalam harap-harap cemas dengan potensi kesemerawutan ruang hidupnya ke depan, mereka mendambakan industri yang membangun desa mereka dengan lebih manusiawi. Mereka selalu merujuk ke satu daerah industrialisasi yang dikelola dengan baik, selagi mengkhawatirkan desa mereka terperosok menjadi "Bahodopi” yang lain.
Persoalannya, dalam proses industrialisasi yang menyeluruh dan acap menyerobot ruang hidup, warga tak bisa bertumpu ke mana pun untuk perlindungan. Kondisi yang saat ini merebak dapat diibaratkan dengan rimba. Perusahaan-perusahaan membangun fasilitas dan beroperasi dengan pertimbangan ekonomis belaka. Mereka tak mengindahkan eksternalitas dari operasinya sampai akhirnya warga tergilas dan menjerit.
Bila orientasi perusahaan memang bisnis dan keuntungan, seharusnya ada kekuatan yang bisa memaksa perusahaan menjunjung hak warga. Peran ini seharusnya diambil oleh negara. Namun, banyak pejabat yang meninggalkan warganya berhadap-hadapan dengan perusahaan, selagi menggelar karpet mereka untuk mereka.
Dalam sebuah pertemuan tripartit antara nelayan di Bungku Barat dengan pemerintah daerah dan perusahaan pengolahan nikel, seorang pejabat tinggi menyampaikan bahwa tidak akan ada ganti rugi dari perusahaan terhadap nelayan. Pernyataan tersebut terus diingat dengan menyakitkan oleh seorang nelayan yang kehilangan perangkap ikan dan tak bisa menangkap ikan lagi karena keberadaan perusahaan.
Kami juga mendengar cerita dari tim perizinan sebuah perusahaan yang baru pada tahapan perencanaan bagaimana mereka harus mengeluarkan "vitamin” untuk mempermudah urusan di setiap lini birokrasi. Ada sebuah anekdot di antara para aktivis di Palu, bahwa kehadiran perusahaan nikel akan diikuti para kepala desa memiliki mobil-mobil mewah. Kalau ini benar, hal ini menjelaskan karpet merah yang digelar tergopoh-gopoh buat modal-modal nikel besar.
Apakah kita perlu juga menyinggung ungkapan bahwa bekerja di IMIP kini sama dengan bertaruh nyawa? Laporan yang ditulis Hellena Souisa, Kai Feng, dan Sally Brooks memperlihatkan, bagaimana prosedur keselamatan kerja tidak diindahkan oleh perusahaan-perusahaan di kawasan industri ini. Baik pekerja maupun fasilitas digenjot untuk bekerja tanpa henti. Pada akhir tahun kemarin, sebuah smelter meledak dan puluhan pekerja tewas. Laporan Majalah Tempo edisi 31 Desember 2023 mengindikasikan perawatan tungku yang serba cepat sebagai kemungkinan penyebabnya.
Saya ingat dengan sesumbar bahwa kita akan menjadi raja mineral dunia. Kebutuhan mineral untuk transisi energi katanya akan menempatkan kita dalam jalur menuju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memakmurkan. Hal ini terdengar masuk akal. Tapi, yang juga bisa terjadi adalah kita sekadar membiarkan modal raksasa mengeruk secepat-cepatnya, sekencang-kencangnya mineral berharga yang kita miliki.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.