Filipina: Perang Klan Hancurkan Komunitas Muslim Mindanao
8 Februari 2023Perjanjian perdamaian antara Front Pembebasan Islam Moro MILF dan pemerintah Filipina telah mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun di Mindanao. Tetapi para ahli memperingatkan, perang klan tetap menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan di wilayah tersebut.
Perang klan, atau rido, adalah permusuhan berulang antara keluarga dan kelompok kekerabatan yang ditandai dengan serangkaian tindakan kekerasan maupun tindakan pembalasan. Seluruh anggota keluarga dapat menjadi sasaran aksi balas dendam, yang memicu siklus kekerasan berubah menjadi konflik antar generasi.
"Pemerintah baru [Bangsa Moro] menjanjikan perdamaian dan keamanan di kawasan. Tapi, rido adalah salah satu faktor utama yang dapat menghancurkan proses perdamaian," kata Yasmira Moner, profesor pemerintahan pasca-konflik di Universitas Negeri Mindanao kepada DW.
"Tanpa resolusi rido, kekerasan bisa merembet ke komunitas lain hingga menjadi konflik skala besar,” jelasnya. Kesepakatan damai mengantarkan pada pembentukan Daerah Otonomi Bangsa Moro di kawasan Muslim Mindanao, BARMM, sebagai wilayah administratif yang terdiri dari lima provinsi.
Keluar dari lingkaran balas dendam
Kekerasan antar klan yang disebut rido dapat ditelusuri kembali ke perebutan kekuasaan pra-kolonial antara para pemimpin suku setempat. Orang-orang kuat kala itu memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang signifikan, dan menegakkan kekuatan itu melalui pasukan bersenjata (milisi) mereka sendiri. Kemudian kolonisasi Amerika Serikat memanfaatkan rido untuk membuat keluarga saling bermusuhan dan melemahkan oposisi terhadap pemerintahan kolonial, jelas Yasmira Moner.
Pada Mei 2020, media di Filipina melaporkan perang klan yang membuat sekitar 4.500 warga sipil harus mengungsi. Tahun lalu, terjadi bentrokan berdarah antara dua keluarga besar, sehingga ratusan orang terpaksa melarikan diri.
Pada tahun 2009, persaingan politik antara dua keluarga, Mangudadatus dan Ampatuan, mengakibatkan pembunuhan massal terhadap 58 orang, termasuk anggota pers lokal. Pembantaian itu dipandang sebagai kasus terburuk dari kekerasan terkait pemilu di Filipina.
Esmael Mangudadatu, yang kehilangan dua saudara perempuan, istri, dan beberapa kerabatnya dalam kekerasan tersebut, kemudian memulai program penyelesaian konflik melalui Satuan Tugas Rekonsiliasi dan Unifikasi Maguindanao, MTFRU, selama menjabat sebagai gubernur. Pada 2017, MTFRU telah menyelesaikan sekitar 138 konflik klan, menurut data pemerintah.
Berbicara kepada DW, Mangudadatu mengatakan bahwa dia berangkat dari pengalamannya sendiri saat merundingkan konflik suku. "Saya sengaja memilih untuk tidak membalas. Itu sangat menyakitkan bagi saya, tetapi jika saya membalas dendam, itu hanya akan menimbulkan konflik abadi. Saya ingin menjadi contoh."
Mengakhiri kehidupan perang
Pendukung perdamaian mengatakan bahwa yang paling terpengaruh oleh perang klan adalah sekitar 1 juta anak muda di wilayah BARMM.
"Ketika kita berbicara tentang perang di Mindanao, kita selalu memikirkan konflik dengan tentara, tetapi jika Anda melihatnya, perang klan lah yang paling merusak komunitas kami," kata Nair Amer, 26 tahun, kepada DW.
"Saya tumbuh tanpa kebebasan, tanpa tempat tinggal. Hidup saya terkurung dalam tas yang kami bawa setiap kali kami melarikan diri,” katanya. "Tidak ada hal baik yang akan keluar dari rido. Masyarakat mengungsi, sekolah ditutup, masa depan ditunda. Kita semua menderita,” tambahnya.
Nair Amer bertekad untuk mencegah pemuda Muslim tumbuh dalam lingkaran setan kekerasan. Saat menjabat sebagai staf di Komite Kesejahteraan dan Rekonsiliasi Otoritas Transisi Bangsa Moro, yang mengumpulkan data tentang perang klan yang sedang berlangsung, sekaligus menengahi negosiasi antar klan yang berkonflik.
Norhaifah Esmail, 21 tahun, telah melihat dampak rido terhadap Muslimah muda seperti dirinya. Mereka diberitahu untuk tidak bersekolah karena risiko keselamatan. "Sedih mengingat gara-gara rido, ada perempuan yang terpaksa mengubah arah hidupnya, hanya demi keselamatan mereka,” katanya kepada DW.
Pemerintah daerah melalui Kementerian Keamanan dan Ketertiban Umum, MPOS, berperan aktif dalam melembagakan metode mediasi konflik untuk membantu keluarga yang bertikai mencapai gencatan senjata. Bantuan keuangan dan hukum juga diberikan untuk memastikan perdamaian bisa berkelanjutan.
Administrator provinsi Maguindanao del Sur, Cyrus Torrena, mengatakan kepada DW bahwa dia yakin metode ini akan berhasil meredam rido dan mencegahnya menyebar ke bentuk kekerasan lain, seperti ekstremisme kekerasan. "Jika Anda bisa menyelesaikan konflik antar keluarga, antar klan, Anda juga bisa menyelesaikan konflik dan masalah lain di provinsi ini," kata Torrena.
(hp/yf)