Mengapa Pemerkosaan Dikutuk Tapi Sunat Perempuan Tidak?
25 Mei 2016Dua bulan belakangan ini perhatian kita tercurah pada persoalan kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak. Begitu mengerikan. Beberapa diantaranya dihabisi nyawanya, dibunuh secara brutal. Tak ayal pegiat hak-hak perempuan dan anak berteriak, menggugat perlindungan negara terhadap perempuan dan anak serta penegakan hukum secara adil. Juga menuntut segera disahkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dalam situasi seperti ini, sialnya ada juga politisi atau anggota dewan yang tiba-tiba jadi ahli isu kekerasan terhadap perempuan. Mereka sibuk mereka-reka apa penyebab terjadinya kekerasan seksual dengan bermodal pengetahuan terbatas sehingga malah kelihatan seperti ahli nujum. Alhasil, mereka menyodorkan jalan keluar yang bombastis semacam hukuman kebiri dan hukuman mati. Padahal jika ditanya sejauh mana mereka sudah melakukan fungsi pengawasan terhadap implementasi kebijakan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual, sangat mungkin mereka membisu.
Sesungguhnya, di saat yang hampir bersamaan dengan maraknya pemberitaan media mengenai rentetan kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan dan anak, salah satu badan PBB untuk urusan anak atau UNICEF pada bulan Februari lalu merilis sebuah laporan yang amat mengejutkan. Separuh anak perempuan berusia di bawah 11 tahun atau sekitar 13,4 juta anak di Indonesia pernah disunat. Bisa bayangkan? 13 juta anak perempuan, disentuh vaginanya, ditandai, dilukai dengan sengaja dan tentu saja tanpa persetujuannya.
Sungguh sulit dinalar, jika kita semua bisa begitu marah terhadap kasus pemerkosaan yang menimpa anak-anak perempuan, mengapa kita tidak marah dengan sunat perempuan? Upaya menundukkan perempuan dengan melakukan kekerasan terhadap organ seksualnya
Sunat perempuan bukan tindakan medis
Harus diakui, meski sering kebingungan sendiri, pemerintah melalui pejabat terkait di departemen kesehatan sudah berupaya untuk menekan angka praktik sunat ke anak perempuan. Mereka paham betul bahwa melakukan sunat perempuan bukan sebuah tindakan medis. Jika semua tindakan medis mengenal prosedur, maka untuk sunat perempuan, tidak ada. Bisa dibayangkan, apa yang dilakukan oleh petugas medis atau dukun terhadap vagina anak kita bisa bermacam-macam, sesuai kehendak mereka.!
Pada tahun 2006, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan mengeluarkan surat edaran yang melarang petugas kesehatan untuk melakukan sunat perempuan karena tidak terbukti ada manfaat medis. Namun surat edaran ini memicu reaksi dari sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehingga pada tahun 2007, LSM Majelis Ulama Islam mengeluarkan fatwa yang menetapkan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari syiar agama Islam dan menetapkan batas-batas sunat dalam hukum Islam.
Lalu pada tahun 2010, Menteri Kesehatan pun mengeluarkan permenkes nomor 1636 yang mengatur batas-batas tindakan yang dimaksud sebagai sunat perempuan dan penyelenggaraan sunat perempuan oleh tenaga kesehatan. Permenkes ini seperti mementahkan surat edaran yang pernah dibuat tahun 2006.
Tak pelak gelombang protes datang dari pegiat perempuan dan anak. Hingga akhirnya pada tahun 2014, dikeluarkan permenkes no 6 yang mencabut permenkes no 1636. Perubahan yang terus terjadi di level eksekutif terkait sunat perempuan ini menunjukkan satu hal, pemerintah masih belum ajeg, penuh keraguan dalam melihat persoalan ini meski badan kesehatan dunia atau WHO sudah dengan tegas menyatakan bahwa sunat perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan tak boleh dilakukan.
Apakah sunat perempuan bisa dihentikan?
Sudah banyak negara yang selama ini membasiskan pandangannya soal sunat perempuan pada hukum agama bergeser sikapnya mengenai sunat perempuan. Bahkan negara-negara yang dianggap paling sulit untuk mengubah pandangannya karena tingkat konservatif agama yang tinggi seperti Nigeria, Gambia pun akhirnya tahun lalu melarang sunat perempuan.
Di Mesir, sunat perempuan sudah dilarang sejak tahun 2008. Dalam satu dekade saja para pemuka agama yang tadinya mendukung, sekarang sudah tinggal sedikit saja. Ribuan petugas kesehatan, bekerja dengan ulama dan anak muda untuk mengampanyekan penghentian sunat perempuan. Prevalensi sunat perempuan di Mesir menurun drastis.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Akankah kita terus melanggengkan praktik kekerasan seksual bernama sunat perempuan ini? Kapan kita akan meninggalkan praktik primitif yang dilakukan selalu atas dalih agama dan tradisi ini? Jika kita murka terhadap praktik kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, semestinya kita juga patut murka terhadap praktik sunat perempuan. Dan jika pemerintah, parlemen atau politisi tidak memiliki sikap tegas terhadap sunat perempuan, maka kita tak usah percaya itikad mereka soal penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Penulis:
Tunggal Pawestri adalah feminis yang aktif bekerja untuk isu-isu perempuan, seksualitas, keragaman dan HAM. Selain aktif bekerja untuk isu-isu kemanusiaan, saat ini Tunggal Pawestri juga mulai berkiprah sebagai produser film.
@tunggalp
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.