Alam Seharga Nyawa? Ancaman Mewabah bagi Pegiat Lingkungan
1 Desember 2022Ketika pemerintahan Joko Widodo mencanangkan pemindahan ibu kota nasional ke pesisir timur Kalimantan, pegiat lingkungan mendadak membunyikan sinyal bahaya.
Jakarta yang perlahan amblas bakal menjadi kota metropolitan pertama di dunia yang kehilangan status ibu kota karena masalah lingkungan. Tapi keputusan Istana Negara untuk membangun ibu kota baru justru dipercaya akan menciptakan kerusakan yang lebih besar dan mengusir suku asli dari wilayah adatnya di Penajam Paser Utara.
Rencana pemindahan ibu kota di Indonesia bukan pertama kalinya dicetuskan. Gagasan tersebut hampir sama tuanya seperti perjuangan suku asli Kalimantan untuk mempertahankan ruang hidup dari ekspansi industri dan perkotaan.
Selama 2020 lalu, setidaknya tiga petani lokal dibui karena dituduh memanen sawit dari kebun milik perusahaan. Salah seorangnya, Hermanus Bin Bison, malah meninggal dunia dalam tahanan kepolisian.
Bison adalah salah seorang dari banyaknya pegiat lingkungan di dunia yang harus membayar ongkos termahal, yakni dengan nyawanya, dari ekspansi industri ekstraktif di pedalaman. Baik pelaku usaha, pemerintah atau kelompok kriminal sudah membiasakan praktik pengusiran suku asli atau pengerusakan ruang hidup mereka demi keuntungan ekonomi.
1.700 aktivis lingkungan di 60 negara tewas dibunuh
Menurut organisasi HAM, Global Witness, sebanyak 613 pegiat lingkungan dari suku pribumi tewas dibunuh dalam satu dekade terakhir. Antara 2012 dan 2021, laporan beragam kelompok kemanusiaan mendokumentasikan kasus pembunuhan terhadap lebih dari 1.700 pegiat lingkungan di 60 negara. Sebanyak 35 persen di antaranya merupakan anggota suku asli.
Minimnya kebebasan pers, kurangnya pengawasan independen dan lemahnya masyarakat madani, ikut menyumbang pada ketiadaan data yang akurat. Lembaga-lembaga internasional sebabnya sepakat, angka kematian pegiat lingkungan sebenarnya jauh lebih tinggi.
Meski begitu, sejumlah negara punya tradisi panjang mendokumentasikan serangan terhadap aktivis dan memiliki jejaring informasi yang rapat hingga di wilayah pedalaman.
Sejak tiga tahun terakhir, laju pembunuhan terhadap pegiat lingkungan meningkat setiap tahun. Suku asli termasuk korban terbesar. Karena walupun cuma menyumbang 5 persen pada populasi Bumi, mereka mewakili 41 persen dalam angka korban serangan fatal terhadap aktivis lingkungan selama 2021.
Filipina, Meksiko, Kolombia, Nikaragua dan Peru termasuk kelompok negara paling berbahaya bagi pegiat lingkungan.
Berebut lahan dan sumber daya
“Suku asli sejak lama dianggap hama bagi pembangunan dan diperangi di seluruh dunia,” kata Antonio de Oliveira, pegiat Gereja Katolik yang khusus membidani suku pribumi di Brasil.
Menurutnya, tindak kekerasan dan pembunuhan banyak digerakkan oleh percekcokan seputar status hutan adat.
Konflik lahan dipercaya bertanggungjawab atas separuh dari kasus pembunuhan di seluruh dunia dalam satu dekade terakhir. Global Witness mencatat, dalam banyak kasus, motivasi pembunuhan tidak ikut dilaporkan.
Industri yang termasuk paling berbahaya adalah penambangan dan usaha ekstraktif. Keduanya menyumbang sebanyak 18 persen pada angka pembunuhan pegiat lingkungan. Sektor lain yang tak kalah bahaya adalah perkebunan yang mewakili 10 persen dan industri kayu dengan 9 persen.
Situasi serupa di Asia
Di Filipina, pembunuhan terhadap aktivis melonjak antara 2012 dan 2021. Dari sebanyak 270 pegiat yang tewas dibunuh di sana, 114 di antaranya merupakan anggota suku asli. Tren angka pembunuhan juga tidak berkurang di masa Presiden Ferdinand Marcos Jr. yang baru terpilih.
Jon Bonifacio, pegiat lingkungan berusia 25 tahun di ibu kota Manila, mengaku sering mendapat ancaman pembunuhan karena kerjanya. Dia ikut mengkoordinasikan jejaring nasional untuk mendokumentasikan serangan terhadap aktivis.
Menurutnya, pegiat di wilayah pedalaman termasuk yang paling rentan menjadi korban pembunuhan.
“Hot spot-nya terletak di kawasan pedalaman. Tempat, di mana masih ada ruang untuk ekspansi perkebunan, pertambangan atau penebangan hutan. Tempat, di mana suku asli hidup dan merawat hutannya secara lintas generasi,” kata Jon kepada DW.
Lokasi yang terpencil seringkali membuka celah bagi tindak kriminal. Sebab itu dia meyakini kasus yang dilaporkan Global Witness hanya “puncak dari gunung es.”
Pemerintahan di banyak negara Asia, Timur Tengah atau Afrika, tidak melaporkan pembunuhan terhadap pegiat lingkungan. Minimnya angka serangan bukan berarti negara-negara ini bisa dianggap sebagai surga bagi aktivis, kata juru bicara Global Witness, Marina Comandulli.
Siapa yang melindungi pegiat lingkungan?
Organisasi lingkungan di dunia, termasuk di Filipina, giat mendorong legislasi untuk melindungi aktivis lingkungan. “Salah satu rancangan undang-undang yang berusaha kami loliskan adalah RUU Perlindungan Lingkungan,” kata Jon.
RUU yang digagas sejak 2020 itu saat ini masih digodok oleh Kongres. Ia menjamin keselamatan pegiat lingkungan dan memperkuat payung hukum untuk menjerat pelaku serangan atau pembunuhan.
RUU itu juga mewajibkan pemerintah dan investor untuk menjamin terbukanya akses informasi terkait kondisi lingkungan, serta analisis dampak lingkungan untuk proyek atau kebijakan tertentu.
Jalan lain melindungi pegiat lingkungan adalah dengan merangkai kesepakatan multilateral seperti Perjanjian Escazu. Kesepakatan antara negara Amerika Latin dan Karibia yang sah sejak 2021 itu tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi juga menjamin investigasi menyeluruh terhadap pembunuhan pegiat lingkungan.
Bagi Antonio de Oliveira dari Dewan Penginjilan Pribumi Brasil, pegiat lingkungan dari suku asli berada di medan terdepan perang melawan perubahan iklim. Perlindungan bagi mereka karenanya bersifat vital bagi masa depan Bumi.
“Para pemimpin suku-suku ini tidak sekedar memperjuangkan wilayah adatnya, atau melindungi sungai atau hutan,” katanya, “mereka berjuang demi seisi planet. Demi kehidupan yang lebih baik.”
rzn/as