Menelusuri Ilmu Linguistik Terapan di Jerman
28 Januari 2019Dua tahun sudah, Rosaly Jaqueline Tjanaka menggeluti dunia linguistik di Jurusan Linguistik Terapan di Universitas Bonn, Jerman, sejak tahun 2016. Kecintaannya akan dunia linguistik memang sudah dimulai sejak dini saat mempelajari ragam bahasa. Perempuan asal Medan ini fasih berbicara lima bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Hokkien, Bahasa Mandarin, dan Bahasa Jerman.
Linguistik bukanlah sekadar belajar bahasa asing. Namun lebih dalam lagi mempelajari unsur-unsur yang membentuk suatu bahasa. Lantas seperti apa keseruan belajar linguistik terapan di Jerman? Mari ikuti wawancara reporter DW, Sorta Caroline dengan Rosaly.
Kenapa mendalami linguistik terapan di Jerman?
Saya suka dengan sejarah-sejarah Eropa dan juga filsuf Jerman. Saya memilih Universitas Bonn karena universitas ini melahirkan filsuf Nietzsche hingga Marx. Selain itu di sini saya bisa mendalami ketertarikan saya akan studi komunikasi interkultural, linguistik klinis, dan perolehan bahasa atau language aquisition.
Selain itu ada juga modul forensik linguistik dimana terapan ilmu linguistik diaplikasikan dalam menelisik kasus tertentu. Contohnya saat Kurt Cobain bunuh diri dan meninggalkan sepucuk surat -- studi linguistik forensik akan menelusuri apakah surat itu adalah surat asli buatan Cobain atau bukan.
Forensik linguistik sangat berperan saat menelusur Idiosyncracy atau identitas bahasa para penjahat siber yang seringkali gencar mengirim email sarat penipuan atau blackmail. Layaknya sidik jari bahasa tiap orang pun punya keunikan tersendiri.
Mengapa tertarik dengan komunikasi interkultural?
Perbedaan kultur selalu menarik untuk dipelajari dan bisa membawa kita kenal lebih dalam lagi budaya tiap bangsa. Misalkan small talk atau pembicaraan ringan saat di pesta. Orang Indonesia pasti kalau kenalan dengan orang baru di pesta akan bahas tentang relasi ‘oh kerja di situ…kenal sama si A tidak? Dia temanku tuh,’ sebenarnya mereka sedang dalam proses mencari persamaan atau menyeting landasan yang sama. Bagi orang Indonesia sesuatu yang sama menimbulkan ikatan tertentu.
Beda dengan di Jerman, saat di pesta mereka tidak berusaha mencari persamaan – mereka lebih individual, tidak bertanya soal relasi dengan orang lain namun malah lebih menikmati pesta ‘keren ya pestanya…Ini dekorasinya unik’ atau mungkin berbicara soal cuaca, ‘hari ini cuaca cerah sekali…’ hal yang aneh jika dilakukan di Indonesia karena cuaca relatif sama.
Lalu apa yang dimaksud dengan pengujian linguistik klinis atau clinical linguistik ?
Clinical linguistik adalah peran ilmu lingustik dalam membedah masalah neurologi, seperti masalah gagap bicara hingga mendeteksi demensia. Linguis akan membuat tes-tes tertentu untuk membantu seseorang mengenal masalah neurologi yang dimilikinya. Bahasa terhubung ke otak bagian depan dan otak bagian belakang.
Otak bagian depan menolong seseorang dalam proses produksi suatu pesan sedangkan otak bagian belakang akan membantu seseorang dalam memahami suatu pesan.
Contohnya dalam tes gambar Cookie theft yang disediakan linguis. Saat menjalani tes ada orang yang mengerti gambar namun sulit menjelaskan – mereka akan dideteksi memiliki Broca’s Aphasia – kemungkinan masalah pada produksi di otak depannya.
Sedangkan ada juga orang yang mudah menjelaskan gambar namun sebenarnya mereka tidak begitu memahami apa pesan yang diberikan. Yang terakhir ini dinamakan Wernicke’s Aphasia, memiliki masalah pada otak belakangnya saat memahami sebuah pesan.
Tadi sempat mengatakan soal Language Acquisition atau perolehan bahasa, apakah ini terkait soal anak saat mempelajari bahasa ibunya?
Ya. Anak usia 0 hingga 7 tahun menyerap bahasa dari orang di sekitarnya, terutama orangtuanya. Saat anak mengoceh itu mereka sebenarnya sedang mengoleksi bahan “perpustakaan bahasa” di otaknya. Mereka meniru bagaimana orang dewasa berbicara. Mereka belajar sangat cepat. Inilah yang juga dipelajari lingustik bagaimana bahasa diserap dan menjadikan identitas tertentu bagi seseorang.
Contoh kasus, jika anak memiliki orang tua yang memiliki bahasa ibu yang berbeda. Misal ayah seorang Jerman dan Ibu seorang Indonesia. Bilingual itu baik, selama masing-masing orang tua konsisten. Ayah senantiasa berbicara dengan bahasa Jerman dengan sang anak, sedangkan ibu dengan bahasa Indonesia. Sehingga anak akan menguasai dua bahasa dengan baik dan punya fondasi kuat.
Lebih dari dua tidak disarankan jika orang tua tidak memiliki fondasi yang cukup solid dari bahasa ketiga itu, ini akan membuat anak pusing.
Seperti apa prospek kerja bagi seorang lulusan linguistik?
Selain hal-hal yang dijelaskan sebelumnya, kini seiring berkembangnya dunia teknologi, linguis juga bisa mengembangkan sayap ke bahasa pemrograman. Linguis pun dapat ‘melatih’ mesin untuk proyek-proyek terjemahan.
Kini saya kini saya bekerja paruh waktu untuk research marketing untuk Universitas Bonn. Saya bertugas membuat marketing program Teknologi Informasi (TI) di Universitas lebih efisien dan menjangkau semua kalangan. TI seringkali identik dengan laki-laki, padahal perempuan juga bisa. Inilah yang saya kerjakan lewat optimalisasi diksi yang dapat membuat kaum hawa tertarik mengikuti program TI. Kini gagasan akan ‘Gender Neutral’ pun kian berkembang dan ini punya pengaruh besar dalam dunia marketing digital.